Rohingya: Ujian Bagi Kemanusiaan Umat Dunia
Dunia kembali berduka. Kali ini, tragedi kemanusiaan yang menyesakkan hati kembali menimpa etnis muslim Rohingya yang bertempat tinggal di wilayah Arakan, bagian dari Rakhine, Myanmar Barat dan berbatasan langsung dengan Bangladesh. Tragedi Rohingya memang bagaikan tragedi yang tak berkesudahan. Bagaimana tidak, tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya tercatat sudah terjadi setidaknya sejak masa Perang Dunia II. Sejak saat itu, pembantaian dalam berbagai rupa terus menimpa etnis Rohingya hingga saat ini. Terakhir, selama Agustus kemarin, etnis Rohingya kembali mengalami kekerasan. Pemerintah Myanmar, yang menjadi “tokoh antagonis” dalam tragedi kali ini, berdalih bahwa kekerasan yang terjadi merupakan bagian dari operasi militer setelah terjadi serangan kelompok pemberontak ARSA (Tentara Pembebasan Arakan Rohingya) pada Kamis pekan lalu ke pos-pos tentara di Rakhine.
Tragedi Etnis Rohingya dari Masa ke Masa
Duka nestapa yang menimpa etnis Rohingya bak cerita lama yang tak kunjung berakhir. Etnis Rohingya, yang berasal dari kata Rohai atau Roshangee yang berarti penduduk muslim Rohang atau Roshang, tercatat telah mengalami kekerasan sejak tahun 1942. Pada saat itu, Inggris yang telah menjajah wilayah Arakan sejak tahun 1800-an berhasil didepak oleh pasukan Jepang yang menyerang Burma. Terdepaknya Inggris menyebabkan kekosongan besar dalam kekuasaan dan stabilitas, sehingga terjadi kekerasan komunal di wilayah Arakan. Kemudian pada tahun 1948, ketika Burma memproklamasikan kemerdekaannya, muncul ketegangan antara Rohingya dengan pemerintah Burma.
Ketegangan dengan pemerintah Burma menyebabkan setidaknya 13.000 orang Rohingya berupaya mencari perlindungan di India dan Pakistan. Bahkan, ada sebagian pengungsi Rohingya yang menyatakan keinginan untuk bergabung dengan Pakistan. Hal inilah yang membuat pemerintah Burma mengucilkan etnis Rohingya, yang berujung pada penolakan hak warga atas etnis Rohingya. Sejak periode tersebut lah etnis Rohingya mulai menyandang status manusia tanpa negara. 14 tahun kemudian, atau pada tahun 1962, Jenderal Ne Win yang berhasil mengambil alih pemerintahan mulai mensistematiskan penindasan terhadap Rohingya salah satunya dengan membubarkan seluruh organisasi politik dan sosial mereka.
Kebijakan keras Jenderal Ne Win terhadap etnis Rohingya berlangsung hingga 15 tahun. Dalam periode tersebut, tercatat tidak kurang dari 200 ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Sempat ada secercah harapan pada tahun 1978, dimana ketika itu Bangladesh dan Burma menyepakati repatriasi orang-orang Rohingya yang menjadi pengungsi. Namun empat tahun kemudian Burma mengesahkan UU Imigrasi yang menyatakan semua yang bermigrasi di era kolonialisme Inggris dianggap imigran ilegal. UU tersebut tentu saja kembali “mengasingkan” etnis Rohingya.
Kekerasan, perbudakan, pemerkosaan, dan persekusi sektarian oleh militer Myanmar—nama baru Burma sejak 1989—terhadap etnis Rohingya kembali terjadi pada periode 1991-1997. Akibatnya, tidak kurang dari 250 ribu wara Rohingya kembali mengungsi. Kemudian, pada tahun 2012, muncul gerakan Rohingya Elimination Group yang didalangi oleh kelompok ekstremis 969 pimpinan biksu Ahisn Wirathu. Sejak saat itu, sentimen antar-agama makin kental mewarnai kekerasan terhadap etnis Rohingya hingga saat ini.
Ada Apa di Balik Tragedi Rohingya?
Tidak dipungkiri bahwa kekerasan terhadap etnis Rohingya kental akan sentimen antar agama yang dipolitisir. Namun demikian, faktor kepentingan ekonomi ternyata juga memiliki andil yang besar terhadap kompleksitas tragedi yang terjadi. Hal tersebut diamini oleh sejumlah pakar, salah satunya Kepala Bidang Penelitian pada South Asia Democratic Forum (SADF) Siegfried O Wolf.
Menurut Siegfried sebagaimana yang dikutip dari situs berita Kompas.com, sebagian warga Rakhine yang beragama Budha menganggap etnis Rohingya sebagai pesaing tambahan dan beban ekonomi. Selain itu, kelompok Rakhine Budha juga merasa dikhianati secara politis karena warga Rohingya tidak bisa memberikan suara bagi partai politik mereka. Ketegangan semakin meruncing manakala pemerintah tidak mendorong rekonsiliasi melainkan mendukung fundamentalis Buddha dengan tujuan menjaga kepentingan di kawasan Rakhine yang terkenal kaya sumber daya alam. Dengan demikian, Siegfried menyimpulkan bahwa rasa tidak suka warga Buddha Myanmar terhadap muslim Rohingya bukan saja karena masalah agama, tetapi juga didorong masalah politis dan ekonomis.
Sementara itu, dosen Komunikasi Politik Universitas Islam Bandung Yadi Supriadi dalam tulisannya di situs berita detik.com menyatakan, konflik Rohingya adalah spiral kekerasan yang melibatkan aspek historis, sosial, dan psikologis. Pendapatnya tersebut meminjam kacamata Dom Helder Camara yang menyatakan bahwa kekerasan selalu diawali dengan ketidakadilan. Dalam hal ini, ketidakadilan di Burma atau Myanmar berlangsung secara spiral mulai dari rasa ketidakadilan warga Burma terhadap orang Rohingya di masa kolonial Inggris, hingga rasa ketidakadilan itu berbalik datang dari warga Rohingya selepas mereka melewati masa penjajahan. Pada akhirnya, ketidakadilan yang terjadi menyulut pemberontakan, dan pemberontakan selalu direspons tindak represif penguasa.
Dengan demikian, wajar apabila sebagian kalangan menyimpulkan bahwa tragedi yang menimpa etnis Rohingya bagaikan benang kusut yang sulit terurai. Kondisi ini pun akhirnya menyebabkan sulitnya mendapatkan win-win solution yang benar-benar pas untuk menyudahi duka nestapa yang dialami etnis Rohingya.
Tragedi yang Menjadi Batu Ujian Bagi Kemanusiaan
Tragedi yang menimpa etnis Rohingya memang menimbulkan duka nestapa yang amat mendalam. Namun demikian, tragedi tersebut juga seharusnya dimaknai sebagai bentuk ujian sejauh mana rasa “kemanusiaan” kita.
Cukup dengan hanya “menjadi manusia”, kita seharusnya dapat menyadari bahwa kekerasan yang diterima oleh etnis Rohingya tidak dapat dinalar oleh nilai-nilai kemanusiaan manapun. Hanya dengan menilai berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, kita seharusnya dapat menyimpulkan pembantaian, pemerkosaan, pengusiran secara paksa, dan diskriminasi merupakan perbuatan yang tidak memiliki justifikasi. Sekali lagi, cukup dengan hanya “menjadi manusia” saja kita sudah sepatutnya merasa bahwa ada yang “salah” dengan langkah represif rezim militer Myanmar terhadap etnis Rohingya yang tidak berdaya.
Selain itu, tragedi yang menimpa etnis Rohingya juga menguji sejauh mana kepedulian kita terhadap mereka. Kepedulian itulah yang kelak akan menjadi ukuran sebagus apa “kualitas kemanusiaan” yang kita miliki. Tidak peduli sekecil apapun kepedulian yang kita tunjukkan, asalkan dilandasi oleh keikhlasan dan ketulusan untuk mengerahkan seluruh kemampuan, itu sudah cukup untuk mencerminkan “kualitas kemanusiaan” kita miliki.
Namun demikian, ujian terhadap rasa “kemanusiaan” kita tidak hanya sampai di sana. Masih terdapat satu lagi bentuk ujian yang seringkali terlupakan namun tidak kalah pentingnya. Ujian tersebut adalah sejauh mana kita tidak memperkeruh atau menunggangi tragedi yang tengah terjadi hanya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Mungkin terdengar absurd. Namun fenomena inilah yang dalam beberapa waktu terakhir tengah terjadi.
Mari kita amati media sosial kita khususnya saat ini ketika isu tragedi Rohingya masih menjadi “isu panas”. Di satu sisi, kita perlu berbangga hati bahwa banyak saudara kita yang sangat peduli terhadap nasib naas etnis Rohingya. Penggalangan dana, aksi sosial, dan doa bersama ramai dilakukan agar etnis Rohingya bisa memiliki kehidupan yang lebih baik. Di sini, kita bisa menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia masih memiliki “kualitas kemanusiaan” yang tinggi.
Sayangnya, di sisi lain, tidak sedikit juga oknum-oknum yang berupaya untuk memperkeruh tragedi yang terjadi. Hal tersebut tercermin dari banyaknya penyebaran konten-konten hoax seputar tragedi di Rohingya. Penyebaran konten-konten hoax tersebut kemudian dihiasi dengan tulisan-tulisan provokatif dan memecah belah bangsa. Misalnya, penyebaran konten dan tulisan yang menyerukan umat Islam Indonesia untuk membuat aksi balasan terhadap umat Budha Indonesia sebagai bentuk solidaritas terhadap tragedi yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar. Alhasil, muncul saling ejek, caci maki, bahkan ujaran-ujaran kebencian yang tidak jarang berujung untuk mencederai toleransi dan keanekaragaman bangsa Indonesia. Berangkat dari titik ini, tidak keliru apabila kita menilai bahwa “kualitas kemanusiaan” bangsa Indonesia masih perlu untuk disempurnakan.
Penutup
Tragedi yang menimpa etnis Rohingya adalah duka nestapa bagi umat manusia tidak peduli apapun latar belakangnya. Sebagai “sesama manusia”, sudah barang tentu kita wajib untuk memberikan bantuan dalam bentuk apapun sesuai dengan kemampuan kita. Selain itu, kita juga perlu mengapresiasi langkah-langkah pemerintah Indonesia yang cukup aktif memperjuangkan nasib etnis Rohingya melalui jalan diplomasi. Mungkin sebagian dari kita menganggap bahwa langkah diplomasi pemerintah masih belum cukup dan terkesan “lembek”. Akan tetapi, hampir seluruh pakar politik luar negeri menganggap bahwa langkah diplomasi Indonesia adalah yang terbaik. Hal ini mengingat tragedi Rohingya bagaimanapun merupakan “urusan” dalam negeri Myanmar sehingga bila Indonesia terlalu agresif dikhawatirkan akan membuat pemerintah Myanmar makin tertutup dan berujung kontraproduktif.
Hal yang tidak kalah pentingnya yang juga perlu kita lakukan adalah mengontrol perilaku kita di media sosial. Jangan sampai kita secara tidak sadar dijadikan pion oleh oknum-oknum yang ingin memecah belah bangsa Indonesia dengan memanfaatkan isu tragedi Rohingya. Penyebaran konten hoax dan pesan-pesan provokatif perlu kita lawan demi merawat kemajemukan dan “kualitas kemanusiaan” bangsa Indonesia.
*) Yando Haureza, Peneliti di Pusat Kajian Strategis Sulawesi Tengah di Kabupaten Banggai.