Politik Identitas Muncul di Pilkada Sumut
Belum selesai dampak dari Pilkada DKI 2017 yang menyita perhatian publik, karena menggunakan politik identitas yang mengakibatkan polarisasi massa, muncul lagi di Pilkada Sumut. Sebuah surat yang berjudul Komitment Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Letjend TNI (Purn) Edy Rahmayadi dan H. Musa Rajekshan beredar di masyarakat. Surat dengan tanggal 24 Februari 2018 tersebut selain ditandatangani Pasangan Calon Gubernur Sumut yang tersebut dalam judul, juga ditandatangani oleh GNPF Ulama, Ketua Majelis Istiqomah ICMI Muda Pusat, dan Ketua MUI Sumut.
Inti dari surat tersebut adalah komitment politik dari pasangan calon gubenur dan wakil gubernur untuk: (1) membela kepentingan Islam, Ummat Islam, dan Ulama; (2) menjaga & mensertifikasi masjid-masjid yanga da di Sumatera Utara secara bertahap; (3) membangun Islamic Center; (4) menjadikan GNPF Ulama Sumut, para Ulama serta Ummat sebagai Mitra strategis dalam mengelola persoalan ummat. Dalam surat tersebut juga tertera bahwa GNPF Ulama Sumut akan berupaya dan berusaha untuk menggerakkan kekuatan dan potensi Ummat Islam agar bersama-sama berjihad politik untuk memilih dan memenangkan pasangat ERAMAS pada pilkada 27 Juni 2018.
Munculnya surat tersebut tentu menjadi kekhawatiran bagi demokrasi Indonesia. Demokrasi sebagai instrument politik untuk memilih kepala daerah seharusnya berbasikan kompetensi sehingga masyarakat memilih berdasarkan rasionalitas dan kinerja paslon, bukan dari persamaan identitas paslon. Meskipun sah-sah saja bagi masyarakat untuk memutuskan pilihannya karena persamaan identitas seperti agama dan suku, namun jika identitas tersebut digunakan untuk kegiata politik sangatlah tidak etis.
Bawaslu diharapkan dapat bersikap tegas dalam menghadapi fenomena ini. Dampak dari politik identitas dapat mengarah pada polarisasi massa yang bisa berujung pada konflik. Jika tidak dideteksi dan dicegah sejak dini maka Bawaslu ibarat membiarkan adanya api dalam sekam. Tindakan tegas dari Bawaslu sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan pilkada menjadi kunci dalam menjaga pilkada serentak 2018 di Indonesia dapat berjalan dengan demokratis dan berkualitas.
Pilkada DKI 2017 diduga akan menjadi model bagi kelompok tertentu untuk memenangkan calon yang didukung. Penggunaan isu agama yang efektif memenangkan Pilkada di DKI akan diduplikasi di tempat lain terutama yang komposisi koalisi partainya serupa. Hal ini tentu harus dicegah untuk menghindari keresahan dan menurunya kualitas demokrasi Indonesia.
*) TW Deora, jejaring aktifis Strategic Assessment.