Tidak Ada Urgensinya Rencana Unjuk Rasa 26 Oktober 2017
Keberadaan Perppu Ormas akhirnya secara hukum menjadi semakin sah pasca rapat paripurna DPR-RI menyetujui Perppu tersebut menjadi undang-undang. Hal ini disebabkan karena produk hukum yang dikeluarkan pemerintahan Jokowi-JK pada Juli 2017 untuk mempertahankan eksistensi Pancasila dan NKRI dari Ormas radikal ini disetujui atau diterima oleh 7 fraksi di DPR-RI dan hanya 3 fraksi yang menolaknya.
Dengan diterimanya Perppu Ormas menjadi undang-undang oleh DPR-RI, maka sejumlah aksi rencana unjuk rasa menolak Perppu Ormas tersebut antara lain yang akan dilakukan oleh DPP Gubernur Muslim Jakarta, Presidium Alumni 212, Ormas Bang Japar dan lain-lain pada tanggal 26 Oktober 2017 menjadi kehilangan roh dan signifikansinya.
Apalagi di kalangan jurnalis dan aktifis juga beredar rencana aksi unjuk rasa pada 4 November 2017 dalam bentuk kongres ulama, umat dan mahasiswa, serta tanggal 2 Desember 2017 dalam bentuk pertemuan Gerakan Indonesia Sholat Subuh (GISS) di Masjid Istiqlal dan reuni akbar 212 juga patut dipertanyakan urgensinya.
Bagaimanapun juga ada sejumlah alasan mengapa rencana aksi unjuk rasa 26 Oktober 2017 menjadi tidak penting dilakukan antara lain : pertama, aksi ini jika akan dilaksanakan diperkirakan akan diikuti oleh sedikit massa, walaupun mereka juga mengklaim massa dari berbagai daerah akan berdatangan ke Jakarta. Jika massa yang hadir sedikit, maka tidak salah jika masyarakat awam menilai organisasi yang terlibat dalam unjuk rasa tersebut, sebenarnya keberadaannya tidak terlalu mengkhawatirkan, karena sebatas hanya organisasi “gurem” semata.
Kedua, tidak ada kekuatan politik ataupun desakan politik yang cukup kuat untuk membatalkan Perppu Ormas yang telah disetujui oleh DPR-RI, karena DPR-RI adalah lembaga representasi rakyat yang legal konstitusional, sehingga jika unjuk rasa 26 Oktober 2017 tetap dilaksanakan sama artinya dengan “hanya teriak-teriak saja tanpa hasil yang membanggakan”.
Ketiga, jika unjukrasa 26 Oktober 2017 tetap dilaksanakan, maka jangan disalahkan jika masyarakat awam menilai bahwa massa yang melakukan unjukrasa adalah basis massa 3 Parpol yang fraksinya menolak disetujuinya Perppu Ormas menjadi undang-undang. Jika massa pengunjuk rasa sangat sedikit, maka hal ini akan menjadi “promosi politik” yang merugikan bagi ketiga Parpol penolak Perppu Ormas tersebut, dan bisa mengubah simpati masyarakat menjadi antipati kepada mereka baik di gelaran Pilkada 2018, pemilihan legislatif dan Pilpres 2019 mendatang.
Keempat, jika aksi unjukrasa 26 Oktober 2017 tetap dilaksanakan, maka hal ini menunjukkan mereka gagal “membaca situasi” secara benar dan tepat dan atau sudah kehilangan munisi politik untuk mendiskreditkan pemerintahan Jokowi-JK.
Kelima, jika aks unjukrasa 26 Oktober 2017 jadi dilakukan dan kurang besar dampaknya, terus terang akan mempengaruhi atau menurunkan citra tokoh-tokoh publik yang selama ini digadang-gadang mendukung rencana aksi unjuk rasa tersebut yang foto para prominent figure ini jelas terpampang dalam “promosi atau iklan” rencana unjuk rasa tersebut yang disebarluaskan melalui meme-meme di jalur media sosial.
Sebaliknya, sikap ketujuh fraksi yang menyetujui Perppu Ormas diundangkan menjadi undang-undang adalah sudah benar dan brilian dengan sejumlah alasan : pertama, ancaman terhadap eksistensi NKRI dan Pancasila ke depan yang akan dihadapi generasi milenial Indonesia akan semakin keras, terkoordinir rapi, militan dan sangat mematikan, sehingga adanya produk hukum yang dapat menjamin kelangsungan NKRI dibawah Pancasila sangat diperlukan.
Kedua, dengan adanya Perppu Ormas menjadi undang-undang Ormas, maka masyarakat diharapkan akan semakin dewasa, profesional, setia, dan loyal hanya kepada NKRI dan Pancasila, sehingga muncul kesadaran mereka untuk tetap mempertahankan ideologi negara, karena bagaimanapun juga arah suatu bangsa akan ditentukan oleh warna ideologi negaranya.
Ketiga, masyarakat tetap tidak perlu khawatir dengan Perppu ini menjadi undang-undang tidak akan menyebabkan tudingan beberapa kalangan bahwa negara akan menjadi otoriter ataupun “draconian state”, karena dalam membubarkan Ormas radikal lainnya ke depan, jajaran pemerintah akan mengumpulkan fakta-fakta yang kuat secara hukum serta pasti akan dikomunikasikan dengan pihak legislatif sebelum dikeluarkan keputusan membubarkan sebuah Ormas.
Sekali lagi, rencana unjukrasa 26 Oktober 2017 tidak perlu dilakukan, karena sudah tidak memiliki nilai strategis apapun juga. Semoga dipahami dan dimengerti.
*) Airla, Direktur Strategic Assessment, Jakarta.