Meneropong Persiapan Pilkada 2018 dan Pilpres 2019
Ada dua hajatan politik dan demokrasi besar yang akan dihadapi masyarakat Indonesia yaitu pelaksanaan Pilkada 2018 yang akan dilaksanakan di 171 daerah dengan hari H pemilihan yang sudah ditentukan yaitu 27 Juni 2018. Sejauh ini, banyak daerah belum menyelesaikan Nota Pemberian Hibah Daerah (NPHD) kepada jajaran KPU dan Bawaslu di daerah. Selanjutnya, rakyat Indonesia juga akan mengikuti Pilpres 2019 yang akan diselenggarakan bersamaan dengan pemilihan legislatif. Pertanyaannya adalah sejauh mana persiapan seluruh stake holder menghadapi Pilkada 2018 dan Pilpres 2019?
UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah disahkan, namun digugat kalangan Parpol terutama Parpol baru dan politisi. Setidaknya ada dua pasal yang digugat yaitu Pasal 173 tentang verifikasi Parpol digugat Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Perindo dan Partai Idaman. Sedangkan, pasal 222 tentang presidential threshold digugat Partai Idaman, Effendi Ghazali (Politisi Nasdem) dan Yusril Ihza Mahendra (Ketua Umum Partai Bulan Bintang/PBB).
Menurut Ramdansyah, Kuasa Hukum Partai Idaman mengatakan, Partai Idaman dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggugat pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU UU No 7 Tahun 2017, karena dinilai pasal tersebut sebagai bentuk diskriminasi. Sebelumnya, pada 22 Agustus 2017, di Gedung MK, Jakarta, Ricky Margono (Ketum LBH Perindo) mengatakan, Partai Perindo menggugat UU 7/2017 tentang Pemilu ke MK. Perindo menggugat soal verifikasi Parpol peserta Pemilu yang hanya dilakukan terhadap partai baru. Perindo merasa verifikasi yang dilakukan sangat diskriminatif.
Mereka meminta adanya keadilan bagi semua Parpol yang sudah pernah mengikuti Pemilu ataupun yang baru ikut. Perindo siap untuk verifikasi KPU, karena kepengurusan Perindo di provinsi sudah 100 persen. Kepengurusan di tingkat kabupaten/kota juga sudah hampir 100 persen.
Sebagai pakar hukum tata negara yang berpengalaman dan politisi kawakan, maka pesimisme Yusril Ihza Mahendra bahwa gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dapat dinilai sebagai sikap profesional Ketua Umum Partai Bulan Bintang tersebut dalam melihat peluang berperkara di MK, sebab MK memang tidak bisa membatalkan suatu UU yang merupakan kewenangan suatu lembaga pemerintah yang sah atau open legal policy, kecuali secara nyata melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable, padahal ketiga hal tersebut bukanlah hal yang dapat diputuskan secara eksplisit. Oleh karena itu, prediksi Yusril Ihza Mahendra bahwa perjuangan menguji UU Pemilu ke MK hampir sia-sia adalah sebuah keniscayaan.
Sedangkan Wahyu Setiawan, Komisioner KPU mengatakan, partai lama dan partai baru sama-sama terkena aturan yang sama yaitu, wajib mendaftar dan pendaftaran harus lengkap dengan persyaratan-persyaratan sesuai dengan UU. KPU meyakini dualisme itu tidak akan muncul saat pendaftaran Pemilu 2019, karena KPU akan berpegangan pada Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM. KPU akan meminta KPUD di tiap wilayah untuk memeriksa surat dari partai politik. Data tersebut nantinya disesuaikan dengan partai politik di tingkat pusat.
Hasyim Asy’ari, Komisioner KPU mengatakan, ada beberapa proses penting yang harus dilalui KPU sebelum menetapkan Parpol peserta Pemilu 2019. Salah satunya adalah penelitian administrasi dan verifikasi faktual. Penelitian administrasi ini dilakukan di dua tingkatan, karena dokumen tadi diserahkan di dua tingkatan yaitu di KPU pusat dan KPU kabupaten/kota. Maka, penelitian administratif dilakukan di dua tingkatan yaitu, oleh KPU pusat terhadap dokumen yang diserahkan kepada KPU pusat dan oleh KPU kabupaten/kota terhadap daftar nama anggota dan bukti pendukungnya berupa fotokopi KTP dan KTA.
Proses berikutnya yaitu verifikasi faktual yang dilakukan di dua tingkatan yaitu, KPU pusat dan kabupaten/kota. Dalam tahap ini, pihak KPU mencocokkan kebenaran dokumen yang telah diserahkan dengan fakta di lapangan, terkait kepengurusan 75% di kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan dan kepengurusan 50% di tingkat kecamatan dari kabupaten yang bersangkutan, serta kantor Parpol baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota.
Diskursus soal verifikasi Parpol telah menimbulkan pro dan kontra antara Parpol peserta Pemilu 2014 dengan Parpol baru, padahal berdasarkan Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, partai politik yang telah lolos verifikasi KPU tidak diverifikasi ulang. Meski begitu, Parpol peserta Pemilu 2014 tetap harus mendaftar ulang untuk ikut Pemilu 2019. Aturan Pasal 173 ayat 1 tentang verifikasi parpol UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bukan untuk mendiskriminasi Parpol baru.
Verifikasi tersebut sebagai upaya proses efisiensi dan efektifitas pada Pemilu 2019. Terhadap 12 partai yang telah lolos verifikasi pada Pemilu tahun 2014, KPU akan melakukan pendataan dan melakukan penelitian administratif untuk mencocokan kebenaran dan keabsahan peserta partai. Verifikasi ulang tidak akan dilaksanakan, karena akan mengeluarkan anggaran lebih, apalagi alat ukur verifikasinya sama dengan sebelumnya. Bagaimanapun juga, belum selesainya uji materi UU Pemilu ke MK juga menyebabkan terganggunya persiapan KPU dalam menyelenggarakan tahapan Pemilu.
Aan Eko Widiarto, Kuasa Hukum 7 anggota DPD yang menggugat ke MK mengatakan, tujuh anggota DPD yaitu Akhmad Muqowam; M Mawardi; Abdul Rahman Lahabato; M. Syukur; Instiawati Ayus; Ahmad Kanedi dan Taufik Nugroho menggugat UU Pilkada karena wajib mundur sebagai anggota DPD apabila menjadi calon kepala daerah. Hal itu dinilai tidak demokratis dan tidak adil. Sedangkan, kepala daerah incumbent yang cukup cuti dan tidak mundur apabila mencalonkan diri lagi, sehingga bertentangan dengan asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness of prohibition of arbitrariness).
Mereka merasa dirugikan Pasal 7 ayat 2 huruf s UU Nomor 10/2016 karena harus mengundurkan diri sebagai anggota DPD bila ingin maju menjadi kepala daerah. Pasal tersebut berbunyi “Menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD, sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan”. Ketujuh anggota DPD itu merasa hak konstitusionalnya yang dilindungi Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 terampas, disamping itu aturan itu dinilai melanggar Pasal 18 ayat 3 UUD 1945.
Gugatan uji materi yang dilakukan 7 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ke MK sebenarnya ditujukan untuk mendapatkan “political justice/keadilan politik” dalam menghadapi Pilkada 2018, walaupun gugatan tersebut juga mencerminkan perilaku “political profit oriented/orientasi keuntungan politik” dengan indikasi mereka tidak mau mundur sebagai anggota DPD ketika mencoba peruntungan dalam Pilkada 2018. Gugatan ini kemungkinan ditolak MK, sebab jika anggota DPD yang maju sebagai calon kepala daerah di Pilkada tidak mundur, maka dapat mempunyai kesempatan melakukan abuse of power dengan statusnya sebagai anggota DPD.
Bagi aparat penegak hukum dan aparat intelijen, masih adanya berbagai kendala dalam persiapan pelaksanaan Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 haruslah mendapatkan perhatian serius, jika mereka tidak ingin mendapatkan pendadakan strategis yang akan merepotkan mereka dalam meminimalisirnya.
*) Amril Jambak, Wartawan senior di Pekanbaru, Riau.