Jaksa dan Hakim Terkena OTT KPK, Indikasi apa?
Di negara yang menganut demokrasi dan menghormati HAM seperti Indonesia, maka penegakkan hukum adalah signifikansi yang tidak boleh dilewatkan, dan dibawah kewibawaan aparat penegak hukumlah maka suara rakyat adalah suara Tuhan tetap terjaga, persoalannya adalah bagaimana jika banyak jaksa, hakim, panitera bahkan juru sita pengadilan yang tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) baik yang dilakukan KPK ataupun tim Saber Pungli?
Pada semester I 2017, KY mengirimkan 33 rekomendasi hakim pelanggar kode etik ke MA. Ke-33 hakim tersebut terbukti melakukan kesalahan pengetikan sebanyak 16 hakim, tidak bersikap profesional sebanyak 16 hakim, tidak berperilaku adil sebanyak 3 hakim, selingkuh 3 hakim dan tidak menjaga martabat sebanyak 1 hakim. Dari 33 rekomendasi tersebut, 18 di antaranya belum dilaksanakan oleh MA.
Hal ini mengindikasikan bahwa Komisi Yudisial (KY) telah memberikan rekomendasi kepada Mahkamah Agung (MA) soal hakim pelanggar kode etik MA, walaupun tidak semua rekomendasi dilaksanakan MA, walaupun petinggi MA selalu menyatakan sebaliknya. Abdullah, Jubir MA mengatakan, MA telah memperingatkan para hakim agar tidak melakukan pelanggaran etik, karena hal tersebut tidak akan ditolerir. Menurutnya, sejak kasus OTT hakim di Pengadilan Negeri Bengkulu, Dewi Suryana dan Panitera di PN Bengkulu, Hendra Kurniawan, MA telah memeriksa Ketua PN Bengkulu, Kuswanto dan Ketua Panitera PN Bengkulu, Yuswil apakah terlibat dalam kasus suap atau tidak. Sementara itu, Suhadi, Jubir Mahkamah Agung mengatakan, MA menilai hakim dan aparat yang terjaring operasi tangkap tangan KPK, hanyalah oknum belaka, karena sudah ada regulasi yang ketat yaitu Perma Nomor 8/2016.
Bagaimanapun juga, OTT KPK pada hakim di Bengkulu menunjukan korupsi di pengadilan tidak bisa lagi disebut sebagai oknum, sebab kejadian tersebut berulang kali terjadi dan dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh. Hal ini sebagai akibat ada sistem pembinaan yang tidak jalan di Mahkamah Agung (MA) dan tidak bisa maksimal mengawasi sekitar 7 ribu hakim, 22 ribu aparatur pengadilan dan 840 pengadilan.
Banyak kalangan menilai bahwa Komisi Yudisial (KY) yang saat ini dipimpin dipimpin Aidul Fitriciada Azhari seolah diam saja melihat banyaknya hakim tertangkap kasus korupsi, dan kurang memberikan shock therapy kepada hakim yang nakal. Dalam catatan KY, pada tahun 2016 ada 28 aparat pengadilan yang terkena OTT KPK. Mereka terdiri atas hakim, panitera, dan pegawai lainnya. Oleh karena itu, MA harus selektif dan tidak terburu-buru memberi penghargaan atau sertifikasi kenaikan kelas bagi lembaga pengadilan sebelum memastikan sistem peradilan yang terbuka dan tidak koruptif berjalan efektif.
Sementara itu, Koalisi Pemantau Pengadilan (Judical Watch Coalition) yang terdiri dari ICW, YLBHI, dan Masyarakat Pemantau Pengadilan Universitas Indonesia dalam pernyataan sikapnya menilai, harus ada evaluasi terkait proses rekrutmen hakim, dan evaluasi juga menghasilkan pemetaan korupsi di pengadilan baik yang dilakukan hakim ataupun panitera.
Desakan agar Presiden Jokowi segera menyelesaikan permasalahan MA, seperti dikemukakan Gayus Lumbuun yang juga seorang Hakim Agung mengatakan, ada kekhawatiran yang luar biasa malah timbul dari internal MA, yang mengarah ke kondisi kritis, sehingga saatnya Kepala Negara harus turun tangan dengan melakukan pembenahan terhadap seluruh aparatur peradilan dari hakim, panitera dan pegawai administrasi pengadilan, termasuk pimpinan di semua strata pengadilan dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi sampai Mahkamah Agung (MA) dievaluasi kembali.
Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap para hakim yang tersangkut korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah cermin adanya fenomena “mafia peradilan” yang mewarnai sistem peradilan di Indonesia. Hal ini juga menunjukkan mekanisme pencegahan melalui sistem pengawasan atau supervisi yang dilakukan MA melalui Perma No 8/2016 belum berjalan atau masih dilecehkan oleh korps hakim itu sendiri.
Permasalahan hakim nakal atau hakim korup dan mafia peradilan adalah tugas pokok yang harus diselesaikan agar tidak terulang kembali baik bagi MA sebagai leading sectornya, maupun KY sebagai lembaga pengawas atau watchdog yang memberikan rekomendasi kepada MA, dimana rekomendasi itu harus dilakukan oleh pimpinan MA dalam melakukan reformasi peradilan di Indonesia.
Oleh karena itu, pimpinan MA hendaknya segera memimpin upaya bersih-bersih dan pembenahan internal lembaga tersebut. MA harus mampu meyakinkan publik dan internal mereka bahwa perbuatan merendahkan profesi dan lembaga peradilan adalah sebuah pengkhianatan.
Disamping itu, KY dapat menggelar sidang etik hakim atau sidang majelis kehormatan hakim (MKH). Beragam hukuman yang dapat dijatuhkan ke para hakim nakal mulai dari pemecatan hingga skorsing atau non-palu.
*) Airla, Direktur Strategic Assessment (SA), Jakarta.