Probabilitas Jokowi dan Prabowo Bersatu pada Pilpres 2019

Probabilitas Jokowi dan Prabowo Bersatu pada Pilpres 2019

Nuansa tahun politik 2019 sudah mulai menggelora di penghujung tahun 2017. Pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2018 seolah-olah menjadi pemanasan untuk memasuki pesta demokrasi Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019. Beberapa Lembaga survey pun berlomba-lomba merilis hasil survey elektabilitas calon terkuat Presiden untuk bertarung dalam Pemilu 2019 mendatang. Hasilnya pun sudah dapat ditebak oleh masyarakat luas, dimana dua nama yang bertarung pada Pilpres tahun 2014 yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto secara popularitas dan elektabilitas masih merupakan kandidat terkuat untuk kembali bersaing pada Pilpres tahun 2019.Kesempatan Joko Widodo untuk mempertahankan jabatannya sebagai Presiden RI di Pilpres tahun 2019 cenderung lebih besar.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 17 s.d 24 September 2017 diperoleh hasil sebanyak 34,2 persen koresponden masih memilih Joko Widodo melanjutkan pemerintahan untuk periode kedua. Sedangkan 11, 5 persen responden lain memilih Ketua Dewan Pembina Gerindra, Prabowo Subianto. Adapun nama lain muncul diantaranya, SBY mendapat 2,1 persen, disusul Hary Tanoesoedibjo 1 persen, dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memperoleh 0,7 persen. Sementera itu, hasil survey dari Poltracking Indonesia yang dilakukan pada 8-15 November 2017, menunjukkan peluang kembali terjadinya head to head antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019. Elektabilitas Joko Widodo cenderung naik menjadi 53,2 persen, sedangkan Prabowo Subianto 33 persen. Hanta Yuda AR (Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia) menyatakan peluang terjadinya head to head masih cukup besar. Namun patut menjadi catatan adalah Gerindra harus sekuat tenaga membentuk poros pengusung Prabowo apabila ingin kembali bersaing dan menjaga kepercayaan publik terhadap partai poliitk. Mengingat hasil survey hanya 38,1 persen publik yang mempercayai parpol dan hanya 17,6 persen yang merasa dengan parpol.

Persaingan politik menjadi suatu konsep yang sangat penting terutama untuk meraih peralihan dan pergantian kekuasaan. Sedangkan Pemilu dipandang sebagai cara terbaik untuk mengalihkan atau mempertahankan kekuasaan dalam negara demokrasi seperti Indonesia.Pemerintah Indonesia yang menganut sistem multipartai membuat satu partai atau calon legislatif bersaing dengan yang lain. Untuk dapat keluar sebagai pemenang dalam Pemilu, Partai ataupun kandidat calon harus bersaing dan satu sama lain berusaha untuk mendapatkan suara terbanyak agar menjadi pemenang pemilu. Namun persaingan politik yang sehat, terbuka dan transparan sangat dibutuhkan dalam demokrasi, sehingga kontestasi politik tidak terjebak dalam kepentingan politis dan mengabaikan kepentingan teknokratis.

Menurut Schattscheneider (1942:42) melihat bahwa demokrasi merupakan sistem yang berbasis persaingan antar partai politik dan pemilihlah yang menentukan, sebagai pihak yang berada di luar sistem dan orgaisasi partai. Senada dengan Firmanzah dalam buku Persaingan, Legitimasi, Kekuasaan, dan Marketik Politik (2010 : 33) menyatakan, konsep persaingan politik merupakan dapat memenangkan kompetisi pemilu sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, dimana partai politik perlu memonitor dan mengevaluasi setiap strategi dan aktifitas yang dilakukan partai lain layaknya prinsip “zero sum”setiap kemenangan dari satu pemain merupakan kekalahan dari pihak lain. Sehingga yang paling penting adalah sejauh mana kontestan dapat “merebut hati” rakyat melalui program dan terobosan yang ditawarkan untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan negeri ini.

Dalam teori permainan (Game Theory) menyatakan suatu bentuk persaingan antara dua pihak atau antara dua kelompok dengan suatu pendekatan matematis untuk merumuskan situasi persaingan tersebut. Teori ini dikembangkan untuk menganalisa proses pengambilan keputusan dari situasi-situasi persaingan yang berbeda-beda dan melibatkan dua atau lebih kepentingan. Strategi yang diterapkan dalam teori permainan adalah setiap pemain menggunakan strategi tunggal (Pure Strategy Games) atau kedua pemain memakai campuran dari berbagai strategi yang berbeda-beda (Mixed Strategy Games). Bahkan ada suatu permainan yang dikenal sebagai dilema tahanan (Prisoners Dilemma) yang mengartikan kedua pemain bersekongkol untuk memenangkan permainan dengan adanya negosiasi politik diantara kedua pemain. Dalam strategi ini akan menunculkan titik sadel atau nilai keseimbangan Nash (Nash Equilibrium) yang menggambarkan kondisi dimana satu pihak mengambil keputusan berdasarkan keputusan pihak lain.

Dalam dunia politik terkenal istilah “Tidak ada musuh atau lawan yang abadi” selama punya agenda dan kepentingan yang bisa disamakan. Dan itu sudah berulang kali terjadi di kancah perpolitikan Indonesia. Tokoh politik yang berseberangan bisa saja berpelukan. Partai politik yang saling serang kemudian berubah saling dukung apalagi pada Pilkada banyak terjadi kesepakatan koalisi Parpol mengusung Paslon Kepala Daerah tanpa melihat rivalitas Parpol di tingkat nasional. Ini memang dunia khas perpolitikan Indonesia, di mana partai didirikan tidak berdasarkan idealisme idiologi. Semua jadi cair, tergantung kepentingan partai dan tokoh politik tersebut.

Situasi tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi pada kontestasi Pilpres tahun 2019. Dimana,penyatuan kekuatan, popularitas dan elektabilitas antara Jokowi dan Prabowo Subianto sangat memungkinkan terjadi dan bahkan dengan formasi Jokowi sebagai Capres dan Prabowo sebagai Cawapres. Terlebih lagi, Jokowi dinilai sangat perlu untuk menggandeng pimpinan partai politik yang sangat berpengaruh, seperti Prabowo Subianto yang selama ini memimpin partai Gerindra menjadi sangat solid karena menerapkan prinsip satu komando. Alasan lain adalah melihat sejarah partai pendukung Jokowi dan Prabwo. Pada Pilpres 2009, Megawati berpasangan dengan Prabowo. Namun dikarenakan Gerindra dianggap bersebrangan sehingga PDIP tidak mau mendukung Prabowo pada Pilpres 2014, sehinggadisharmonis koalisi antara PDIP dan Gerindra yang terus dimainkan hingga saat ini. Meskipun dari sisi hubungan pribadi antara Jokowi dan Prabowo justru menunjukkan keakraban dan saling mendukung satu sama lain, terutama demi kepentingan bangsa dan Negara Indonesia.

Tingginya popularitas Presiden Jokowi dan Ketua Dewan PembinaDPP Gerindra Prabowo Subianto membuka peluang kedua tokoh untuk berpasangan pada Pilpres 2019. Namun demikian, probabilitas Jokowi dan Prabowo bersatu pada Pilpres tahun 2019 tentunya harus memenuhi beberapa persyaratan yang tidak bisa dikesampingkan. Pertama, kebijakan internal masing-masing partai pendukung harus benar-benar melihat peluang perolehan suara yang cukup signifikan untuk memenangkan Pasangan Jokowi-Prabowo pada Pilpres tahun 2019. Selanjutnya adalah Prabowo Subianto harus menguburkan hasratnya untuk menjadi Presiden. Karena realitas politik saat ini hampir tidak memungkinkan Jokowi ditempatkan sebagai Wakil Presiden dan berdasarkan hasil beberapa lembaga survey menempatkan Jokowi di posisi teratas yang berpeluang kembali menjadi Presiden Indonesia periode 2019-2024. Kemungkinan ini sangat mungkin ditambah dengan faktor usia Prabowo apabila kembali gagal pada Pilpres 2019 sangat tidak memungkinkan untuk mencalonkan lagi pada Pilpres 2024.

Pelaksanaan Pilpres masih dua tahun lagi dan segala kemungkinan lobby politik pun masih sangat terbuka, terutama dengan kondisi perpolitikan Indonesia yang cenderung masih menggambarkan sikap oportunis yang sangat kuat. Asal jangan kontestasi politik Pilpres yang memposisikan masyarakat tetap sebagai konsumen politik dan semata-mata pasif hanya menunggu untuk dimobilisasi ke bilik-bilik suara saat pemilu sebagai dampak dari kampanye politik jangka pendek,melahirkan sikap apatis masyarakat terhadap kampanye politik itu sendiri dan terhadap pemilu, yang pada akhirnya hanya menghasilkan kelompok Golput lebih besar dibandingkan dengan perolehan dari Paslon Capres dan Cawapres terpilih itu sendiri.

*) Iqbal Fadillah, Pemerhati Sosial dan Politik

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent