The Banality Of Evil: Teror & Ideologi Totaliter Berkedok Agama
Kesaksian Binawan Widyarto (BW), salah seorang tetangga Dita Upriyanto (DU), kepala keluarga dan pelaku peledakan tiga Gereja di Surabaya, mengingatkan kita pada istilah “Banalitas Kejahatan” (the banality of evil) yang dikatakan oleh filsuf perempuan Hannah Arendt. Konteksnya sangat berbeda tentu saja. Arendt bicara tentang sosok Adolf Eichmann (AE), seorang petugas kamp konsentrasi Nazi yang memfasilitasi genosida warga Yahudi pada era PD II. Sedangkan UP menjadi sosok pelaku bom bersama keluarganya yang berjumlah 5 orang, termasuk isteri dan 4 orang anaknya dan menewaskan 18 orang serta puluhan korban luka-luka.
Kendati dalam dua konteks yang berbeda tsb, tetapi ada semacam kemiripan yg mengerikan antar kedua pelaku kejahatan tsb. Yaitu keduanya adalah orang-orang yang tampilan luarnya tidak mencerminkan sosok yang sangar, keras, atau bahkan berbeda di mata orang lain bahkan yabg cukup dekat. Eichnann dan DU adalah kepala keluarga yang normal, baik, taat beribadah, dll. Dan yang lebih penting lagi, kedua kasus biadab tersebut dilandasi oleh ideologi totaliterisme, walau asal sumbernya berbeda. Yang satu dari Fasisme Nazi dan yang satu dari kelompok teroris ISIS.
Perbuatan-perbuatan mereka sangat mengerikan dan dianggap sebagai kejahatan luar biasa bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan. Perbuatan yang mendapat kutukan dari memicu kemarahan moral dan tuntutan agar kelompok atau organisasi penyebar ideologi dan aksi teror tsb dihancurkan.
Fenomen banalitas kejahatan seperti Nazi dan terorisme, khususnya yang dilakukan oleh ISIS dan proxynya di Surabaya, berasal dari ideologi totaliter ekstrim. Bagi pendukung totaliterisme semacam Eichmann dan DU, aksi brutal bukanlah suatu hal yang mengusik jiwa, tetapi tugas mulia dan dalam bahasa agama, dianggap berpahala. Yang lebih mengerikan dalam kasus terorisme ISIS adalah ideologi totaliter mereka menggunakan justifikasi dan tafsir ajaran agama bahwa mereka adalah para martir atau syahid yang melaksanakan jihad dengan jaminan mendapat balasan surga.
Ideologi totaliter menganggap kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai perbuatan mulia, sesuatu yang banal atau lumrah dan tanpa ada rasa bersalah. Bahkan dalam kasus terorisme, mereka menyebut sebagai ‘amaliyah‘ atau laku kebaikan yang mendapat pahala. Inilah yang membuat radikalisme dan terorisme bertopeng agama sangat mengerikan dan lebih sulit ditumpas ketimbang ideologi totaliter seperti Nazisme Hitler dan Fasisme ala Stalin, Polpot, Mao, dll.
Banalisasi kejahatan pada ideologi radikal terorisme abad 21 dibungkus dengan legitimasi “kesucian” dan “pahala.” Manipulasi ajaran agama dan propaganda bahwa aksi teror adalah “jihad” dan pelakunya adalah “para syahid” sangatlah sulit untuk diredam karena campuran antara klaim kebenaran dengan realitas politik, ekonomi, dan budaya suatu lingkungan masyarakat dan negara tertentu.
Ideologi totaliterisme, baik yang dari paham sekuler maupun paham yang dianut kelompok2 radikal transnasional harus dilawan dengan ketegasan dan keberanian menolak TANPA kompromi. Kendati strategi dan taktik mereka berbeda beda, namun pada intinya mereka sepakat bahwa tak ada hal yang terlalu jahat atau biadab serta melanggar keadaban dan kemanusiaan. Yang penting adalah menghancurkan liyan demi kekuasaan politik.
Simak rekaman video acara ILC di bawah ini:
*) Muhammad AS Hikam, pengamat politik, dosen di President University