Jarimu Harimau Negaramu
Penggunaan media sosial akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Media sosial yang seharusnya bisa menjadi sarana untuk kebaikan, saat ini cenderung justru menjadi alat untuk menyebarkan kebencian dan berita bohong (hoax). Konten kebencian dan hoax ini diduga disebarkan dengan tujuan untuk kepentingan kelompok tertentu. Meskipun masih sebagian kecil pelakunya, namun konten kebencian dan hoax pada media sosial dalam waktu yang singkat bisa menyebar (viral) dan cenderung akan dianggap sebagai kebenaran jika tidak ada klarifikasi oleh pihak yang lebih dipercaya.
Contoh penyebaran konten kebencian dan konten kebohongan adalah konten yang terkait kiris Rohingnya di Myanmar. Saat ini banyak ditemukan konten-konten di media sosial yang direkayasa sedemikian rupa untuk membentuk opini bahwa krisis Rohingnya di Myanmar adalah konflik antar agama. Berbagai foto dengan narasi provokatif disebarkan untuk mempengaruhi dan memancing simpati publik.
Beberapa foto yang disebarkan dan dianggap sebagai dokumetasi dari krisis Rohingnya di Myanmar antara lain foto pascagempa di Cina pada April 2010. Foto dari negara Republik Kongo yang menggambarkan ratusan korban tewas terbakar dari kecelakaan kendaraan berisi bahan bakar yang meledak dan terbakar pada 2010 disebarkan dan direkayasa dengan keterangan seolah foto tersebut adalah korban dari konflik Rohingnya yang dibakar hidup-hidup. Beberapa foto lain yang faktanya adalah korban badai Topan Nargis Mei 2008, kecelakaan perahu di sungai Myanmar, bahkan foto dari sebuah bencana di Aceh, diolah sedemikian rupa untuk dipalsukan menjadi dokumentasi krisis Rohingnya di Rakhine Myanmar.
Ironisnya, penyebaran foto-foto hoax yang bisa memicu kebencian ini tidak hanya disebarkan oleh masyarakat awan yang kurang memperoleh informasi faktual tetapi juga dilakukan oleh seorang yang pernah menjadi Menteri Kominfo, meskipun mantan menteri tersebut akhirnya melakukan koreksi. Hal ini tentu sangat memprihatinkan, jika seorang mantan Menteri Kominfo yang seharusnya sangat paham dengan informasi saja masih bisa menyebarkan konten hoax melalui akun media sosialnya, apalagi masyarakat biasa.
Dalam kasus krisis Rohingnya di Myanmar, terbentuk opini bahwa krisis tersebut terjadi karena pertentangan antar agama. Jika hal ini disebarkan secara terus menerus maka akan memicu simpati kepada pihak yang mempunyai identitas sama, sekaligus memicu kebencian kepada pihak yang identitasnya menjadi oposisi. Hal ini tentu harus dicegah dan ditangani agar tidak menimbulkan dampak bagi masyarakat Indonesia, mengingat simpati dan kebencian tersebut sudah mulai nampak terjadi.
Gunakan Akal Sehat
Banyak cara untuk melakukan verifikasi atas berita yang kita terima. Dengan kemajuan teknologi maka mudah untuk memastikan bahwa sebuah berita atau konten media massa tersebut fakta atau kebohongan. Konten yang berisi gambar paling banyak menjadi bahan untuk memancing reaksi publik. Keterangan pada gambar yang disebarkan akan dibuat sedemikian rupa untuk menjelaskan kejadian pada gambar/foto tersebut. Pengguna media sosial akan mudah terpancing emosinya jika keterangan pada gambar tersebut bisa mampu menyentuh emosi penerima sehingga penggunaan akal sehat dibaikan, terutama jika menyangkut suatu ideologi atau agama.
Gambar-gambar pada konten media sosial bisa diperiksa keasliannya. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan aplikasi mesin pencari Google yang sudah menyiapkan tautan https://images.google.com. Tautan tersebut akan menampilkan keterangan dari gambar/foto yang dimasukkan bersumber dari konten-konten yang telah dimuat, dari sinilah akan diketahui sebenarnya peristiwa apa yang terjadi pada gambar atau konten tersebut.
Selain menggunakan cara tersebut di atas, pengguna media sosial diharapkan mampu peka dan mengasah akal sehatnya saat menggunakan media sosial. Konten-konten yang provokatif dan berpotensi menjadi sumber kebencian yang mengarah kepada perpecahan seharusnya tidak perlu disebarkan. Jika ingin lebih bermanfaat pada kebaikan, pengguna media sosial yang mempu melakukan analisis terhadap kebenaran konten tersebut dapat melakukan kontra propaganda dengan memberikan bantahan dan menyajikan fakta yang sebenarnya. Hal ini selain berguna bagi masyarakat luas, juga bermanfaat pula bagi situasi bangsa dan negara.
Konten-konten media sosial yang provokatif, jika memang menyangkut suatu peristiwa nyata dan suatu kebenaran, maka dapat didorong kepada pemerintah selaku penyelanggara negara untuk melakukan penanganan. Menyebarkan konten provokatif dan kebencian tidak akan menyelesaikan suatu masalah, bahkan cenderung akan semakin memperkeruh masalah. Anggapan bahwa penyebaran konten media sosial, adalah suatu bentuk kepedulian atau kesalehan dalam membela sesuatu perlu ditimbang ulang dampak dan akibatnya lebih luas lagi.
Nasionalisme
Penyebaran konten-konten yang mengandung kebencian dan provokatif dengan sumber gambar/foto yang direkayasa bisa menjadi ancaman bagi keutuhan negara. Kebencian yang disebarkan terus menerus dan diterima oleh masyarakat tanpa konfirmasi akan dianggap sebagai kebenaran. Jika hal ini menyangkut suatu identitas seperti SARA maka potensi konflik sosial akan mudah terjadi.
Pengguna media sosial harus cerdas dan memanfaatkan teknologi yang berada dalam genggaman tanggannya untuk kebaikan. Contoh hal yang bisa dilakukan dengan media sosial antara lain berbagi pengetahuan dan informasi positif, selain itu media sosial juga bisa dimanfaatkan untuk membantu pemerintah dan negara. Media sosial juga bisa dilakukan untuk meningkatkan cinta tanah air dan nasionalisme warga negara. Konten-konten yang bersifat membangkitkan rasa cinta tanah air dan nasionalisme jika diviralkan tentu akan berdampak pada persatuan dan kesatuan warga negara Indonesia.
Menggunakan media sosial merupakan hak setiap warga negara, namun menyebarkan konten-konten kepada masyarakat luas melalui media sosial harus diatur agar tidak berdampak negatif. Banyak hal baik yang bisa dilakukan dan disebarkan, tidak perlu menyebarkan kebencian dan kebohongan yang memicu perpecahan. Jika suatu perkataan seseorang digambarkan dalam peribahasa mulutmu harimaumu, maka menggunakan media sosial menjadi jarimu harimau negaramu. ***
*) STANISLAUS RIYANTA, mahasiwa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.