Kerugian Jict Akibat Penurunan Kinerja Operator Bongkar Muat

Kerugian Jict Akibat Penurunan Kinerja Operator Bongkar Muat

Dampak dari penurunan kinerja bongkar muat petikemas sejak operator RTGC yang ditangani oleh vendor PT. Multi Tally Indonesia (MTI) mulai Januari 2018, telah menimbulkan kerugian cukup besar baik bagi JICT mau pun pengguna jasa. JICT sendir menderita kerugian sebesar Rp. 8,7 miliar dari pemasukan CHC dan storage akibat tiga kapal dengan total muatan 4.377 TEUs dipindahkan ke terminal lain serta terjadi double berthing terhadap 3 kapal, sementara kerugian dari pengguna jasa, yaitu pengusaha angkutan sekitar Rp. 37,5 miliar.

Angka kerugian tersebut dihitung dari penurunan ritase angkutan rata-rata 1 rit perhari karena pelayanan lamban dan macet, dengan asumsi 1 hari 2.500 trailer in out di JICT x ongkos angkut Rp. 1,5 juta/rit x 10 hari pelayanan lamban. Kerugian pelayaran mencapai Rp. 4,8 milir antara lain akibat kapal delay x tarif jasa tambat, dimana tarif jasa tambat untuk 24 jam (1 etmal) sebesar Rp. 240.300.000, kerugian tersebut dapat dirinci sebagai berikut 8 kapal delay 6 jam (1/4 etmal) dengan tarif jasa tambat Rp. 60.075.000 = Rp. 480.600.000,- ; 20 kapal delay 12 jam (1/2 etmal) tarif Rp. 120.150.000 = Rp. 2.403.000.000,-; 4 kapal delay 18 jam (3/4 etmal) tarif Rp. 180.225.000 = Rp. 720.900.000,- 4 kapal delay 24 jam (1 etmal) tarif Rp. 240.300.000 = Rp. 961.200.000,-; 1 kapal delay 30 jam (1 1/4 etmal) tarif Rp. 300.375.000 = Rp. 300.375.000,-

Kalau barang lebih dari 3 hari di lapangan penumpukan karena tidak bisa keluar terkena finalti Rp. 300 ribu/hari/ box untuk 20 feet dan Rp. 600 ribu/hari/box untuk 40 feet. Belum lagi harus bayar demurage kalau terlambat mengembalikan kontainer sebesar US$ 60/hari/box/ukuran 20 feet dan US$ 100/hari/box 40 feet.

Pihak SP JICT juga menilai bahwa proses peralihan vendor operasional yang terjadi di Pelabuhan Petikemas tersebut seperti aksi persekongkolan “jahat” yang sangat mengkhawatirkan, terlebih lagi, dampak kerugian bagi pelanggan, perusahaan dan keamanan negara sangat besar. Adapun dwelling time Pelindo II tercatat naik 6 hari karena dampak vendor baru JICT. Ditambah kemacetan truk pengangkut petikemas berjam-jam.

Produktivitas JICT hanya 10-15 mph (move per hour). Jauh dari standar yang ditetapkan pemerintah yaitu 26 mph, dimana juga terjadi antrian truk hingga mencapai 32 jam dan kapal-kapal delay hingga 44 jam. Semuanya ini terjadi setelah MTI beroperasi. Selain itu dalam kurun waktu 2 minggu sudah terjadi lebih dari 14 kecelakaan kerja, dan ada 2 petikemas impor yang sudah sampai di gudang namun salah pemilik. Hal ini sangat berbahaya, sebab dari sisi keamanan ini merupakan suatu kecerobohan yang dapat dimanfaatkan untuk mengacau keamanan negara.

SP JICT merasa perlu melakukan suatu gerakan atas ketidak beresan yang terjadi di Pelabuhan Petikemas pasca dioperasikan oleh vendor baru yaitu MTI, dan dalam hal ini pihak Direksi sangat tidak pantas membela sebuah vendor yang sangat tidak kompeten dalam bidang bongkar muat. Kalau vendor tidak cakap kinerjanya, harus ada evaluasi, dan dalam hal ini sama sekali tidak ada, ini jelas terjadi kejanggalan. *JICT dan pengguna jasa sudah rugi miliaran, produktivitas pelabuhan anjlok dan program pemerintah serta kemanan negara terancam*. Tapi Direksi JICT bersama Pelindo II justru seolah tidak mau tahu dan selalu membela habis-habisan vendor MTI, dan sangat terlihat jelas terjadi persekongkolan dalam pengantian vendor bongkar muat.

*) Firmansyah Sukardiman, Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja JICT.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent