Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Mengenai Ambang Batas Pemilihan Presiden

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Mengenai Ambang Batas Pemilihan Presiden

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi Pasal 222 UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum kian melicinkan jalan bagi mundurnya demokrasi. Dalam putusan terhadap enam berkas perkara yang seluruhnya berisi gugatan terhadap Pasal 222 UU Pemilu itu, Kamis, 11 Januari 2017, MK
menyatakan menolak uji materi soal ambang batas pemilihan presiden demi memperkuat sistem pemerintahan presidensial dan penyederhanaan partai
politik.

Pasal 222 UU Pemilu mengatur bahwa partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014 untuk mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu Serentak 2019. Sejak disahkan, beleid ini telah memicu kontroversi karena dianggap memaksakan kehendak partai-partai pendukung pemerintah.

Saya benar-benar tidak bisa memahami nalar putusan MK. Di satu sisi MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 173 Ayat (1) dan (3) UU Pemilu, bahwa partai lama peserta Pemilu 2014 juga harus tetap menjalani verifikasi faktual, dengan argumen kesetaran dan untuk menghindari diskriminasi terhadap partai baru. Namun, di sisi lain, MK justru menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Pasal 222, padahal jelas-jelas pasal tersebut akan mendiskriminasi partai baru dalam proses pencalonan kandidat presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 nanti.

Bagaimana MK menjelaskan kontradiksi argumen semacam itu?

Sebagai penjaga konstitusi, MK seharusnya bisa menerjemahkan spirit konstitusi secara koheren, konsisten, dan komprehensif. Tapi dalam
kasus uji materi terhadap UU Pemilu kemarin, saya tidak melihat koherensi tersebut. Dalam pertimbangannya, misalnya, MK menilai ‘presidential
threshold’ relevan untuk memperkuat sistem presidensial. Padahal jelas-jelas aturan tentang ‘presidential threshold’ itu sangat bias sistem
parlementer. Di mana relevansinya? Itu kan kontradiktif. MK menjadi seolah ahli politik.

Saya kira hal ini hanya menghasilkan ‘setback’ dalam praktik berdemokrasi kita. Sebab, jika kita tengok lagi ke belakang, alasan kita
melakukan amandemen UUD 1945 salah satunya adalah untuk memurnikan sistem presidensial. Itu sebabnya, UUD hasil amandemen mendesain agar pemilu legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) dihelat secara serentak.

Dalam tiga Pemilu lalu, desain untuk memperkuat sistem presidensial ini telah dicederai oleh undang-undang Pemilu lama yang selalu menempatkan
perhelatan Pilpres digelar sesudah hajatan Pileg. Akibatnya, Pilpres jadi seperti politik dagang sapi. Apalagi, ada ketentuan tentang ‘presidential
threshold’ yang secara tidak langsung sebenarnya tengah mencangkokkan sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.

Untung kemudian ada Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, yang dibacakan pada 21 Januari 2014. Pada waktu itu MK mengabulkan gugatan Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Adanya putusan itu telah mengoreksi praktik yang tak sesuai dengan desain konstitusi tersebut.

Sayangnya, dengan keputusan terbaru yang dibuat MK kemarin, yang menolak uji materi terhadap Pasal 222 UU No. 7/2017, secara ironis langkah
maju itu kini akan mundur kembali. Demokrasi yang seharusnya bisa membuka ruang bagi setiap orang yang ingin maju dalam Pilpres, dan memberi
kebebasan partai politik untuk mengajukan calon terbaik versinya masing-masing, kini kembali ditutup.

Saya setuju dengan dua hakim yang mengajukan ‘dissenting opinion’ kemarin. Putusan MK itu bisa membuka peluang terjadinya penguatan
pemerintahan otoriter. Sebab, dengan menjadikan ‘presidential threshold’ sebagai argumen bagi penguatan sistem presidensial, kita sebenarnya sedang
membuat tafsir bahwa sistem presidensial yang benar adalah jika presiden dan parlemen dikuasai oleh partai atau kelompok yang sama. Tafsir semacam
ini berbahaya bagi demokrasi dan tata pemerintahan.

Parlemen adalah lembaga kontrol pemerintah.

Fungsi kontrol ini bisa mandul jika parlemen selalu dipaksa atau didesain untuk sama dengan Presiden, ataupun sebaliknya. Itu sebabnya, setiap penafsiran yang menyatakan bahwa presiden harus mendapatkan dukungan politik yang cukup di parlemen untuk memperkuat sistem presidensial, adalah argumen yang bermasalah, karena mengabaikan prinsip trias politica dalam demokrasi. Argumen semacam itu bias otoritarian.

Pasal 28D UUD 1945 sebenarnya telah menjamin warga negara untuk memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Mestinya MK menjaga dan
memperkuat jaminan konstitusional tersebut. Lagi pula, ketentuan ‘presidential threshold’ yang basisnya diambil dari hasil pemilu sebelumnya
adalah ketentuan yang tidak masuk akal. Negara-negara Amerika Latin yang menganut sistem presidensial dan sistem kepartaian majemuk juga tidak
mengenal ketentuan ‘presidential threshold’. Begitu juga dengan Amerika Serikat.

Sebagai keputusan hukum, putusan MK kemarin bersifat final dan mengikat walaupun seringkali tak konsisten. Kita hormati. Tapi, kita perlu
mengingatkan kepada hakim-hakim MK bahwa masa depan demokrasi kita ke depan bukan hanya berada di pundak partai-partai politik di parlemen saja,
ataupun di tangan Presiden saja, tapi juga ikut ditentukan oleh lembaga tinggi negara lainnya, termasuk MK sebagai penjaga konstitusi. Kita sangat
berharap hakim-hakim MK menyadari hal itu.

*) Fadli Zon, Plt Ketua DPR RI/Wakil Ketua Umum Partai Gerindra

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent