Potensi Ancaman Teror di Indonesia

Potensi Ancaman Teror di Indonesia

Potensi ancaman teror di Indonesia pasca aksi bom bunuh diri Kp. Melayu diperkirakan masih cukup terbuka, sepanjang eksistensi kelompok-kelompok Islam Fundamentalis-Radikal terus aktif melakukan konsolidasi secara klandestine, menyebarkan ideologinya, merekrut anggota dan membentuk sel-sel jaringan yang militan.

Selain itu, belum dijadikannya “aksi teror” dan isu “radikalisme-teroris” sebagai musuh bersama di tengah masyarakat, maka peluang berkembangnya jaringan teror di wilayah Indonesia juga cukup terbuka, kendati berbagai langkah-langkah pencegahan dan penindakan massif dilakukan. Mengingat jaringan teroris di Indonesia saat ini telah menjadi bagian dari jaringan internasional (ISIS).

Saat ini ancaman terorisme tidak hanya bersifat lokal, tetapi sudah dalam konteks terorisme global. Untuk itu, dibutuhkan kerjasama lintas kementerian/lembaga dan peran seluruh elemen masyarakat dalam menanggulanginya. Meskipun berbagai upaya penanggulangan terorisme telah dilakukan oleh pemerintah, baik melalui hard approach (penindakan hukum) maupun soft approach (deradikalisasi), namun Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan terorisme, terutama terkait eksistensi kelompok teror, lemahnya payung hukum pencegahan terorisme dan terus berlanjutnya upaya proganda oleh kelompok teroris yang memanfaatkan kemajuan teknologi.

Revisi terhadap RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diharapkan akan dapat memperkuat aparat dalam upaya menanggulangi tindak teror dan dapat bekerja lebih cepat serta lebih dini dalam mencegah tindakan terorisme, namun tetap harus memperhatikan perlindungan HAM, baik bagi yang diduga tersangkut maupun yang menjadi korban.

Selain itu, dalam revisi RUU Terorisme perlu juga diperhatikan keterlibatan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan terorisme, terutama keterlibatan dalam kegiatan deradikalisasi harus lebih ditingkatkan dan menjadi perhatian. Penyempurnaan UU Terorisme ini diharapkan seluruh penegak hukum mampu bersinergi dalam menjalankan tugasnya masing-masing.

Massifnya tekanan militer Filipina terhadap kelompok militan ISIS di Kota Merawi tersebut, selain akan membangkitkan semangat solidaritas para militan ISIS di Indonesia untuk melakukan aksi amaliyah, juga tidak menutup kemungkinan akan menjadikan Indonesia sebagai tempat pelarian bagi eksodus penduduk maupun para kombatan/militan ISIS asal Filipina.

Demikian pula, massifnya penindakan dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat keamanan tidak menutup kemungkinan jaringan kelompok teror di Indonesia untuk melakukan amaliyah atau pergeseran personil maupun materil bahan peledak. Hal ini diperkuat adanya indikasi persiapan aksi untuk “amaliyah” dengan target Fasilitas Obvit, VVIP dan personil aparat Kepolisian dengan lokasi yaitu, di Jakarta, Makassar, Medan, Surabaya dan Solo.

Selain itu, perlu mewaspadai ancaman dari Foreign Terrorist Fighters (FTF) sebagai efek dari dinamika ISIS yang saat ini terdesak serta melancarkan serangan bom bunuh diri di luar negeri. Sementara itu, sejumlah kebijakan pemerintah dan tindakan aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian terhadap Ormas Islam dan ulama yang dinilai sebagai bentuk tindakan reprensif terhadap Islam yang pada gilirannya dapat dijadikan “pembenaran” oleh kelompok Ormas radikal untuk melakukan aksi teror bahwa rezim saat ini anti Islam.

Permasalahan lainnya terkait potensi ancaman teror di Indonesia adalah masih adanya kendala penanganan deportasi WNI yang masuk ISIS dengan indikasinya yaitu merosotnya kekuasaan ISIS di Suriah dan Irak menyebabnya banyak pendukung ISIS yang mulai keluar dari Suriah dan Irak atau yang dikenal dengan istilah Foreign Terrorist Fighter (FTF), dimana terdapat dua kelompok jihadis yang kembali dari Suriah dan Irak yaitu deportan dan returnee.

Untuk deportan, proses pengembaliannya melibatkan dua negara sehingga lebih mudah untuk memonitor kepulangannya, sementara untuk returnee yang kembali melalui jalur resmi atau tidak melakukan pelanggaran keimigrasian akan sedikit lebih sulit pengawasannya. Selain itu, terdapat juga returnee yang menggunakan dokumen dan identitas palsu untuk kembali ke Indonesia.

Dampaknya adalah sulitnya mendeteksi FTF WNI yang masuk dalam kategori returnee dapat menyebabkan mereka secara diam-diam sudah berada di Indonesia. Disamping itu, keberadaan mereka di Indonesia yang tidak terdeteksi akan berdampak mereka mudah melakukan penyebaran ideologi radikal dan aksi-aksi teror lanjutan.

Menghadapi masalah seperti ini, rekomendasi yang dapat diberikan penulis antara lain : pertama, Presiden RI segera memerintahkan Menko Polhukam, Kepala BNPT dan Kepala BIN untuk meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan counterpart, seperti dalam bentuk pertukaran intelijen dan operasi intelijen bersama.

Kedua, Presiden RI memerintahkan Menlu untuk memperkuat kerjasama bilateral dengan berbagai negara, terutama negara-negara yang terdampak cukup signifikan akibat pergerakan kelompok FTF.

Disamping itu, Kemenlu perlu meningkatkan pengawasan terhadap WNI yang berada di negara-negara yang berpotensi dijadikan tempat transit para FTF untuk mencegah keterlibatan atau menjadi korban perekrutan kelompok teror.

*) Airla, Direktur Strategic Assessment, Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent