Siapa Lawan Tanding Jokowi?
Dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Para Syndicate (6/07/18), saya memberikan beberapa catatan sbb:
1. Sampai sebulan sebelum masa pendaftaran di KPU dibuka, nama capres dan cawapres masih belum kongkrit, selain petahana Presiden Jokowi (PJ). Calon-calon pesaing beliau masih baru pada tahap pendeklarasian, termasuk pesaing petahana yang paling potensial seperti Ketum DPP Gerindra, Prabowo Subianto (PS). Nama-nama lain yang kerap disebut dalam wacana publik cukup banyak, misalnya, utk menyebut beberapa nama: Jusuf Kalla (JK);Amien Rais (AR); Gatot Nurmantyo (GN); Anies Matta (AM); Zulkifli Hassan (Zulhas); Anies Baswedan (AB), dan bahkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
2. Mengapa pencapresan (termasuk pencawapresan) dalam perpolitikan Indonesia pasca-reformasi masih mengalami kesulitan? Jawabannya bisa bermacam-2. Salah satu diantaranya adalahformat dan struktur politik yang selama dua dasawarsa ini digunakan masih belum menghasilkan perimbangan kekuatan di Parlemen yang merefleksikan keberadaan sebuah single majority, yang pada gilirannya meniscayakan “koalisi ad hoc” untuk mengambil keputusan-keputusan strategis (termasuk dlm pencapresan) setiap 5 tahun. Karena itulah pencapresan “last minute” menjadi semacam praktik yang “normal” walaupun hal ini bisa memperburuk kualitas demokrasi pada jangka panjang.
3. Dalam struktur dan format tsb, petahana cenderung diuntungkan karena ia telah memiliki persiapan lebih lama dan para pemilih setidaknya sudah lebih “mengenal”nya. Pihak penantang harus memiliki daya tarik atau keunggulan lebih jika ia ingin menggeser perhatian publik. Sementara itu bagi penantang yang sudah pernah kalah, ia harus bekerja ekstra keras untuk mengalahkan petahana. Faktanya, selama dua dasawrasa terakhir, BELUM pernah ada seorang Presiden yang terpilih setelah pernah kalah dalam pencapresan sebelumnya.
4. Kondisi struktural tsb diperparah oleh aturan pencapresan yang tidak memberikan peluang bagi keberadaan capres/cawapres independen seperti dalam Pilkada. Hal ini menjadikan parpol memiliki semacam “monopoli” atas proses pendaftaran capres/cawapres. Sebaik apapun capres/cawapres di mata rakyat pemilih, akan tetap TIDAK bisa diusung utk bertanding dalam Pilpres jika parpol menolaknya
Calon-calon di luar kehendak parpol otomatis tersingkir, sehebat apapun kualitasnya dan sebesar apapun dukungan dari luar parpol. Pertanyaan filosofisnya, bagaimana pelaksanaan prinsip “dari oleh, dan untuk rakyat” sebagai landasan demokrasi?
5. Jika kita mengamati proses pencapresan saat ini, maka boleh jadi kesulitan parpol oposisi menentukan siapa paslon mereka adalah implikasi dari aturan Pilpres dan sekaligus juga sistem politik ambigu di atas. Bisa diperkirakan bahwa kehati-hatian PJ utk tidak bicara lugas soal cawapres beliau, kendati posisi beliau sudah cukup comfortable setidaknya menurut berbagai hasil survei, merupakan resonansi dari lemahnya “koalisi” parpol yang mendukung beliau.
6. Tak pelak lagi, suasana perpolitikan jelang Pilpres 2019 lebih diwarnai oleh spekulasi pasangan capres/cawapres, ketimbang perdebatan-perdebatan publik yang luas dan serius mengenai platform, program, dan berbagai alternatif untuk memajukan bangsa dan menghadapi dinamika regional dan global ke depan. Kalaupun terdapat perbincangan politik di ruang publik, acap kali muncul secara sporadis, reaktif, dan diwarnai oleh isu-isu yang sensasional bukan fundamental secara politik kekinian. Salah satu yang paling menarik perhatian publik dan meramaikan suasana perpolitikan adalah berbagai perubahan hasil survei terkait elektabilitas atau popularitas para calon; selain berbagai skenario paslon.
7. Dengan demikian, wacana tentang siapa penantang PJ sejatinya tak terlalu ‘penting’ manakala publik tidak melihat atau tidak diperlihatkan siapa paslon yang memiliki ‘kelebihan’ dan ‘daya tarik’ melampaui sang petahana. Apalagi jika sang penantang sendiri masih belum jelas pula apakah akan memenuhi persyaratan legal formal pencalonan, disebabkan oleh tarik-menarik kepentingan parpol-parpol oposisi. Ditambah lagi dengan absennya ‘ideologi pengikat’ dan hanya mengandalkan ‘aspirasi’ politik (populisme, primordialisme,dll), semakin sulit bagi oposisi untuk bisa menampilkan alternatif platform di luar retorika-retorika kampanye.
8. Probabilitas terkuat bagi oposisi adalah membuat satu paslon alternatif, walaupun upaya membuat dua alternatif paslon penantang masih berjalan. Pertimbangan saya adalah karena parpol-parpol oposisi sangat enggan utk bergerak melampaui kepentingan pemenangan Pileg yang sangat terkait dg Pilpres tsb. Probabilitas pencalonan JK atau AR sebagai capres, misalnya, saya rasa kecil dibandingkan dengan PS, karena kepentingan tsb. Demikian pula dengan AB, apalagi AHY. Selain jika PS bersedia mewakafkan pencapresan beliau demi mendapatkan capres yang memiliki daya tarik “lebih”, rasanya akan sulit bagi parpol oposisi untuk bergeser dari apa yang berkembang saat ini. Tokoh-tokoh yang dalam survei cukup menjanjikan spt GN, AB, AHY, AM, dst tampaknya hanya akan sampai pada “maqom” cawapres.
9. Persoalan bagi pihak oposisi akan lebih rumit jika soal siapa yang jadi cawapres tak kunjung disepakati. Ini beda dengan PJ, yang tidak memiliki masalah “political leverage” ini. Bukan saja karena nyaris semua parpol pendukung beliau secara formal sudah menyatakan “terserah Jokowi,” tetapi posisi elektabilitas dan popularitas PJ sebagai capres tetap kokoh kalau tidak bisa dikatakan semakin kokoh. Jika oposisi tidak segera menyelesaikan persoalan ini, Pilpres 2019 akan menyaksikan ada calon tunggal atau PJ melawan “kotak kosong“. Suatu peristiwa yang semestinya tak boleh terjadi.
*) Muhammad AS Hikam, pengamat politik, dosen di President University