Perlu Didukung Langkah Gubernur DKI Jakarta Menutup Alexis
Langkah berani telah dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang memenuhi salah satu “janji politiknya” untuk memberantas kegiatan “prostitusi terselubung” yang selama ini dijadikan salah satu ikon untuk mempromosikan pariwisata di Indonesia. Langkah berani tersebut dibuktikan dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menolak permohonan daftar ulang Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) Hotel dan Griya Pijat Alexis.
Penolakan itu tertuang dalam surat bernomor 68661-1.858.8. Surat tersebut merupakan tanggapan atas surat dari Alexis dengan Nomor 026B/GAH/X/17 yang dikirim sehari sebelumnya atau pada 26 Oktober. Dalam surat itu, Alexis menanyakan alasan daftar ulangnya belum diproses. Anies mengatakan surat penolakan daftar ulang TDUP Alexis sudah dikeluarkan sejak 27 Oktober 2017.
Disisi yang lain, Hotel Alexis berharap izin hotel dan griya pijat mereka bisa diperpanjang. Mereka mengklaim selama ini taat pajak, bahkan jumlahnya cukup besar, yakni Rp 30 miliar per tahun. Jumlah pajak yang dibayarkan tersebut, menurut Legal & Corporate Affair Alexis Group Lina Novita, adalah keseluruhan dari usaha Alexis Group, seperti hotel, restoran, dan griya pijat. Disamping itu, ada 1.000 karyawan yang dipekerjakan di Alexis. Sebanyak 600 orang merupakan karyawan tetap dan 400 lainnya karyawan lepas. Mereka telah dirumahkan karena kegiatan operasional Alexis disetop Pemprov DKI Jakarta.
Oleh karena itu, banyak yang mengharapkan Pemprov DKI Jakarta dibawah duet Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 didukung Partai Gerindra dan PKS ini berani untuk menutup berbagai “tempat mesum” yang ada di Jakarta, yang disebut-sebut berjumlah lebih dari 300 tempat. Disamping itu, Pemprov DKI Jakarta juga dituntut untuk memberikan “pekerjaan” kepada mantan pekerja Hotel Alexis yang berjumlah 1.000 orang.
Yang pasti bahwa kita patut mendukung langkah positif Pemprov DKI Jakarta yang berani menutup Hotel Alexis di Jakarta Utara, karena bagaimanapun juga langkah ini jelas merupakan langkah revolusi mental yang juga dicanangkan Presiden Jokowi, dimana intisari revolusi mental dalam permasalahan ini ditunjukkan dengan sikap Pemprov DKI Jakarta yang akan memberdayakan pariwisata di Jakarta dengan cara-cara elegan, modern, tidak melanggar norma susila dan agama dan last but not least menghasilkan pendapatan daerah yang dapat dikatakan “halal”.
Maraknya prostitusi dan keterlibatan negara
Walaupun ada kesan dan propaganda bahwa tidak ada prostitusi di lantai 7 Hotel Alexis yang sudah ditutup Anies Baswedan, namun jika kita membaca pemberitaan detik.com sudah semakin jelas bahwa prostitusi tersebut diakui atau tidak terjadi di tempat tersebut. Berikut kalimat yang dikutip di laporan hasil investigasi detik.com “Kata Indah, untuk perempuan lokal atau asal Indonesia, tarifnya Rp 1,45 juta per sekali kencan. Durasinya sekitar satu jam. Sedangkan untuk perempuan ‘impor’, tarifnya bervariasi. Untuk perempuan asal Filipina, Thailand, Vietnam, Uzbekistan, dan Kolombia, harganya Rp 2,45 juta. Yang paling mahal adalah perempuan asal China, yang dipatok Rp 2,7 juta per sekali kencan. Begitu kalimat order didengarnya, Indah langsung sigap menggelar kontes di gazebo yang kami tempati. Sekitar 20 perempuan dengan gaun malam menggoda dalam sekejap berdiri berjajar rapi (https://x.detik.com/detail/investigasi/20171023/Lantai-Surga-di-Hotel-Alexis/index.php).
Pelacuran berasal dari bahasa Latin pro-stituere atau pro-stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan dan pergendakan. Perkins dan Bennet dalam Koendjoro (2004: 30), mendefinisikan pelacuran sebagai transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai sesuatu yang bersifat kontrak jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam. Senada dengan hal tersebut, Supratiknya (1995: 97) menyatakan bahwa prostitusi atau pelacuran adalah memberikan layanan hubungan seksual demi imbalan uang.
Selain definisi di atas, dengan rumusan kalimat yang berbeda, Kartini Kartono (2007: 216) menjabarkankan definisi dari pelacuran adalah sebagai berikut : pertama, prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (prosmiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya. Kedua, pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.
Ditinjau dari teori strukturalisasi yang dirumuskan Anthony Giddens, pelacuran atau prostitusi setidaknya terjadi karema adanya tiga triktur. Pertama, bila dilihat dari struktur signifikasi, pelacur adalah sebutan bagi orang yang menjual dirinya untuk mendapatkan sejumlah materi, selain itu seperi telah dijelaskan di atas, pelacur juga dimaknai oleh masyarakat sebagai orang yang sudah tidak memiliki harga diri lagi, tak bernilai lagi, dan segala macam pemaknaan lainnya yang diberikan oleh masyarakat.
Kedua struktur penguasaan atau dominasi, pelacur mengalami dominasi baik dari sisi dominasi otorisasi atas orang yang terwujud dalam tata politik maupun dominasi atas alokasi barang yang terwujud dalam tata ekonomi.
Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi. Pada struktur ini pelacur semakin terpinggirkan, legitimasi baik secara formal (aturan negara melalui undang-undang) maupun secara informal (aturan masyarakat yang normatif sesuai adat yang berlaku).
Menurut teori kekuasaan atau power theory yang dikembangkan Robert R Dahl, disebut bahwa kalangan pelacur adalah mereka yang tidak memiliki kekuasaan (powerless) untuk memperbaiki nasibnya dengan lebih baik, dan pelacuran terjadi sebagai akibat kelalaian negara dalam menyejahterakan rakyatnya.
Selama ini, tanpa menyadari kesalahan dan keterlibatannya dalam maraknya praktik prostitusi ditinjau dari teori strukturalisasi Giddens dan power theory-nya Dahl, maka negara selalu memandang prostitusi sebagai sebuah tindakan kriminal sehingga terdapat legitimasi kepada aparatnya untuk menangkap para pelacur dan dimasukkan kedalam pusat rehabilitasi, begitu pula pada masyarakat yang melegitimasi semua pihak untuk mengusir ataupun menghukum pelacur yang bertempat tinggal di daerahnya.
Jadi keberhasilan menutup Alexis bukanlah prestasi yang paling tinggi, walaupun membanggakan. Prestasi tertinggi dan membanggakan adalah bagaimana Prof. Anies Baswedan dan sekondannya Sandiaga Uno mampu menyejahterakan rakyat Jakarta sehingga tidak terperangkap “gurita bisnis pelacuran” di masa depan. Jika hal ini mampu diupayakan, tampaknya Anies Baswedan cukup pantas digadang-gadang berkontestasi dalam Pilpres 2019.
*) Bayu Kusuma, peneliti muda di Center of Risk and Strategic Information Assessment (Cersia), Jakarta.