Hariman Siregar : 60% Kekayaan Indonesia Hanya Dikuasai 40 Orang

Hariman Siregar : 60% Kekayaan Indonesia Hanya Dikuasai 40 Orang

Era reformasi bagaimana kita bertanya pembangunan untuk siapa dan arahnya kemana, karena 60% kekayaan Indonesia dikuasai 40 orang yaitu sekitar US 126 milair dollar namun kita berhutang US $ 400 miliar dollar lebih.

Demikian dikemukakan Hariman Siregar dalam diskusi publik  bertema “Mengembalikan Reformasi yang Kita Mau” yang diselenggarakan oleh Indemo dalam rangka peringatan 44 tahun Malari/ Lima Belas Januari dan 18 tahun Indemo di Yogyakarta (15/1/2018) seraya menambahkan, saat ini 20 tahun reformasi atas otoritarianisme namun sekarang apa capaian dari reformasi banyak yang masih kurang dari tuntutan mahasiswa dimana kita masih belum mampu menjawab kemiskinan, dan terjadinya gap antara kaya dan miskin yang semakin tajam, dimana populisme terjadi.

Saat ini dalam era teknologi yang selalu menghubungkan, namun pemerintah saat ini tidak mampu memobilisasi dana dan hanya mengandalkan fiskal akibatnya kapitalisme ekonomi. Dibutuhkan pemimpin yang paham akan permasalahan karena tantangannya semakin berat seperti kesehatan, pendidikan, perubahan iklim, pangan dan sebagainya, jangan sibuk hanyamengurusi mahar politik, satgas-satgas yang tidak jelas,” ujar Koordinator Indemo tersebut.

Sementara itu, pembicara lainnya, Arie Sudjito mengatakan, saat ini sistem partai politik kita cepat berubah namun parpol tidak pernah berubah dimana Parpol tidak mampu mereformasi internal Parpol, dan saat ini membengkaknya politik identitas di daerah akibat gagal membangun ke Indonesia, adanya gap aktivis masa lalu dengan aktivis masa saat ini.

“Reformasi sektor Hankam masih belum selesai, namun faktanya saat ini justru para militer tergoda ikut politik praktis, padahal harusnya mengembalikan struktur demokrasi sipil yang lebih baik, bukan justru menggoda militer ikut politik praktis,” ujar Dosen Fisipol UGM Yogyakarta ini.Saat ini, ujar Arie, reformasi gagal mengambil ideologi besar dalam tujuan reformasi akibatnya banyak politik tidak masuk akal, dimana ditingkat nasional koalisi namun di daerah berseberangan hal ini menunjukkan bukan mengutamakan ideologi namun tujuan praktis.

Sementara itu, Bhima Yudhistira mengatakan, pasca reformasi angka ketimpangan ekonomi semakin parah dimana upaya untuk mengurangi ketimpangan sangat susah, dimana ketimpangan terus terjadi namun tidak ada upaya asma sekali.

“Selama 3 tahun ini kesejahteraan petani semakin menurun, daya beli semakin menurun dan pendapatan petani terus menurun, saat ini justru dilakukan impor beras, yang semakin merugikan petani,” ujar pengamat ekonomi politik ini.

*) Bayu Kusuma, pemerhati masalah Indonesia. Tinggal di Jakarta Selatan.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent