Permasalahan Strategis di Indonesia, Bisakah Terselesaikan?

Permasalahan Strategis di Indonesia, Bisakah Terselesaikan?

Ada sejumlah permasalahan strategis yang “menggegerkan” dunia perpolitikan Indonesia, yang kemudian menimbulkan pertanyaan apakah permasalahan-permasalahan tersebut dapat ditangani dan terselesaikan, tanpa membuat gaduh situasi nasional ?

Setidaknya ada beberapa permasalahan strategis yang membutuhkan pencermatan secara serius dan intens yaitu kasus dugaan korupsi e-KTP terhadap Setya Novanto dan Munaslub Partai Golkar; hasil-hasil survei dan pengusungan isu soal duet-duet Capres dan Cawapres yang layak ditandingkan dalam Pilpres 2019; Masih kuatnya ancaman terorisme dan terorisme; serta permasalahan pergantian Panglima TNI.

Terkait kasus dugaan e-KTP yang melibatkan Setya Novanto yang sudah memasuki masa persidangan pra peradilan yang diajukan Setnov. Dalam hal ini, KPK benar-benar tertantang apakah memiliki bukti-bukti yang menyakinkan berkaitan dengan tuduhan kepada Setya Novanto, yaitu saksi-saksi kunci yang memastikan Setya Novanto adalah dalang korupsi e-KTP.

Jika KPK memenangkan pra peradilan melawan Ketua Umum Partai Golkar tersebut, maka KPK akan semakin dipercaya, namun jika menelan kekalahan kembali dalam pra peradilan, mungkin desakan pembubaran KPK kembali menguat, karena lembaga anti rasuah ini dianggap kurang profesional dan kurang berintegritas dalam menjalankan tugasnya.

Terkait kemungkinan duet Joko Widodo dengan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019 sebagai Capres dan Cawapresnya ataupun kemungkinan duet Jokowi dengan Budi Gunawan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), biasanya dalam memilih seseorang untuk menempati jabatan penting dewasa ini ada beberapa syarat yang bersifat “public record” diantaranya tidak terlibat tindak pidana, memiliki political clearance yang bersih, memiliki sejarah keuangan yang dipertanggungjawabkan, mempunyai pengalaman politik dan tugas kemasyarakatan, memiliki visi masalah kenegaraan, intelektualisme dan didukung partai politik akan sangat menentukan.

Disamping itu, yang perlu dipertanyakan adalah apakah Jokowi mau berpasangan dengan Prabowo Subianto ataupun tokoh lainnya. Jika Jokowi akan diduetkan dengan Prabowo Subianto, kemungkinan ada salah seorang jenderal purnawirawan di kabinet  Jokowi saat ini yang tentunya akan memberikan banyak saran kepada Presiden, yang kemungkinan dapat menyebabkan Jokowi tidak mau jika didesak diduetkan dengan Prabowo Subianto. Disisi yang lain, banyak kader Gerindra atau yang diklaim Fadli Zon sebanyak 90% kemungkinan besar akan kembali mencapreskan Prabowo Subianto yang membuat kemungkinan duet Jokowi-Prabowo Subianto menjadi kecil kemungkinannya.

Permasalahan strategis lainnya adalah masih kuatnya terorisme, radikalisme dan ujaran kebencian ditengah masyarakat. Masalah terorisme tidak hanya menyasar “far enemy”, namun juga “near enemy”. “Far enemy” yang disasar teroris antara lain, pemboman terhadap Masjid Al Rawdah di Mesir yang membuat lebih dari 100 orang tewas, penembakan liar di Amerika Serikat dengan motif yang bukan politis, namun refleksi kekesalan terhadap rumitnya kehidupan sosial dan lain-lain, sedangkan “near enemy” seperti serangan sel-sel kelompok teror di Indonesia di beberapa daerah seperti Bima, NTB, bahkan tewasnya tokoh teroris Indonesia yang bergabung dengan Islamic State, Bahrum Naim diperkirakan tidak akan menurunkan semangat sel-sel teror di Indonesia untuk melakukan serangan.

Perang melawan terorisme diperkirakan akan semakin sulit, apalagi banyak pakar intelijen menilai Presiden Amerika Serikat, Donald J Trump jelas kurang mengerti dan memahami tentang  terorisme yang dihadapi Amerika Serikat saat ini. Terorisme berawal dari konflik di Timur Tengah yang menimbulkan perang antara Palestina yang didukung negara-negara Muslim dengan Israel yang didukung Amerika Serikat. Sekarang ini, semua negara Islam di Timur Tengah kecuali Iran dan di Asia Barat sudah dalam pengaruh Amerika Serikat, tapi secara rahasia perkembangan aksi terorisme diarahkan untuk memerangi kepentingan Amerika Serikat dan Eropa Barat di Timur Tengah. Tidak hanya itu saja, agen-agen Israel dan Yahudi di Amerika Serikat aktif berkampanye anti Muslim dan Islam.

Situasi di Timur Tengah dan ancaman teror serta aksi-aksi radikal diperkirakan akan semakin eskalatif jika niat Donald J Trump memindahkan Kedutaan Besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerussalem, karena bagaimanapun juga Yerussalem masih dianggap “tempat suci” bagi tiga agama yaitu Islam, Kristen dan Yahudi.

*) Bayu Kusuma, pemerhati masalah Indonesia. Tinggal di Jakarta Selatan.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent