Reformasi Partai Politik
Setya Novanto telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus pengadaan KTP elektronik. Dengan penetapan ini maka Setya Novanto adalah Ketua Umum Partai Politik keempat yang menjadi tersangka kasus korupsi. Tiga (mantan) ketua umum Partai Politik yang menjadi tersangka kasus korupsi adalah Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat), Lutfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera), dan Suryadharma Ali (mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan).
Penetapan ini semakin menguatkan pandangan negatif publik terhadap DPR dan Partai Politik terutama jika dikaitkan dengan kasus korupsi. Survei yang dilakukan oleh Global Corruption Barometer (GCB) pada tahun 2016 mengatakan hal senada. GCB melakukan survei untuk mengukur persepsi masyarakat terhadap kinerja pemberantasan korupsi di Asia Pasifik. Survei dengan 1.000 responden berusia 18-55 tahun yang tersebar di 31 propinsi tersebut menunjukkan sebagian besar masyarakat menempatkan DPR di peringkat pertama lembaga negara yang dianggap korup, diikuti birokrasi pemerintah dan DPRD.
Hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Poltracking Indonesia pada 8-15 November 2017, yang dikutip dari detik.com menyebutkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap DPR cukup rendah dibanding lembaga lain. Berdasarkan hasil survei tersebut, tingkat kepuasan publik terhadap lembaga-lembaga negara adalah: Komisi Pemilihan Umum (54%), Polri (51%), Mahkamah Agung (46%), Mahkamah Konstitusi (46%), Badan Intelijen Negara (46%), dan Kejaksaan Agung RI (45%). Sedangkan MPR (44%), DPD (37%), partai politik (34%), dan DPR (34%).
Berkaitan dengan kinerja, capaian kinerja DPR bisa dikatakan tidak memuaskan. Dikutip dari kompas.com (4/9/2017) Dewan Perwakilan Rakyat baru menyelesaikan 4 rancangan undang-undang (RUU) secara kumulatif terbuka, dari target 49 RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2017. Capaian ini tentu sangat memprihatinkan mengingat manfaat undang-undang yang sangat signifikan bagi kehidupan bernegara.
Melihat tingkat kepuasan publik terhadap DPR yang rendah, serta capaian kinerja DPR yang tidak memuaskan maka perlu dilakukan suatu reformasi terhadap partai politik di Indonesia. Partai politik harus berubah mengingat partai politik adalah kendaraan bagi wakil rakyat agar dapat duduk di DPR. Jika partai politik mau berubah dan menghasilkan kader-kader politik yang mempunyai integritas dan tanggung jawab terhadap beban tugasnya maka diharapkan peran partai politik terhadap kemajuan dan perbaikan Indonesia lebih signifikan.
Rendahnya persepsi publik terhadap partai politik dan lembaga legislatif harus disikapi dengan aksi nyata melakukan perubahan. Perbaikan partai politik tidak cukup hanya dengan melakukan musyawarah nasional, tetapi perlu aksi yang lebih komprehensif dalam bentuk reformasi fundamental. Reformasi harus dilakukan secara menyeluruh mulai dari proses perekrutan hingga kinerja kader partai politik sebagai legislator atau kepala daerah.
Perekrutan kader harus mempertimbangkan kualitas dan integritas kader. Partai politik harus berani memilih orang-orang berkualitas untuk menjadi kadernya meskipun kader tersebut tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai. Perekrutan harus dilakukan dengan ketat, jika perlu menggunakan instrumen tes psikologi dan pengawasan tim profesional sebagai filter pertama kali untuk memperoleh kader-kader partai politik yang baik.
Rekam jejak kader partai politik mulai dari pendidikan, catatan kriminal, bisnis, dan aspek lain harus diperhitungkan dan dicermati dengan matang. Jangan sampai terjadi lagi kader partai politik yang sudah menjadi anggota legislator atau bahkan kelapa daerah terpaksa dicopot gara-gara ijazah palsu.
Kemungkinan negara untuk membiayai partai politiks secara penuh patut dipertimbangkan. Jika negara melakukan pembiayaan terhadap partai politik dan melakukan audit yang ketat terhadap penggunaan uang tersebut maka celah-celah terjadinya politik uang akan semakin menyempit. Hal ini sekaligus memberikan peluang kepada orang-orang yang berkualitas untuk dapat masuk ke dalam partai politik tanpa kekhawatiran beban finansial.
Pertimbangan lain pembiayaan partai politik oleh negara adalah menghindari adanya kegiatan politik yang berlebihan. Adanya sumber pembiayaan dari negara diharapkan akan mencegah kader-kader politik untuk mencari pendapatan dari sumber lain (termasuk dengan cara korupsi) sebagai biaya politiknya.
Dengan peran negara yang memberikan stimulus, dan pengawasan yang kuat dari masyarakat dengan memberikan sangsi sosial terhadap partai politik yang kinerjanya kurang baik, maka diharapkan partai politik dapat melakukan reformasi sehingga berubah lebih baik. Dorongan sosial dari masyarakat diharapkan cukup menjadi pemicu bagi partai politik untuk segera berubah. Jangan sampai masyarakat menjadi apatis atau justru reaktif dengan melakukan aksi lain sebagai bentuk kekecewaan terhadap partai politik.
Jika partai politik mempunyai integritas, tanggung jawab, dan kinerja yang memuaskan, maka diyakini akan berdampak kepada kualitas bangsa yang lebih baik. Hal ini selaras dengan tujuan politik menurut Aristoteles, bahwa tujuan politik adalah menghantarkan manusia pada hidup yang baik.
*) Stanislaus Riyanta, mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.