Dibalik Alotnya Revisi UU Terorisme: Masalah “Leading Sector.”
Dalam proses revisi UU Terorisme terdapat sebuah persoalan dasar yang memerlukan jawaban tepat: Apakah terorisme merupakan tindak kriminal atau tindakan perang? Dapatkah keduanya disatukan dan jika demikian dengan cara apa. Pertanyaan ini bukan hal yang sepele dan dapat dijawab dengan hitam atau putih. Sebab jawaban atasnya akan memiliki implikasi kebijakan strategis menghadapi ancaman nasional suatu negara, yang ramifikasinya sangat jauh termasuk (namun tak terbatas pada) siapa pihak-pihak yang menjadi “leading sectors” dalam pemberantasan terorisme, lembaga pengadilan mana yang tepat untuk digunakan, dan bagaimana strategi menghadapi terorisme pada jangka pendek, menengan, dan panjang.
Negara adidaya seperti AS pun menghadapi pertanyaan-pertanyaan tersebut pasca-tragedi 11 September dan harus menjawab dengan cepat dan efektif. Ternyata dalam kenyataan tak mudah. Pihak yang pro terhadap pandangan pertama (kriminalitas) menggunakan dalih bahwa aksi teroris bukan dilakukan oleh entitas yang jelas, seperti negara atau kelompok insurgensi, sehingga para pelakunya bukanlah para kombatan sebagaimana yang diatur dalam hukum perang.
Pihak yang pro terhadap pandangan kedua (perang), sebaliknya mengatakan bahwa aksi terorisme merupakan tindakan perang melawan sebuah negara berdaulat dengan tujuan yang tak berbeda dengan perang konvensional, yaitu hancurnya negara. Karena itu para pelakunya pun masuk dalam katgori kombatan dan harus dihadapi sebagaimana layaknya kombatan dalam perang. Kendati organisasi di balik para teroris tidak selalu jelas, namun terorisme merupakan sebuah tindakan bertujuan politik yang berujung pada perubahan fundamental sebuah negara.
Pihak pertama tentu saja menolak apabila militer ikut campur apalagi menjadi “leading sector” di dalam penanganan terorisme. Karenanya ancaman terorisme dan penanggulangannya harus ditangani oleh aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian Negara, sedangkan kekuatan militer hanya sebagai pendukung gakkum tersebut. Peradilan pidana sipil dan bukan peradilan militerlah yang mesti digunakan untuk mengadili para pelaku teroris.
Pihak kedua menganggap militer perlu terlibat secara aktif karena ancaman terorisme adalah kedaulatan negara secara total, sehingga ia bukan hanya merupakan sebuah tindakan pelanggaran hukum pidanan biasa. Dalam pandangan Charles Allen, pejabat tinggi Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS), setidaknya perbedaan antara gakkum dan perang adalah cair sifatnya. Karenanya, “diperlukan seluruh instrumen, termasuk dplomasi, pengak hukum, intelijen, dan militer” didalam penanggulangan terorisme tsb. ( https://www.voanews.com/a/terrorists-criminals-or-enemy-combatants-83543982/111930.html).
Dalam konteks Indonesia, perbincangan dan perdebatan terkait pertanyaan inilah yang ikut berkontribusi pada proses revisi UU Terorisme sehingga terjadi kelambatan. Hemat saya, sejatinya para pemangku kepentingan di negeri ini sudah sangat memahami bahwa tidak mungkin penanggulangan terorisme didekati dengan perspektif “hitam putih” apalagi dengan menampilkan ego sektoral yang kasat mata.
Ancaman dan aksi-aksi terorisme di era global tak lagi bisa dipahami dengan cara konvensional, sebab salah satu karakter dari lingkungan strategis global adalah maraknya ancaman dalam bentuk non-konvensional, termasuk meguatnya aktor-aktor non negara yang memiliki akses pengetahuan, teknologi, persenjataan dan intelijen yang mampu bersaing dengan negara. Sifat transnasional dari terorisme, baik pada tataran ideologi maupun gerakan, meniscayakan suatu model pendekatan yang inkonvensional. Termasuk pelibatan militer dan intelijen serta diplomasi (konvensional dan publik) yang efektif.
Revisi UU Terorisme tak pelak lagi, meniscayakan adanya pendekatan non konvensional dan lintas-sektoral tersebut. Jika hasrat ego sektoral masih kuat bercokol, maka dipastikan akan menjadi kendala dalam pengambilan keputusan dan kebijakan yang seharusnya dilakukan secara cepat, akurat, dan tepat sasaran. Semoga!
Simak tautan ini:
1. http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-40104073
2. http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/07/160721_indonesia_ruuteroris_tni
3. http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160303_indonesia_ruu_terorisme.shtml
4. https://www.voanews.com/a/terrorists-criminals-or-enemy-combatants-83543982/111930.html
5. https://nasional.tempo.co/read/1088576/sby-intelijen-polisi-dan-tni-diperlukan-untuk-hadapi-terorisme
*) Muhammad AS Hikam, pengamat politik, dosen di President University