Pertemuan Jokowi-PPA 212 dan Dinamika Politik Menjelang 2019
Pertemuan di Istana Bogor pada Minggu, 22 April 2018, antara PAP 212 dengan Presiden Jokowi (PJ), hemat saya, adalah sebuah upaya lobbi politik agar Habib Rizieq Syihab (HRS) bisa kembali ke tanah air TANPA dibebani masalah hukum yang, sampai saat ini, prosesnya masih MANDEG. Selain itu nama-nama tokoh lain juga masih dalam status tersangka.
Itulah sebabnya wacana “kriminalisasi ulama” menjadi semacam kode yang digunakan dalam upaya mendesak Pemerintah PJ untuk membebaskan tokoh-tokoh Islam politik dari jerat hukum. Bagi PPA 212 dan juga kelompok Islam politik, ketidak hadiran HRS di pentas perpolitikan nasional saat ini adalah pukulan besar; karena ia sangat mengurangi kemampuan mobilisasi kekuatan massa akibat tidak adanya kepemimpinan yg berkharisma serta memiliki pengaruh politik di tingkat nasional.
Bahkan tokoh seperti mantan Keua MPR dan mantan Ketum PP Muhammadiyah, Amien Rais (AR), pun tampaknya masih belum mampu menjadi substitusi HRS dalam konteks mobilisasi sumberdaya politik kelompok tsb. Sebaliknya, fakta yang diketahui publik adalah justru perpecahan dalam kelompok Alumni 212; dan ini akan berdampak serius bagi gerakan politik untuk menggalang kekuatan anti PJ di Pilpres 2019. Seperti pernah saya tulis sebelumnya, keberadaan HRS di tanah air adalah conditio sine qua non bagi gerakan anti PJ.
Sikap PJ merespon lobbi politik itu, tak pelak lagi, sangat menentukan dinamika gerakan kelompok Islam politik ke depan, terutama pada Pilpres 2019. Jika PJ berhasil diyakionkan agar bersikap akomodatif dan membuka peluang kembalinya HRS tanpa ada kelanjutan proses hukum, tentu akan berdampak positif bagi penguatan gerakan kelompok Islam politik. Bisa diprediksi bahwa mobilisasi massa seperti pada Pilkada DKI 2017 akan terjadi lagi dan bukan hanya di ibukota saja. Pada tingkat elektoral, koalisi oposisi pun akan mendapat ‘darah segar’ yang sangat berguna bagi kampanye maupun gerak mesin politik mereka sampai lapis bawah.
Namun jika PJ konsisten dengan posisinya yakni mematuhi proses hukum, tentu saja akan meningkatkan tekanan dari kelimpok Islam politik yang, sudah menjadi fakta, saat ini sudah gencar dilakukan. Kendati demikian, dengan opsi ini PJ tidak akan terlalu repot menghadapi kemungkinan eskalasi gerakan oposisi, dan Pemerintah akan bisa berkonsentrasi pada upaya meningkatkan kerja pada dua tahun sisa term pertama tugasnya. Khususnya dalam menjawab aspirasi rakyat terkait kesenjangan dan ketimpangan ekonomi, yang menjadi salah satu faktor menentukan dalam elektabilitas Pilpres 2019.
Alternatif-alternatif di atas tentu ada plus dan minusnya masing2. Apapun pilihannya, PJ dan para pembantunya serta parpol pendukungnya tak bisa meremehkan dinamika yang ditandai dengan kian assertifnya kelompok oposisi, khususnya komponen Islam politik tsb. Baik opsi memberikan akomodasi maupun menolaknya, keduanya memerlukan kemampuan untuk menyiasasi dan mengantisipasi serta menghadapi implikasi-implikasinya.
Kendati di atas kertas sampai saat ini PJ masih menikmati dukungan yang tinggi dari rakyat Indonesia, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai survei, tetapi perkembangan politik selalu bisa berubah dengan cepat. Kampanye “2019 Ganti Presiden” yang digelar kelompok Islam politik, misalnya, ternyata memiliki gaung yang kuat, dibuktikan dengan munculnya respon yang serius dari elite parpol, bahkan PJ sendiri. Ini menjadi salah satu indikasi bahwa kontestasi merebut dukungan pemilih telah, sedang, dan akan berlangsung dalam berbagi bentuk dan wahana.
*) Muhammad AS Hikam, pengamat politik, dosen di President University