Politik Dialektika Pilpres 2019

Politik Dialektika Pilpres 2019

Pemilihan umum jangan menjadi tempat pertempuran. Perjuangan kepartaian yang dapat memecah persatuan bangsa Indonesia”. (Ir. Soekarno, Presiden RI Pertama)

Pemilihan Presiden (Pilpres) melalui Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilakukan secara berkala merupakan bentuk regenarasi kepempimpinan secara demokrasi, Indonesia juga menganut dan telah menjalankan sistem tersebut lebih dari setengah abad. Pergeseran ke arah kemajuan dan kemunduran dalam pelaksanaan menuju kedewasaan demokrasi telah terpapar sebagai suatu aposteriori yang dapat dilihat melalui beberapa kajian-kajian terkait pelaksanaan pemilu di Indonesia. Namun kutipan kalimat seperti yang dikatakan Bung Karno di atas dapat menjadi sebuah preskripsi dalam menjaga keberlangsungan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Rajutan simpul persatuan Indonesia melalui konsensus hidup bersama jangan sampai dirusak oleh sebuah peristiwa Pemilu. Sebab hakekat Indonesia didirikan adalah untuk memajukan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam menjaga perdamaian dan ketertiban dunia.

Pasca pertemuan Habib Riziq Syihab (HRS), Prabowo Subianto (Prabowo), dan Amien Rais di Mekah, Arab Saudi ditindaklanjuti dengan pembentukan Koalisi Keumatan. Persaudaraan Alumni 212 bergerak cepat dan membuat surat amanah yang ditujukan kepada alumni 212 dan umat Islam (Detik, 8/6/2018, Rizieq dan Angan-angan Koalisi Keumatan). Parpol yang mendukung koalisi tersebut adalah Gerindra, PKS, dan PAN untuk mengusung Prabowo sebagai capres menantang Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019 nanti. Selanjutnya HRS telah menggagas pembangunan Poros Mekah vs Poros Beijing. Poros Mekah mengusung Prabowo dan pendukung Jokowi dilabel oleh HRS sebagai Poros Beijing dengan argumentasi Presiden Jokowi lebih dekat dengan kebijakan Presiden RRT Xi Jinping, One Belt One Road (OBOR). Penggiringan opini tersebut seolah-olah ingin membangun arena pertandingan berdasarkan kondisi yang diinginkan sekaligus menghilangkan adanya noise (suara berisik, pengganggu, yang eksistensinya tidak dianggap) atas eksistensi Partai Demokrat dan PKB.

Jika Heywood (2017:438) mendefenisikan perang sebagai konflik antara dua kelompok politik atau lebih, maka fenomena atas wacana Poros Mekah vs Poros Beijing dapat dilihat sebagai salah satu upaya pembentukan arena perang. Sangat berdasar upaya tersebut untuk diperjuangkan jika dilihat dari perspektif Sun Tzu, pengendalian faktor cuaca, medan, dan musuh (cumemu) yang akan mengantarkannya pada suatu kemenangan. Jika dilihat dari sifat-sifat fenomena yang terpapar, gerakan-gerakan terorganisir yang melibatkan orang-orang politik, mulai dari #2019GantiPresiden, Koalisi Keumatan sampai dengan Poros Mekah vs Poros Beijing, secara implisit mengarahkan pada pembentukan musuh bersama, yaitu Presiden Jokowi.

Politik Dialektika

Metode dialektika yang diperkenalkan oleh Hegel pada abad ke-18 dapat digunakan untuk melihat fenomena yang sedang berlangsung. Metode tersebut memiliki dua hal yang dipertentangkan dalam suatu wacana atau diskursus (adanya kutub negatif – positif, utara – selatan, siang – malam, dsb). Wacana melalui suatu tesis dan anti tesis dibangun untuk menghasilkan sebuah sintesis sebagai kebenaran baru. Presiden Jokowi adalah pemimpin yang pro aseng atau asing (RRT – dilabel Poros Beijing) sebagai tesisnya dan koalisi keumatan sebagai kelompok masyarakat dominan adalah kekuatan yang dapat  menggantikan Presiden Jokowi secara konstitusional melalui Pilpres 2019 (digagas di Kota Mekah – dilabel Poros Mekah) sebagai anti tesisnya. Sintesis yang ingin dibangun (becoming) mengacu pada romantisme Pilkada DKI 2017 sehingga representasi Aksi 212 tampil menjadi simpul kekuatan menghadapi Pilpres 2019. Upaya penggiringan opini dalam pembentukan Poros Mekah – Poros Beijing dengan tujuan akhir perebutan kekuasaan dapat dipandang sebagai sebuah Politik Dialektika. Tentu spektrum yang terbentuk dari dialektika tersebut dapat diisi dengan berbagai negosiasi dalam suatu posisi tawar (bargain) atas nama kepentingan. Logos sentris dari pihak anti Jokowi tersebut dibangun sebagai Politik Dialektika Pilpres 2019 untuk memenangkan kontestasi kepemimpinan yang akan berlangsung 2019 nanti secara konstitusi.

Politik dialektika tersebut digunakan sebagai alat untuk membersihkan noise (gangguan yang eksistensinya dapat diharapkan atau tidak diharapkan, tetapi bukan bagian inti) seperti Partai Demokrat dan Partai Kebangkintan Bangsa (PKB). Hal tersebut disebabkan oleh belum jelasnya sikap kedua partai tersebut apakah ke kiri atau ke kanan atau membentuk poros baru, sehingga penegasan politik dialektika ini dapat dipandang sebagai bentuk penegasan un-existance dari kedua partai tersebut.

Fiksi dan Potensi Katastrofe

Pilpres 2019 memang belum berlangsung dan sampai saat ini juga belum ada yang mendaftar secara resmi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun wacana Poros Mekah vs Poros Beijing ini berpotensi terhadap kuat-lemahnya simpul persatuan bangsa dan negara. Oleh karena itu, Pilpres 2019 dan wacana Poros Mekah vs Poros Beijing ini dapat dikatakan sebuah fiksi, meminjam terminologi fiksi yang pernah disampaikan Rocky Gerung, karena belum menjadi realitas. Namun potensi ancaman terhadap persatuan tersebut dapat dibaca sebagai fiksi skenario-skenario yang dibangun dari problem structuring dalam suatu hubunga sebab akibat melalui suatu metode sistem dinamik. Struktur masalahnya adalah mengganti Presiden Jokowi melalui Pilpres 2019. Bagaimana (how) dan siapa penggantinya (who), hal tersebut yang perlu dibaca sebagai skenario karena pertanyaan why, when, where, dan what sudah ditegaskan melalui pembentukan Politik Dialektika tersebut.

Skenario pertama adalah kontestasi Pilpres yang diikuti Prabowo dan wakilnya dengan Jokowi dan wakilnya. Prabowo akan diusung oleh Gerindra, PKS, dan PAN dengan menggunakan kekuatan Koalisi Keumatan yang mengacu pada romantisme Pilkada Jakarta 2017. Koalisi Keumatan akan dikendalikan secara jarak jauh oleh HRS.

Sedangkan skenario kedua mengacu pada skenario pertama, namun HRS kembali ke Indonesia dan dijadikan tumbal untuk mengkapitalisasi kemarahan kelompok-kelompok masyarakat tertentu terkait elektabilitas. HRS menjadi simpul yang sangat kuat untuk membentuk Koalisi Keumatan, apalagi jika menjadi martir. Kemungkinan tersebut muncul karena adanya himbauan agar HRS pulang ke Indonesia dan Partai Gerindra menjamin HRS bisa pulang dengan aman ke Indonesia. “Tentu saja, karena sudah tidak ada lagi ancaman kriminalisasi,” kata Ketua Bidang Advokasi dan Hukum DPP Partai Gerindra, Habiburokhman, kepada detikcom, Minggu (Detik, 17/6/2018, Politikus Gerindra Siap Pasang Badan untuk Kepulangan Habib Rizieq). Kepulangan HRS ke Indonesia akan menjadi “bola panas” politik, khususnya politik Pilpres 2019. Kepulangan HRS akan membawa Indonesia pada kondisi krisis secara politik karena baru 2 yang di-SP3-kan dari 7 kasus dan marwah penegakan hukum akan dipertaruhkan. Selain itu ancaman keamanan atas eksistensi HRS di Indonesia menjadi sumber permasalahan baru, karena jika terjadi apa-apa dengan keselamatan HRS maka hal tersebut dapat menimbulkan suatu katastrofe (guncangan) politik dan keamanan karena saling tuduh.

Skenario ketiga mengacu pada skenario pertama, namun HRS kembali ke Indonesia, seluruh kasus hukumnya di-SP3 dan menggalang Koalisi Keumatan dengan mendapat dukungan penuh dari Gerindra, PKS, PAN, Persaudaraan Alumni 212 dan kelompok masyarakat lainnya, termasuk keselamatan HRS.

Premis yang dapat ditarik dari Politik Dialektika Pilpres 2019 tersebut sebagai sintesis yang diharapkan adalah “Joko Widodo tidak terpilih sebagai Presiden RI melalui Pilpres 2019 nanti”. Apapun hasil yang akan terjadi nantinya sebagai realitas, diharapkan Indonesia tetap utuh dengan semangat kebersamaannya sebagai bangsa dan negara yang mengacu pada Pancasila sebagai dasarnya. Oleh karena itu, seluruh komponen anak bangsa, khususnya para pihak yang akan melakukan dan terlibat secara langsung pada kontestasi pada Pilpres 2019 nanti (Jokowi dan Prabowo), diharapkan agar tetap memperhatikan tuntunan kearifan lokal kita, “ojo dumeh – eling – waspodo” sebagai alur sikapnya, sehingga tidak membawa Indonesia pada potensi kekacauan politik yang berdampak buruk pada relasi sosial masyarakat secara umum. Seorang pemimpin sebaiknya menyadari falsafah sangkan paraning dumadi agar dapat menjalani kasedan jati sebagai alur pikir untuk membangun suatu tatanan memayu hayuning projo dan memayu hayuning bawana. Kesadaran kenegarawanan Prabowo dan Jokowi sangat diharapkan untuk memaknai kasedan jati (tuntunan hidup – mati yang sempurna) tersebut sehingga sejarah mencatatnya sebagai tokoh-tokoh yang patut diteladani atas sikapnya, sikap ksatria yang mengedepankan kepentingan dan keselamatan negara di atas kepentingan kelompok dan dirinya.

Indonesia bukanlah Arab Saudi atau pun RRT, apalagi Israel. Indonesia adalah nusantara yang dipersatukan atas sumpah sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air pada tahun 1928 dan diproklamirkan sebagai negara pada tahun 1945 melalui darah-darah yang tertumpah dan penderitaan panjang jutaan umat manusia nusantara ini. Oleh karena itu, sebagai manusia-manusia yang menghargai pendiri-pendiri negara ini, dengarkanlah nasehat yang disampaikan Ir. Soekarno tersebut, “Pemilihan umum jangan menjadi tempat pertempuran. Perjuangan kepartaian yang dapat memecah persatuan bangsa Indonesia”.

*) Edison Guntur Aritonang, Mahasiswa Doktoral Ilmu Kesejahteraan, Program Studi Kesejahteraan Sosial – Universitas Indonesia.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent