Memperbaiki Nasib TKI, Mempercantik Wajah Bangsa
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) adalah salah satu exit strategy yang cukup berhasil dalam menekan angka pengangguran di Indonesia, bahkan pengiriman TKI juga cukup memberikan kontribusi yang signifikan bagi pemasukan devisa negara. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat ada Rp 57,61 triliun kiriman uang (remitansi) “duta devisa Indonesia” terhitung Januari sampai Juni 2017. Dalam bentuk kurs dolar, pada periode Juni 2017 ini jumlah remitansi yang masuk ke Indonesia US$ 4,3 miliar. Uang tersebut berasal dari TKI yang bekerja antara lain di Malaysia US$ 1,2 miliar, Australia dan Selandia Baru yakni US$ 2,58 miliar. Disusul kawasan Timur Tengah termasuk Afrika US$ 1,61 miliar, dan kawasan Amerika serta Eropa masing-masing US$ 94,7 juta dan US$ 34,41 juta.
Permasalahannya adalah seringkali “pahlawan devisa” kita tersebut kurang mendapatkan proteksi dari negara alias seringkali negara absen hadir dalam menangani permasalahan TKI, walaupun prosentasenya semakin menurun artinya negara sudah mulai peduli dengan TKI, setidaknya terlihat pemerintah hadir melalui BNP2TKI untuk memfasilitasi berbagai pengaduan yang diproses melalui kontak keluarga dan lintas sektor karena bagaimanapun memperbaiki nasib TKI sama artinya dengan mempercantik wajah bangsa.
Menurut siaran pers Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) telah menerima 2.949 aduan kasus selama periode Januari-Agustus 2017. Terdapat 6 kategori media pengaduan yang difasilitasi Crisis Center BNP2TKI. Pengaduan melalui surat sebanyak 1.030, sebanyak 931 kasus dengan mendatangi langsung kantor BNP2TKI, 562 melalui telepon, layanan pesan e-mail 200, dan lain-lainnya 221 kasus.
Berdasarkan data Crisis Center BNP2TKI, apabila dilihat dari sisi tempat kejadian kasus yang dilaporkan, persebaran terbanyak masih didominasi di kawasan Asia-Pasifik dan Timur Tengah dengan perincian antara lain, 10 besar negara penempatan dan yang terbanyak memperoleh pengaduan meliputi Malaysia sebanyak 994 aduan, Arab Saudi 702, Taiwan 417, Uni Emirat Arab 147, Singapura 121, Brunei Darussalam 81, Hong Kong 80, Qatar 51, serta Oman dan Bahrain masing-masing 48 kasus. Sisanya tersebar di berbagai negara tujuan penempatan dengan sebaran yang sangat bervariasi di kisaran angka 1 s.d 30 kasus.
Persebaran kasus di dalam negeri dapat dilihat pada level provinsi dan kabupaten sebagai daerah sumber TKI. Aduan masyarakat terkait TKI bermasalah berdasarkan 10 provinsi tertinggi adalah Jawa Barat sebanyak 801 aduan, Jawa Tengah 429, Jawa Timur 327, Nusa Tenggara Barat 230, Nusa Tenggara Timur 179, Lampung 132, Sumatera Utara 115, Banten 114, Kepulauan Riau 47, Aceh 35. Adapun aduan tertinggi sesuai kabupaten di antaranya Indramayu sebanyak 194 aduan, Cirebon 120, Karawang 111, Cianjur 102, Cilacap 71, Sumbawa dan Serang masing masing 59, Lombok Timur 56, Batam 46, serta Sukabumi 45. Selebihnya tersebar di daerah-daerah sumber TKI, yakni Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.
Berdasarkan jenis masalahnya, kasus terbanyak yang dilaporkan meliputi TKI ingin dipulangkan sebanyak 311, gaji tidak dibayar 271, TKI gagal berangkat 205, overstay 193, pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir 193, sakit 186, putus hubungan komunikasi 129, pekerjaan tidak sesuai PK (perjanjian kerja) 110, perdagangan orang 68, TKI tidak berdokumen 65, potongan gaji melebihi ketentuan 65, dan lain-lain 695. Selain itu, BNP2TKI juga mencatat adanya pengaduan atas TKI meninggal, tidak punya ongkos pulang, mendapat tindakan kekerasan dari majikan dan sebagainya.
Crisis Center BNP2TKI juga mencatat aduan TKI yang digolongkan berdasarkan masa kejadian kasus adalah pada masa penempatan sebanyak 2.402 kasus, selama masa pra-penempatan 349, dan purna-penempatan 198.
Terkait data TKI yang meninggal di luar negeri, total 145 TKI meninggal dunia selama Januari-Agustus 2017. Sebanyak 42 orang di antaranya yang bekerja di kawasan Timur Tengah serta 103 orang yang bekerja di kawasan Asia-Pasifik dan Amerika. Rata-rata penyebab meninggal adalah TKI mengalami sakit, kecelakaan kerja, kekerasan, dan lain sebagainya.
Memperbaiki nasib TKI.
Masalah yang terbesar dan sering terjadi di kalangan TKI adalah TKI ingin dipulangkan, gaji tidak dibayar, pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir, overstay, dan TKI gagal berangkat. Menghadapi berbagai permasalahan ini, pemerintah melalui BNP2TKI dan Kementerian Tenaga Kerja harus segera meresponsnya, sebab jika tidak akan menjadi permasalahan ketenagakerjaan, sekaligus berimplikasi mengganggu Sikon kamtibmas jika akibat permasalahan TKI yang gagal diselesaikan, kemudian mereka menjadi pengangguran, dan meningkatnya pengangguran jelas akan riskan bagi munculnya berbagai tindak kejahatan.
Apalagi kondisi ketenagakerjaan saat ini juga kurang menguntungkan, bahkan terjadi penurunan remitansi yang dikirimkan TKI ini terjadi antara lain disebabkan karena kebijakan pemerintah yang memprioritaskan penempatan TKI formal, jumlah penempatan TKI ke luar negeri yang mengalami penurunan pada periode yang sama antara 2016 dan 2017, dan dampak nyata dari kebijakan penutupan penempatan TKI informal ke negara kawasan Timur Tengah. Selain itu faktor terbatasnya peluang kerja bagi tenaga kerja asing di beberapa negara penempatan TKI karena keadaan ekonomi yang fluktuatif.
Ancaman terhadap fenomena ketenagakerjaan dan khususnya masalah TKI juga masih mengemuka di era ekonomi digital atau e-commerce, termasuk efek backwash. Mengacu ke teori Gunnar Myrdal menekankan proses devergen yang menyebabkan ketimpangan makin melebar. Fenomena ini sebagai akibat dari proses penyebab akumulatif (cumulative causation). Myrdal (1957) meningkatnya ketimpangan antara negara maju dengan berkembang karena adanya backwash effect lebih besar daripada dampak penyebaran. Backwash effect antara lain, produk pertanian dan industri banyak yang diimpor dan lemahnya keterkaitan usaha besar dan kecil. Fenomena ini juga akan mengecilkan captive market di sektor ketenagakerjaan yang membuat supply-demand workers chain juga akan terganggu. Permasalahan strategis inilah yang belum diantisipasi oleh pemerintah khususnya BNP2TKI dan Kemenakertrans.
Memperbaiki nasib TKI harus diiringi dengan komitmen kuat dari pemerintah dan stakeholder terkait, dimana komitmen kuat tersebut akan muncul ketika TKI dianggap sebagai aset bangsa, duta bangsa sekaligus pahlawan devisa, sehingga apapun halangan yang merintangi mereka, termasuk “penghinaan” terhadap mereka di luar negeri, maka negara harus all out hadir, karena kehadiran negara akan mempercantik wajah bangsa. Semoga.
*) Otjih Sewandarijatun, Alumnus Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Tinggal di Jakarta Timur.