Sel Tidur Teroris Mulai Bangun
Dalam beberapa hari ini terjadi peristiwa kekerarasan, keributan dan teror yang dilakukan oleh kelompok yang menganut paham radikal. Tiga peristiwa yang terjadi hampir bersamaan ini tidak bisa dianggap sepele mengingat tiga peristiwa tersebut bisa untuk membangunkan sel tidur teroris yang ada di masyarakat.
Peristiwa pertama terjadi pada Selasa di Lapas Permisan Nusakambangan (7/11/2017) yaitu keributan antara napi khusus terorisme dengan napi kelompok Jhon Kei. Peristiwa ini terjadi pada pukul 07.50 WIB, 9 napi kasus terorisme menyerang blok hunian B, kamar 8 yang ditempati oleh John Kei dengan menggunakan balok kayu proyek dan batu-batu yang ada di sekitar kamar blok isolasi. Dalam keributan ini satu napi tewas dan tiga napi lainnya luka. Meskipun bisa dianggap sebagai aksi kriminal namun aksi tersebut bisa memunculkan dampak lanjutan yang mengarah kepada aksi dari kelompok radikal atau kelompok lain untuk melakukan balas dendam.
Peristiwa kedua terjadi pada Jumat (10/11/2017) di Rutan Mako Brimob Depok pukul 16.00 WIB. Sejumlah tahanan terorisme melakukan perusakan fasilitas rutan antara lain pintu sel tahanan, pintu pagar lorong blok, dan kaca jendela di Blok C dan Blok B. Penyebab keributan di Rutan Mako Brimon ini diawali dengan prosedur penggledahan yang dilakukan oleh petugas piket kepada tahanan terorisme dan ditemukan empat buah telepon selular milik tahanan terorisme. Salah satu tahanan tersebut tidak terima dan melakukan provokasi kepada para tahanan yang lain dengan teriakan-teriakan sehingga memancing keributan. Peristiwa ini juga diiringi dengan menyebarnya foto dan video keributan ke media sosial, dalam dokumentasi yang tersebar tersebut juga tampak bendera yang sama dengan yang digunakan kelompok ISIS.
Peristiwa ketiga terjadi pada Minggu (12/11/2017) di Sumatera Barat. Markas Polres Dharmasraya dibakar dua orang tak dikenal pukul 02.45 WIB yang mengakibatkan seluruh bangunan utama Polres hangus terbakar. Dua orang yang diduga pelaku ditembak mati oleh polisi. Polisi mengamankan sejumlah barang bukti terkait penyerangan di Polres Dharmasraya, Sumbar. Barang bukti yang diamankan 1 buah busur panah, 8 buah anak panah, 2 buah sangkur, 1 bilah pisau kecil, 1 buah sarung tangan warna hitam, dan 1 lembar kertas yang berisikan Pesan Jihad dari ‘Saudara Kalian Abu Azzam Al Khorbily 21 Safar 1439 H di Bumi Allah’.
Ketiga peristiwa tersebut diduga akan menjadi kode adan pemicu bagi sel-sel tidur teroris untuk bangun dan mulai beraksi. Sel tidur teroris adalah orang-orang yang mempunyai paham radikal dan menyetujui aksi teror sebagai cara untuk mewujudkan cita-citanya namun saat ini hidup biasa di tengah-tengah masyarakat. Jika ada momentum yang tepat maka sel tidur teroris ini akan bangun dan melakukan aksi teror. Sel tidur teroris tersebut bisa terdiri mantan narapidana teroris yang masih radikal berserta dengan jaringannya dan simpatisan kelompok radikal yang saat ini hidup biasa dan tinggal di masyarakat.
Selain sel tidur ketiga peristiwa tersebut bisa memicu aksi-aksi teror lone wolf, orang dengan pemikiran radikal yang melakukan aksi teror seorang diri. Kemajuan teknologi yang memudahkan penyebaran narasi radikal membuat radikalisme lebih mudah dilakukan namun sulit dideteksi. Aksi lone wolf sudah beberapa kali terjadi di Indonesia. Teror lone wolf di Indonesia pada dua tahun terakhir ini seperti yang terjadi pada teror bom Gereja di Medan (28/08/2016), penyerangan polisi di Cikokol (20/10/2016), penyerangan Markas Polda Sumatera Utara (25/06/2017), penyerangan terhadap anggota Brimob di Masjid Falatehan (30/06/2017), merupakan aksi-asksi teror individual yang dipengaruhi oleh informasi dari internet.
Kebangkitan sel tidur terorisme akan semakin nyata dan menguat ketika sel-sel ini memperoleh energi baru dari arus balik WNI simpatisan ISIS dari Timur Tengah dan Filipina. Kalahnya ISIS di Timur Tengah dan Marawi Filipina akan mendorong WNI yang bergabung dengan ISIS untuk kembali dan melakukan aksi di Tanah Air.
Jumlah WNI simpatisan ISIS tidak sedikit. Data yang dikeluarkan oleh Mabes Polri (19/10/2017) menyebutkan bahwa sampai tahun 2017, ada 671 warga negara Indonesia (WNI) terlibat dengan kelompok teroris al-Dawla al-Islamiya al-Iraq wa al-Sham (Daesh) di Irak dan Suriah. Jumlah itu terdiri dari 524 orang laki-laki dan 147 orang perempuan. WNI simpatisan ISIS ini tergabung sebagai foreign terrorist fighters, atau FTF. Selain itu diketahui bahwa jumlah FTF yang masih hidup dan pernah terlibat dengan Daesh di Irak dan Suriah, sebanyak 343 orang serta anak-anak berjumlah 99 orang. Jumlah yang diketahui telah tewas di Irak dan Suriah sebanyak 97 orang. Mabes Polri juga menyebutkan bahwa FTF Indonesia yang belum diketahui identitasnya ada 132 orang, termasuk dua diantaranya adalah anak-anak.
Jangan Biarkan Radikalisme Terjadi
Data dan peristiwa tersebut di atas menunjukkan bahwa radikalisme di Indonesia cukup membahayakan. Radikalisme sebagai pendorong aksi teror sudah terbukti terjadi di Indonesia. Radikalisme sulit untuk dibendung jika masyarakat sendiri tidak peka dan tidak berupaya mencegahnya. Hal ini tentu saja sangat berbahaya karena menjadi celah kerawanan yang akan dimanfaatlan oleh kelompok radikal untuk lebih mudah beraksi
Negara harus berupaya sekuat tenaga untuk menghidupkan radar sosial di masyarakat bisa mendeteksi sejak dini radikalisme. Jika masyarakat mempunyai radar sosial yang peka terhadap radikalisme maka penyebaran radikalisme di masyarakat akan terhambat.
Mengharapkan pemerintah untuk mencegah radikalisme dan terorisme tanpa peran aktif masyarakat adalah mustahil. Kerja sama yang erat antara pemerintah dan masyarakat perlu dilakukan untuk mendeteksi dan mencegah paham radikal beredar di Indonesia.
Deteksi dini dan cegah dini harus mulai dilakukan sejak di tingkat keluarga dan masyarakat. Pemerintah perlu mengedukasi masyarakat untuk melakukan deteksi dini dan cegah dini radikalisme. Jika hal ini tidak bisa dilakukan maka kelompok radikal justru akan memanfaatkan masyarakat sebagai tempat berlindung dan menjadi sel tidur yang kebangkitannya untuk melakukan aksi teror tinggal menunggu momentum yang tepat.
Aksi teror sudah berkali-kali terjadi dan menimbulkan korban yang tidak sedikit. Jangan sampai aksi teror ini terulang karena memanfaatkan celah kerawanan yang dibuat atau diciptakan sendiri oleh masyarakat dengan mengabaikan penyebaran narasi dan perilaku radikal di lingkungannya. Masyarakat harus waspada, radikalisme harus dicegah. Jangan biarkan sel tidur teroris bangun dan beraksi kembali.
*) STANISLAUS RIYANTA, pengamat terorisme, mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia.