Tragedi Dramaturgi Politik “Kardus” 2019
Fenomena dari dinamika politik Pilpres 2019 ditangkap melalui #jenderalkardus atas pernyataan Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief yang kontroversial. Arief mengatakan “Prabowo ternyata kardus. Malam ini kami menolak kedatangannya ke Kuningan. Bahkan keinginan dia menjelaskan lewat surat sudah tak perlu lagi. Prabowo lebih menghargai uang ketimbang perjuangan. Jenderal kardus”, seperti dikutip beberapa media dan membuat gempar partai-partai koalisi Gerindra lainnya, PAN dan PKS. Hal tersebut disebabkan adanya tuduhan yang disampaikan Arief terkait kesanggupan Sandi Uno untuk membayar PAN dan PKS masing-masing sebesar 500 Milyar agar Sandi didukung menjadi Cawapresnya Prabowo dalam pendaftaran Pilpres 2019 yang akan berakhir pada 10 Agustus 2018 ini.
Kontroversi pernyataan Arief pada 8/8/2018 mengakibatkan munculnya agenda pertemuan secara langsung antara SBY selaku Ketua Umum Demokrat dengan Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra untuk meredam polemik yang sudah bergulir, namun pertemuan yang sudah berlangsung 9/8/2018 siang tadi, belum mampu mengembalikan keharmonisan seperti pada suasana kunjungan SBY ke rumah Prabowo pada 30/7/2018 lalu. Bagaimana pun kehidupan hiruk pikuk demokrasi atas pertengkaran para elit ini, apalagi dibumbui misteri eksistensi 500 Milyar, harus disikapi secara bijak agar tidak menjadi warisan lukisan buruk demokrasi Pilpres yang akan dicatatkan dalam sejarah.
Dramaturgi kontestasi Pilpres 2019 ini memang penuh dengan keresahan para elit dan menjadi misteri bagi publik. Sampai H-1 tenggat pendaftaran, KPU belum juga dapat mengumumkan kepada publik siapa yang sudah mendaftar, seolah-olah proses pendaftaran tersebut seperti mengumpulkan tugas pekerjaan rumah, cenderung dikerjakan atau diserahkan pada last minute. Dramaturgi tersebut terjadi di kubu Jokowi dan kubu Prabowo yang telah dideklarasikan sebagai Capres pada Pilpres 2019 nanti dengan tema “Mencari Cawapres”.
Dramaturgi Kontestasi Pilpres 2019
Dramaturgi sebagai sebuah teori untuk memahami penggunaan simbol-simbol dalam dunia sosial berkembang sampai politik. Perkembangan penggunaan kekuatan pentas tersebut juga dapat digunakan untuk menyampaikan suatu pesan politik kepada publik melalui pembangunan narasi melalui latar (setting), penampilan diri (personal front), dan penggunaan peralatan pendukung untuk mengekspresikan diri (expressive equipment) pada sisi panggung depan (front stage). Ketiga komponen penting seperti yang disampaikan oleh Erwing Goffman (The Presentation of Self in Every Day Life,1995) tersebut sudah dilakukan jauh hari oleh partai politik, baik dalam posisi pendukung Jokowi maupun Prabowo.
Selain itu, Erwing Goffman juga mengatakan bahwa percakapan antar elit politik di sisi belakang panggung (back stage) menjadi sangat penting dan mendominasi alur skenario cerita yang disajikan pada panggung depan. Bisik-bisik politik yang dilakukan oleh para Ketua Umum Parpol dan jajarannya dapat dipandang sebagai kegiatan di panggung belakang yang tidak perlu diketahui oleh publik. Perang strategi dengan tujuan kepentingan baik yang mengatasnamakan negara, partai, kelompok, dan apapun sebutannya menjadi percakapan-percakapan yang dimainkan pada “ruang gelap”. Oleh karena itu, pertukaran informasi tersebut hanya dilakukan dari, oleh, dan untuk para elit semata, sehingga kata “rahasia” itu menjadi sakral bagi para elit yang ada di panggung belakang.
Alunan irama senyap bak lagu-lagu yang diekspresikan Kitaro harus dapat dimaknai oleh para elit untuk irit bicara secara langsung kepada publik. Prinsip samubamate – satu mulut banyak mata telinga, menjadi ketentuan penting dalam bersikap secara rasional, sehingga tidak merusak hal yang menjadi kepentingan. Skenario yang dibangun di panggung belakang dengan muatan pesan kepada publik melalui atraksi panggung depan tidak bergeser jika para elit menyadari makna dari prinsip samubamate tersebut.
Tragedi Politik Kardus
Drama sebutan “Jenderal Kardus” tersebut dapat dipandang sebagai potongan adegan dari dramaturgi kontestasi Pilpres 2019 yang menyentak emosi penonton dari nada rendah ke tinggi dalam ritme yang cepat, tetapi tidak beraturan sehingga menimbulkan kebisingan politik. Saling balas narasi siapa yang “kardus” sebenarnya oleh para elit Gerindra dan Demokrat merembet ke berbagai akar rumput dari kedua partai besar tersebut, tentu juga menyeret PAN dan PKS atas tuduhan eksistensi 500 M. Perang hashtag dengan #jenderalkardus versus #jenderalbaper menghiasi berbagai laman media online yang bergerak dinamis dalam berbagai pemberitaan terkait perlombaan jumlah retweet dan share.
Jika Erving Goffman (1956) mengatakan bahwa drama kandidasi lebih didominasi di panggung belakang melalui percakapan dari, oleh, dan untuk elit dalam bingkai kerahasiaan tingkat tinggi dan dimainkan dalam di ruang gelap, mengapa tragedi politik kardus dan eksitensi 500 M tersebut dapat terjadi. Seolah-olah para elit dalam koalisi penantang Jokowi ini tidak lagi mengikuti script sehingga terdorong ke panggung depan dalam kerangka latar, penampilan diri, dan penggunaan peralatan untuk mengekspresikan diri tampil secara natural, apa adanya, seperti penggunaan kata “kardus”.
Pada situasi seperti ini, sang sutradara harus bertindak cepat agar skenario cerita tidak menjadi rusak atau melebar kemana-mana yang dapat berdampak pada marahnya penonton dan “melempari para pemain drama dengan sepatu atau botol”, jika diibaratkan dalam suatu pertunjukan. Dalam konteks dramaturgi politik Pilpres 2019 ini, penontonnya adalah masyarakat pemilik hak pilih yang sah dan akan menghukum pemainnya melalui bilik suara sebagai sanksi elektoral.
Jokowi juga mengalami hal yang sama dalam dramaturgi pencarian Cawapres, masih ada beberapa atraksi baik yang tertangkap pada panggung depan ataupun panggung belakang. Namun tata kelola koalisi yang dilakukan Jokowi terlihat lebih elegan dalam menyikapi beberapa atraksi yang dimainkan oleh PKB dan PAN. Sangat diharapkan tidak ada lagi tragedi yang menimbulkan kebisingan politik, cukup sampai aksi “palang rusa” saja, jangan lagi ditambah atraksi “pulangkan saja aku pada ibuku” seperti lirik tembang lawas yang dinyanyikan oleh Betharia Sonata.
*) Edison Guntur Aritonang, Mahasiswa Doktoral Ilmu Kesejahteraan, Program Studi Kesejahteraan Sosial, Universitas Indonesia.