Mengenal Deradikalisasi
Deradikalisasi menjadi metode yang banyak diperbincangkan dalam diskursus kontra terorisme. Tidak ada atau belum ada kata sepakat dari para ahli mengenai definisi deradikalisasi. Namun pendekatan RAND corporation dalam mendefinisikan keduanya menarik dan penting untuk dijadikan rujukan. Menurut RAND Corporation, “Deradicalisation is the process of changing an invidual beliefs system, rejecting the extremist ideology, and embracing mainstream values (Deradikalisasi adalah proses merubah sistem kepercayaan individual, menolak ideologi ekstrimis dan mengurung nilai-nilai utama).
Dalam deskripsi sederhana, deradikalisasi adalah upaya untuk mengubah ideologi, pemikiran dan pemahaman seseorang yang semula radikal menjadi tidak lagi radikal.Sedangkan disengagement lebih kepada proses membuka ruang bagi perubahan perilaku seseorang untuk menolak kekerasan, menghindari atau berhenti dari kelompok radikal meskipun –diakui- masih terdapat pemahaman radikal dalam pikirannya.
Deradikalisasi dapat dipahami baik secara ideologis atau perilaku, Omar Ashour (2008) dalam tulisannya yang dikutip Darcy M.E. Noricks, “Disengagement and Deradicalization : Processes and Programs”, dalam Paul K. Davis, Kim Cragin, Ed, “Social Science for Counterterrorism”mendefinisikan konsep deradikalisasi sebagai proses yang mengarahkan individu atau kelompok untuk mengubah perilakunya terkait aksi kekerasan – khususnya mengenai kekerasan terhadap warga sipil. Hasil dari deradikalisasi ideologis dapat dilihat dari perubahan cara pandang individu, sedangkan deradikalisasi perilaku menekankan perubahan dalam aspek tindakan individu.
Ashour juga menjelaskan menjelaskan deradikalisasi organisasional yang menjadi fenomena tingkat kelompok, dan jika proses deradikalisasi berhasil maka akan berdampak menjauhkan seluruh anggota kelompok dari tindakan terorisme, idealnya strategi ini akan berhasil jika kelompok utama tidak menghasilkan kelompok sempalan yang lebih radikal. Sebagai contoh dari deradikalisasi organisasional adalah kelompok yang pernah dikategorikan sebagai kelompok teroris (Palestine Liberation Organization dan South Africa – Africa National Congress) dan kelompok milisi (Kelompok Amal di Lebanon).
Di sisi lain Renee Garfinkel (2007) berpendapat bahwa deradikalisasi memiliki kesamaan dengan pengalaman spiritual, serupa dengan konversi agama, seperti yang terjadi dalam proses radikalisasi. Sebaliknya dalam pengalaman radikalisasi, individu yang mengalami deradikalisasi tidak mengadopsi ideologi baru sebagai fungsi dari partisipasi mereka dalam kelompok yang mendukung.
Keputusan untuk melakukan deradikalisasi biasanya merupakan keputusan individual, yang kemudian individu tersebut terisolasi dari kelompok sosialnya. Hubungan dengan tokoh panutan (rolemodel) dilihat sebagai hal yang penting dalam menjauhkan individu dari cara pandang yang radikal. Satu kesamaan proses deradikalisasi dengan proses radikalisasi adalah pengalaman traumatik sang individu sebelum mengambil keputusan untuk melakukan disengagement. Trauma bertindak sebagai peristiwa yang memicu transformasi keyakinan individu.
Tore Bjorgo (2006) membedakan antara faktor penarik dan faktor pendorong yang mempengaruhi keputusan individu untuk meninggalkan kelompok radikal. Faktor pendorong merupakan elemen yang negatif atau kekuatan sosial yang membuatnya tidak menarik untuk melanjutkan keanggotaan di organisasi tertentu. Faktor-faktor ini juga termasuk tuntutan pidana, penolakan dari keluarga atau masyarakat atau tindakan kekerasan dari kelompok-kelompok oposisi. Faktor penarik adalah kekuatan peluang atau daya tarik sosial yang membuat individu mencari alternatif kehidupan lain yang lebih menjanjikan. Hal ini termasuk “keinginan individu untuk hidup secara bebas dalam kehidupan yang normal”, pekerjaan baru atau peluang pendidikan yang bisa terganggu jika keanggotaan individu dalam kelompok terorisme diketahui publik, atau keinginan untuk membentuk keluarga dan mengambil peranan dan tanggung jawab sebagai orangtua dan pasangan hidup – sebagai salah satu motif terkuat untuk meninggalkan kelompok militan.
Menurut Irjen Pol Dr. Petrus Reinhard Golose daam bukunya berjudul Deradikalisasi Terorisme ; Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput Deradicalization dengan imbuhan awal “de” dalam bahasa Inggris memiliki makna “opposite, reverse, remove, reduce, get off” (kebalikan atau membalik). Kemudian imbuhan akhir yang dilekatkan pada radikal menjadi akhiran “ize” berarti “cause to be resemble, adopt or spread the manner of activity or the teaching of “ (menyebabkan seseorang menjadi, menyerupai, memakai atau menyebarkan cara-cara aktivitas atau mengajari sesuatu paham atau aliran). Dalam bahasa Indonesia, imbuhan akhir “ize” menjadi “isasi” yang memberikan makna proses pada kata dasar. Dengan demikian, arti kata deradikalisasi adalah proses atau upaya untuk menghilangkan radikalisme.
International Crisis Group (ICG) dalam laporannya memberikan batasan definisi deradikalisasi “a poorly defined concept but as its most basic, an effort to persuade terrorists and their supporters to abandon the use violence” atau suatu konsep yang didefinisikan dengan buruk, namun paling mendasar untuk membujuk teroris dan para pendukungnya untuk meninggalkan penggunaan cara-cara kekerasan.
Sementara dalam karya tulisnya John Horgan (Direktur International Centre for The Study of Terorism di Pennysilvania) berjudul “deradicalization or disengagement”, deradikalisasi merupakan suatu perpaduan dari dua istilah yang memiliki pengertian saling berbeda, tetapi tujuan akhirnya sama yaitu membuat para teroris mau meninggalkan atau melepaskan aksi terorisme berbentuk kekerasan.
Kedua istilah tersebut adalah deradikalisasi dan disengagement. Horgan menuliskan pemikirannya sebagai berikut : “while deradicalization has become the lattest buzzword on counter terororism, it is critical that we distinguish it is from disengagement and stress that not only are they different, but that just because one leaves terrorism behind; it rarely implies (or even necessitates) that one became deradicalization” (saat deradikalisasi menjadi kata mutakhir yang didengungkan dalam masalah konter terorisme, hal tersebut menjadi sangat kritis, karena dalam proses ini kita tidak hanya membedakan kata tersebut dengan kata disengagement atau meninggalkan dan menekankan bahwa kata tersebut berbeda, tetapi juga karena ada situasi seseorang / kelompok meninggalkan aksi terorisme, dan hal tersebut belum tentu menyiratkan bahwa seseorang telah benar-benar menjadi deradikalisasi).
Deradikalisasi pada dasarnya bertujuan untuk mengubah seseorang yang semula radikal menjadi tidak lagi radikal, termasuk diantaranya adalah menjauhkan mereka dari kelompok radikal yang menjadi tempat mereka bernaung. Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa deradikalisasi bukan berarti sebuah upaya menghadirkan pemahaman dan wawasan baru, apalagi sebagai pendangkalan pemahaman keagamaan (Islam), melainkan sebagai upaya mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman yang benar tentang agama dan wawasan bernegara (Surya Bakti, 2016a, hal. 143).
Proses deradikalisasi merupakan salah satu metode dalam penanganan kasus terorisme dimana rehabilitasi dan reintegrasi kepada masyarakat luas seorang pelaku terorisme menjadi tujuan utamanya. Proses ini menjadi sarana penting dalam model penegakan hukum (law enforcement model) dalam penanganan terorisme. Pelaku terorisme dalam pendekatan ini dilihat sebagai manusia secara seutuhnya, sehingga proses penegakan hukum, penahanan, pembinaan yang tercakup dalam disengagement dan deradikalisasi diharapkan dapat kembali menjadikan seorang pelaku terorisme untuk meninggalkan ideologi radikal dan kembali memiliki kehidupan normal di masyarakat. Deradikalisasi dilakukan agar individu pelaku terorisme dapat mengubah cara pandang dan tindakan radikalnya menjadi lebih moderat dan tidak radikal.
Deradikalisasi menjadi sangat krusial mengingat ancaman serangan narasi terorisme di Indonesia semakin marak terjadi. Dengan semakin majunya teknologi informasi, membuat narasi terorisme saat ini dapat tersebar dengan cepat dan mudah melalui internet, sehingga semakin memudahkan penyebaran ancaman serangan narasi terorisme di Indonesia.
Menurut Gorys Keraf (2001, hal. 136), narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa narasi berusaha menjawab fenomena apa yang telah terjadi, baik seseorang, kelompok atau masyarakat secara umum. Narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa. Oleh karena itu, unsur yang paling penting dalam sebuah narasi adalah unsur perbuatan dan tindakan.
Petrus Golose (2010, hal. 53) menyebutkan bahwa radikalisasi dilaksanakan oleh kelompok radikal dan teroris melalui anggota-anggota mereka, media yang mereka manfaatkan, yang meliputi: komunikasi langsung, media massa, lembaga pendidikan, dan hubungan kekeluargaan.
Teroris membangun narasi
Freedman (2006) dalam Mustarom (2015, hal. 8) menyebutkan bahwa narasi adalah garis kisah yang memaksa yang bisa menjelaskan peristiwa secara meyakinkan dan darinya kesimpulan bisa ditarik. Narasi bersifat strategis karena ia dirancang atau dipelihara dengan niat untuk menyusun respon pihak lain terhadap peristiwa yang sedang berkembang.
Narasi tidak muncul secara spontan, namun ia dibangun atau diperkuat secara sengaja di luar ide atau pemikiran yang ada saat ini. Narasi mengekspresikan sense of identity dan sense of belonging serta mengomunikasikan sense atas alasan, tujuan, dan misi. Narasi adalah sumber daya yang sangat kuat untuk mempengaruhi target audience, ia menawarkan bentuk alternatif dari rasionalitas yang berakar kuat dalam budaya, yang bisa digunakan untuk menginterpretasikan dan membingkai peristiwa-peristiwa lokal dan untuk mendorong dilakukannya aksi-aksi personal tertentu (Mustarom, 2015, hal. 8).
David Kilcullen dalam Schmid (2014, hal. 3) mendefinisikan narasi sebagai pemersatu sederhana, cerita yang mudah diungkapkan atau penjelasan yang mengatur pengalaman masyarakat dan menyediakan kerangka kerja untuk memahami peristiwa. Sedangkan George Dimitriu telah mencatat bahwa narasi adalah sumber daya bagi aktor politik untuk membangun makna bersama untuk membentuk persepsi, keyakinan dan perilaku masyarakat, mereka menawarkan struktur melalui mana rasa bersama dapat tercapai, mewakili masa lalu, sekarang dan masa depan, hambatan dan titik akhir yang diinginkan (Schmid, 2014, hal. 3).
Bagi para Jihadis, narasi adalah senjata yang sangat penting dalam perang saat ini. Al-Qaeda melakukan perlawanan yang didukung oleh sebuah narasi yang memberikan pengesahan kepada strategi mereka, menjustifikasi taktik, mempropagandakan ideologi, dan mendapatkan rekrutmen baru (Mustarom, 2015,hal. 10).
Menurut Schmid (2014, hal. 1), kontra-narasi adalah upaya untuk menentang pesan ekstrimis dan kekerasan ekstremis, baik secara langsung atau tidak langsung melalui berbagai sarana online dan offline.
Sedangkan Van Ginkel (2015, hal. 6) berpendapat bahwa sebuah kontra narasi harus secara langsung menangkal (aliran) setiap pesan ekstrimis yang disebarkan. Hal ini dapat mencakup menolak berbagai mitos, menanggapi kekeliruan fakta, menunjukkan kekejaman yang dilakukan, dan menusuk aura kepahlawanan dan persahabatan. Dalam merumuskan dan mengkomunikasikan kontra-narasi yang efektif dimulai juga dengan pemahaman mendalam tentang berbagai aspek dalam narasi ekstrimis. Sebuah kampanye kontra-narasi yang efektif selanjutnya membutuhkan komitmen jangka panjang oleh berbagai pemangku kepentingan dan komitmen untuk secara proaktif mencari narasi yang perlu dilawan. Sehingga mereka harus tepat waktu dan responsif dalam menanggapi setiap peristiwa.
Salah satu contoh dari program konta-narasi adalah “Say No to Terror”. Say No to Terror adalah kampanye komunikasi yang menggunakan berbagai mekanisme, termasuk video pendek dan poster, untuk mengkomunikasikan kontra-narasi kepada elemen yang dipilih dari narasi teroris dan dikomunikasikan melalui berbagai media (van Ginkel, 2015, hal. 7).
Casebeer dan Russell dalam Aly, Weimann-Saks, dan Weimann (2014) misalnya, menunjukkan bahwa cara yang paling efektif untuk melawan terorisme adalah dengan mengembangkan “cerita yang lebih baik” untuk menggantikan narasi kelompok teroris.
Menurut Briggs dan Feve (2013, hal. 16), kontra-narasi mencakup berbagai strategi dengan tujuan dan pesan yang berbeda, termasuk memilih ideologi ekstremis selain kekerasan melalui mengikis kerangka intelektual mereka; mencoba untuk mengejek, mempermainkan, atau merusak kredibilitas/legitimasi dari pembawa pesan kekerasan ekstrimis; menyoroti bagaimana kegiatan ekstrimis secara negatif berdampak pada konstituen yang mereka klaim mereka wakili; menunjukkan bagaimana cara mereka menerapkannya tidak sesuai dengan keyakinan mereka sendiri; atau mempertanyakan efektivitas mereka secara keseluruhan dalam mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan. Kontra-narasi ditujukan kepada individu, kelompok dan jaringan lebih lanjut sepanjang jalan menuju radikalisasi, apakah mereka menjadi simpatisan, pendukung pasif atau orang-orang yang lebih aktif dalam gerakan ekstrimis.
Di internet dan sosial media saat ini tengah berkembang pesat penggunaan meme, yaitu yang secara umum dipahami sebagai foto atau gambar yang dilakukan editing dengan menambahkan kata atau kalimat yang berisi suatu pesan yang mendukung ekspresi dari gambar/foto tersebut. Meme internet adalah sebuah kegiatan, konsep, slogan atau bagian dari media yang menyebar, sering sebagai sebuah mimikri, dari orang ke orang melalui internet (Wikipedia, 2016). Kelompok teroris juga sekarang aktif membuat meme untuk menyebarkan narasi, karena penggunaan meme ini lebih praktis dan mudah untuk disebarkan di internet.
Meme yang sering disebarkan oleh kelompok teroris lebih menyorot soal memerangi aparat negara yang dianggap sebagai thagut dan ajakan untuk melakukan jihad dijalan mereka. Menyebarkan narasi melalui meme memang lebih cepat dilakukan dan tersebar, sehingga hal ini membantu penyebaran narasi radikal melalui internet menjadi ancaman bagi Indonesia.
*) Wildan Nasution, Penulis adalah analis dan peneliti senior Strategic Assessment, Jakarta