Masalah Golkar Bukan Hanya Munaslub
Acara dialog di CNN-TV tadi malam, Minggu 25 November 2017, membicarakan gonjang-ganjing Partai Golkar (PG) setelah Ketum DPPnya, Setya Novanto (Setnov), menjadi tersangka KPK untuk kedua kalinya, dalam kasus E-KTP. Posisi Setnov sebagai Ketum PG dan Ketua DPR RI dipertanyakan bukan saja oleh publik di negeri ini, tetapi juga di dalam partai tsb. Sebab dengan berada dalam tahanan KPK, dan menjadi tersangka utk kedua kalinya dalam kasus yang sama, apalagi diwarnai oleh berbagai episode yang dinilai oleh publik sebagai upaya untuk menghindari proses hukum, Setnov dituding sebagai penyebab “turbulensi” partai penguasa era Orba tsb.
Itulah sebabnya, elit partai berlambang beringin tsb dalam beberapa hari terakhir mencoba mencari solusi yang paling efektif untuk mencegah potensi konflik internal dan juga mengembalikan kredibilitas partai dalam menghadapi Pilkada 2018 dan Pileg serta Pilpres 2019. Dua fungsionaris PG, Wakil Sekjen Maman Abdurrahman (MA), dan anggota Dewan Pakar Indra Piliang (IP), serta saya sendiri menjadi narsum dalam dialog ini, dipandu oleh Budi Adiputro (BA) dari CNN.
Hemat saya, jika permasalahan ini hanya dilihat dari “suasana kebatinan” Setnov dan elite Golkar saja, gegeran internal PG ini akan bisa diselesaikan secara “sistem dan mekanisme” partai yang sudah ada. PG adalah parpol yang sejauh ini paling solid dalam menyikapi gonjang-ganjing internal elitnya, kendati telah beberapa kali mengalaminya di era pasca-Reformasi. Demikian pula, kendati PG sudah mengalami penyempalan (splintering) dengan hasil munculnya beberapa partai (Hanura, Gerindra, Nasdem, dll), tetap masih bercokol dalam pentas politik sebagai salah satu partai besar di Parlemen. Ini menunjukkan bhw Golkar memiliki pendukung yang solid di bawah dan mesin organisasi yang kuat di seantero negeri.
Hanya saja, Golkar juga perlu mempertimbangkan “suasana batin” publik dan rakyat Indonesia yang juga semakin menunjukkan ketidakpercayaan mereka terhadap kiprah politisi dan elitnya. Berbagai survei melaporkan kian merosotnya elektabilitas dan popularitas partai Orba tsb. Juga adanya fakta politik “keras” bahwa sampai nyaris dua dasawarsa pasca-Reformasi, partai ini belum bisa menjadikan tokohnya menjadi RI-1. Bahkan dalam kasus Setnov, pagi-pagi Golkar sudah berikrar akan mencalonkan kembali Presiden Joko Widodo (PJ) dalam Pilpres 2019. Menurut pandangan saya, elit PG tidak boleh meremehkan suasana batin tsb dan mesti cepat mengendakan Munaslub, TERLEPAS apakah Setnov menang atau kalah dalam proses praperadilan. Apalagi jika nanti KPK ternyata berani mengeluarkan SP-21 sebelum praperadilan digelar pada 30 November.
Soal Munaslub tampaknya sudah menjadi hal yang niscaya, sebagaimana juga dikatakan kedua narsum dari PG. Yang masih belum disepakati adalah adanya pihak yg masih mau menunggu hasil praperadilan (sebagaimana hasil rapat pleno DPP) dan pihak yang ingin lebih cepat karena tidak ingin “tersandera” oleh kasus Setnov. Jika Munaslub digelar, implikasinya tentu bukan hanya sekedar pemilihan Ketum baru, tetapi juga terkait “boarding pass” capres 2019: apakah PG akan tetap komitmen mendukung PJ atau ada review. IP misalnya menghendaki ada review thd pencapresan, tetapi MA belum jelas.
Saya sebagai pengamat memprediksi Golkar tidak akan melakukan review yg terlalu dalam soal capres. Alasan saya, kultur politik PG cenderung dekat dengan Pemerintah dan kalaupun ingin mencapreskan tokohnya, sampai saat ini belum ada yang memiliki kekuatan elektabilitas utk bersaing baik dengan PJ maupun Prabowo Subianto (PS). Walhasil, jika Golkar ingin mengembalikan marwah dan kedigdayaannya, saya kira bukan hanya soal Munaslub yang ia perlukan. Tetapi juga melakukan reformasi fundamental dalam batang tubuhnya. Khususnya kepemimpinan yang mampu menumbuhkan kepercayaan rakyat thd partai tsb. Jika tidak, maka Golkar bisa jadi akan mengulangi sejarah Dinosaurus, bahkan meminjam istilah mantan Ketum DPP Golkar, Akbar Tanjung (AT), akan kiamat!.
Silakan menyimak video di bawah ini.
https://www.youtube.com/watch?v=_h9mAzb6Zc0
https://www.youtube.com/watch?v=_h9mAzb6Zc0
*) Muhammad A S Hikam, pengajar di Universitas Presiden, Sekolah Tinggi Intelijen Negara, Sesko TNI dan Universitas Pertahanan.