Ketidakvalidan Data Pemilih Dan Ketidaknetralan ASN Dalam Pilkada Belum Teratasi

Ketidakvalidan Data Pemilih Dan Ketidaknetralan ASN Dalam Pilkada Belum Teratasi

Ditengah bergulirnya waktu terkait tahapan pelaksanaan kampanye pada Pilkada Serentak 2018, permasalahan penentuan daftar pemilih masih menjadi persoalan yang perlu mendapat atensi dalam skala prioritas. Permasalahan tersebut masih berkisar tentang masih ditemukan pemilih yang belum masuk dalam DPT karena terdapat kendala seperti meninggal, TNI, Polri, belum terdaftar dan belum melakukan perekaman E-KTP. Secara teknis bentuk jaminan pemilih untuk dapat menggunakan hak pilih adalah tersedianya daftar pemilih yang akurat, hal ini mengingat persyaratan bagi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilih adalah terdaftar dalam daftar pemilih. Apabila pemilih telah terdaftar dalam daftar pemilih, maka pada hari pemungutan suara mereka mendapat jaminan untuk dapat menggunakan hak pilihya. Demikian pula sebaliknya, bila pemilih tidak terdaftar dalam daftar pemilih, maka mereka pun potensial kehilangan hak pilihnya. Untuk memberikan jaminan agar pemilih dapat menggunakan pilihnya, harus tersedia daftar pemilih akurat yang memenuhi standar kualitas daftar pemilih.

Permasalahan ketidakvalidan data pemilih menjelang Pilkada 2018 terjadi di Magelang dan Semarang (Jawa Tengah), Kupang dan Kab. Timor Tengah Utara (NTT), Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Bima, Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Dompu (NTB), Kabupaten Empat Lawang (Sumatera Selatan), Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Katingan (Kalimantan Tengah), Kabupaten Seram Bagian Timur (Maluku) merupakan sinyalemen negatif bagi penyelenggara Pilkada karena DPT adalah database pemilih sekaligus pusat perhatian dari Paslon dalam Pilkada, dan menjadi titik potensial untuk dijadikan bahan melakukan gugatan terhadap penyelenggara Pilkada. Sementara itu, dari aspek partisipatif, permasalahan DPT yang secara umum telah ditetapkan melalui Rapat Pleno KPU di beberapa Kabupaten/Kota sejak 19 April 2018, mengindikasikan masih adanya sejumlah permasalahan yang mengakibatkan munculnya sikap penolakan dari Paslon (pasangan calon, red) dan bisa menjadi potensi kerawanan untuk dijadikan trigger munculnya sengketa Pilkada.

Kasus pencabutan jaringan perekaman KTP Elektronik pada Dinas Dukcapil Dompu merupakan tindakan tegas berupa sanksi adminsitratif oleh Kementerian Dalam Negeri terhadap Bupati Dompu yang dianggap melanggar Permendagri No. 76 Tahun 2015. Namun demikian, pencabutan jaringan perekaman KTP Elektronik tidak hanya mengganggu proses perekaman KTP Elektronik untuk kepentingan Pilkada Serentak 2018, tetapi juga menghambat masyarakat dalam pengurusan adminstrasi kependudukan dan kepentingan lainnya.

Munculnya persoalan terkait perbedaan jumlah daftar pemilih Pilkada di daerah tidak terlepas  akibat lemahnya database kependudukan sehingga menyulitkan upaya sinkronisasi jumlah data pemilih, termasuk adanya pemilih yang dipengaruhi ideologi tertentu, sehingga tidak mempercayai mekanisme demokrasi. Di sisi lain, kelemahan tersebut tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggungjawab dengan memanipulasi jumlah daftar pemilih guna kepentingan pragmatisnya di tengah pelaksanaan Pilkada 2018.

Penetapan DPT Pilkada Serentak 2018 telah dilaksanakan KPU di sejumlah daerah, masih menyisakan soal ketidakakuratan DPT dengan masih ditemukanya calon pemilih yang tidak terdaftar, pemilih ganda hingga ditemukannya pemilih fiktif. Berlanjutnya masalah ketidakakuratan DPT, apabila tidak diselesaikan dengan baik, akan memicu ketidakpuasan Paslon Pilkada dengan berupaya mengitimidasi penyelenggara Pemilu melalui pengerahan massa, berusaha menunda pelaksanaan Pilkada ataupun menolak hasil Pilkada jika mereka mengalami kekalahan.

Tidak terakomodirnya pemilih potensial dalam daftar pemilih tetap (DPT) karena berbagai permasalahan sistem administrasi kependudukan berpotensi menimbulkan kekecewaan dan aksi protes dari calon pemilih dan pihak-pihak yang dirugikan. Hal tersebut juga dapat menurunkan tingkat partisipasi pemilih dan tingginya angka golput, yang rawan menimbulkan gugatan hukum pasca penyelenggaran Pilkada dan serta menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara Pilkada dan pemerintah. Penyelenggara Pilkada juga masih dihadapkan kekurangan kebutuhan logistik seperti kotak suara, yang berpotensi menjadi gangguan dalam pelaksanaan pemilihan.

Permasalahan E-KTP diperkirakan masih akan ditemukan di daerah lain menjelang penetapan DPT Pilkada serentak 2018. Permasalahan terkait  E-KTP tersebut selain berdampak pada banyaknya warga yang telah memiliki hak pilihnya tidak terdaftar dalam DPT Pilkada, dapat meningkatkan angka Golput, serta akan berimbas dalam DPT Pemilu 2019. Selain itu, permasalahan E-KTP ini rawan akan dimanfaatkan oleh Paslon yang kalah dalam Pilkada untuk mengajukan sengketa Pilkada. Tidak hanya itu saja, selama pemerintah belum memiliki database tunggal kependudukan, maka persoalan terkait DPT masih akan terus terjadi menjelang Pilkada dan Pemilu.

Sementara aksi unjuk rasa elemen masyarakat yang terkait masalah money politic dan E-KTP menunjukkan masih kurang maksimalnya kinerja KPU dalam menyelenggarakan Pilkada, serta Panwaslu dalam melakukan pengawasan. Permasalahan ini kiranya dapat menjadi masukan, terutama bagi intansi yang bertanggungjawab terhadap masalah E-KTP untuk melakukan perbaikan kinerjanya. Selain itu, KPU kiranya dapat melakukan upaya-upaya untuk mengantisipasi potensi masalah tersebut dan bekerja secara optimal.

Aksi unjuk rasa elemen masyarakat yang ditujukan kepada penyelenggara Pilkada menujukkan masih kurang maksimalnya kinerja KPU dalam menyelenggarakan Pilkada, serta Panwaslu dalam melakukan pengawasan. Permasalahan ini kiranya dapat menjadi masukan bagi penyelenggara untuk melakukan perbaikan kinerjanya dalam menyelenggarakan Pilkada. Dalam hal ini, KPU kiranya dapat melakukan upaya-uapaya untuk mengantisipasi potensi masalah tersebut dan bekerja secara optimal. Begitu pula aksi protes elemen masyarakat terkait penetapan DPT Pilkada, kiranya menjadi perhatian KPU untuk segera menjelaskan keputusan yang diambilnya, sehingga dapat diterima semua kalangan masyarakat.

Ketidaknetralan ASN/PNS

ASN sebagai salah satu pilar penyelenggaraan pemerintahan dituntut bersikap netral, sehingga tahapan Pilkada yang sedang berjalan dapat berlangsung dengan jujur, adil, dan transparan, serta menghasilkan kepala daerah sebagaimana yang dikehendaki rakyat, dan mencegah pengkotak-kotakan ASN berdasarkan afiliasi politik pasca Pilkada.

Masih ditemukannya ketidaknetralan ASN dalam kampanye Pilkada menunjukkan lemahnya pengawasan yang dilakukan Inspektorat Pemprov/Pemda kepada para pegawainya, serta kurangnya dukungan pemangku kepentingan mendorong agar Panwaslu tegas dalam menindaklanjuti dan menyelesaikan temuan pelanggaran ASN.

Masalah netralitas ASN adalah persoalan politik yang sangat sulit diimplementasikan, karena keberadaan ASN yang memiliki sumber informasi, akses dan dukungan dari kerabat/keluarganya jelas merupakan segmen politik yang akan dibidik oleh Paslon untuk memperluas dukungan politiknya. Tindakan tegas terhadap para ASN yang tidak netral yang dilakukan Panwaslu Halsel, juga diharapkan dilakukan Panwaslu di wilayah lain yang menyelenggarakan Pilkada guna memberikan efek jera.

Di samping itu, ketidaknetralan ASN apabila tidak ditangani secara maksimal dikhawatirkan menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk menirunya. Oleh karena itu, sanksi yang tegas dan berkeadilan perlu dilakukan demi terciptanya demokratitasi yang bermartabat sesuai dengan UU ASN dan UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota.

Pihak penyelenggara masih menemukan keterlibatan aparatur sipil negara yang  ikut berpolitik praktis, seperti di Kota Tidore (Maluku Utara) dan Kabupaten Katingan (Kalimantan Tengah), kendati hanya sebatas menghadiri rapat internal salah satu Parpol dan ujaran kebencian terhadap Paslon tertentu, namun dapat menimbulkan berbagai spekulasi. Hal ini menunjukkan, selain masih rendahnya kesadaran ASN, juga kemungkinan dikarenakan belum optimalnya pengawasan terhadap ASN, sehingga menjadi tidak netral dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2018. Padahal, instruksi presiden terkait pemberian sanksi yang lebih tegas kepada ASN yang tidak netral dalam Pilkada sebenarnya sudah dipersiapkan Kemenpan RB.

Secara umum, berbagai laporan terkait bentuk-bentuk pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh ASN dan oknum penyelenggara Pemilu telah ditindaklanjuti oleh pihak penyelenggara Pilkada maupun Komisi ASN sebagai pihak yang berwenang dalam memberikan sanksi. Meski demikian, indikasi lambannya tindaklanjut atas dugaan pelanggaran netralitas di Prov. Maluku, perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Hal ini mengingat kasus tersebut melibatkan sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov Maluku dengan salah satu Cagub, sehingga memunculkan dugaan hal ini tidak terlepas dari ikatan emosional maupun struktural yang pada akhirnya mendorong ASN untuk mendukung terhadap salah satu Paslon. Selain itu, lemahnya keterangan yang dapat mendukung upaya penindakan juga menjadi salah satu faktor yang pada akhirnya dilakukan dihentikannya penanganan kasus netralitas maupun penyalahgunaan wewenang.

Sementara, masih ditemukannya ketidaknetralan ASN selain akibat lemahnya pengawasan internal Pemda, belum adanya sanksi hukum yang tegas untuk memberikan efek jera terhadap ASN, masih rendahnya kesadaran ASN dalam mematuhi kode etik dan perundang-undangan yang berlaku, termasuk adanya “tekanan politik” kepada ASN untuk berpihak atau kehilangan jabatannya.

*) Pramitha Prameswari, Pemerhati masalah Pilkada dan Pilpres. Tinggal di Mranggen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent