Media Sosial: Katalisator Perang Proksi di Indonesia
Pendahuluan
Seiring berjalannya waktu, spektrum ancaman terhadap Indonesia semakin kompleks. Saat ini, ancaman terhadap Indonesia tidak hanya bersifat “tradisional” atau yang “terlihat” saja, semisal ancaman konflik bersenjata dengan negara lain. Akan tetapi, ancaman saat ini lebih banyak yang bersifat “non tradisional” dan sering kali “tidak terlihat”. Salah satunya, ancaman proxywar atau perang proksi.
Apa sebenarnya perang proksi itu? Seberapa berbahayanya perang proksi sehingga sering “dinobatkan” sebagai ancaman terbesar terhadap Indonesia saat ini? Lalu, bagaimana bisa media sosial disalahgunakan sebagai katalisator perang proksi di Indonesia?
Konsep Proxy War dan Praktiknya
Merujuk pada situsweb Online Oxford English Dictionaries, proxy war atau perang proksi dapat diartikan sebagai suatu perang yang dilakukan oleh dua atau lebih kekuatan besar namun kekuatan-kekuatan tersebut tidak bersentuhan satu sama lain secara langsung. Sementara itu, Panglima TNI Gatot Nurmantyo mendefinisikan perang proksi sebagai sebuah konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti, untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan untuk mengurangi risiko konflik yang fatal.
Gatot Nurmantyo kemudian menjelaskan lebih lanjut, bahwa perang proksi biasanya memanfaatkan jasa pihak ketiga. Adapun yang bertindak sebagai “pihak ketiga” biasanya adalah negara kecil, namun kadang-kadang bisa juga berupa non-stateactors seperti LSM, organisasi kemasyarakatan, kelompok masyarakat, atau pun perorangan. Dalam praktiknya, sang “pihak ketiga” dilibatkan dengan menggunakan taktik dan strategi tertentu, di antaranya melalui dukungan terbuka dan terang-terangan atau bisa juga dilakukan secara rahasia.
Perang proksi sebagai salah satu strategi perang mulai sering digunakan ketika masa Perang Dingin. Pada masa Perang Dingin, ketegangan antara dua superpower dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet, mencapai puncaknya. Namun demikian, publik internasional termasuk di AS maupun Uni Soviet sendiri menganggap konfrontasi langsung antara kedua negara superpower tersebut dapat berujung pada perang nuklir yang dapat membahayakan seluruh dunia. Selain itu, perang secara langsung pun dianggap terlalu banyak mengeluarkan biaya. Dengan demikian, perang proksi pun dianggap sebagai bentuk pertempuran yang paling efektif sekaligus “aman” dalam rangka memaksakan kepentingan terhadap negara lain.
Sejak era perang dingin hingga saat ini, praktik perang proksi terjadi hampir di seluruh bagian dunia. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah perang proksi antara AS dengan Uni Soviet dalam wujud Perang Vietnam. Adapun contoh yang lain, yakni perang saudara yang berlangsung di Suriah hingga saat ini. Bahkan, sebagaimana yang dikemukakan dalam pembukaan tulisan ini, Indonesia pun telah masuk ke dalam target “korban” perang proksi selanjutnya.
Bentuk perang proksi pun bermacam-macam. Masih menurut Panglima TNI Gatot Nurmantyo, perang proksi khususnya di Indonesia dapat berwujud dalam beragam bentuk. Bentuk perang proksi di Indonesia yang terlihat paling jelas adalah gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Selain separatis, perang proksi di Indonesia juga menjelma dalam bentuk demonstrasi massa, sistem regulasi yang merugikan, terorisme, peredaran narkotika, dan bentrok antarkelompok. Bahkan, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu ikut menambahkan bahwa ditumbuhkembangkannya kelompok Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT) di Indonesia termasuk bentuk upaya perang proksi untuk menghancurkan generasi muda Indonesia.
Biasanya, “kepentingan” merupakan faktor utama yang menyebabkan suatu negara menjadi korban dari perang proksi. Namun demikian, dalam kasus Indonesia, teridentifikasi setidaknya 5 penyebab yang dapat menjadi faktor pendukung terjadinya perang proksi di Indonesia.
Pertama, kekayaan sumber daya alam di Indonesia yang sangat melimpah. Kedua, persatuan dan kesatuan di Indonesia yang masih sering goyah. Ketiga, kondisi masyarakat Indonesia yang mudah diiming-imingi kekuasaan.Keempat, mudah terprovokasinya masyarakat Indonesia. Kelima, posisi Indonesia sebagai pusat kekuatan Asia Tenggara.
Media Sosial dan Proxy War di Indonesia
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, jumlah pengguna media sosial khususnya Facebook terus meningkat. Berdasarkan laporan riset We Are Social dan Hootsuite yang dirilis di Linkedin pada 21 April 2017, Indonesia tercatat bertengger di posisi keempat negara dengan jumlah pengguna Facebook terbesar, yakni sekitar 111 juta pengguna aktif. Pun Jakarta sebagai ibukota Indonesia, masih merujuk pada laporan yang sama juga menduduki posisi ketiga kota pengguna Facebook terbanyak dengan jumlah sekitar 22 juta pengguna aktif.
Sementara itu, apabila merujuk pada hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dirilis pada Oktober 2016, jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2016 adalah 132,7 juta pengguna atau sekitar 51,5% dari total jumlah penduduk Indonesia. Jika dibandingkan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 88,1 juta pengguna, maka terjadi kenaikan sebesar 44,6 juta pengguna dalam waktu 2 tahun dengan porsi terbesar berada di pulau Jawa.
Data di atas menunjukkan betapa besarnya penetrasi internet dan media sosial dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Fenomena tersebut pun mengandung sisi “positif” sekaligus “negatif”. Sisi positif salah satunya adalah besarnya peluang baik bagi pemerintah maupun masyarakat Indonesia untuk mengembangkan perekonomian berbasis teknologi komunikasi. Adapun sisi negatifnya sebagaimana yang dijelaskan oleh bagian tulisan di atas, bahwa media sosial dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan pesan-pesan provokatif dan hoax yang dapat memecah belah bangsa Indonesia. Perpecahan antar anak bangsa inilah yang kemudian akan berkembang menjadi perang proksi baik disadari atau tidak.
Dimanfaatkannya media sosial sebagai “alat” untuk memecah belah bangsa yang dapat berkembang menjadi perang proksidisadari betul oleh para pemimpin bangsa, salah satunya Kepala BIN Budi Gunawan. Dalam salah satu kesempatan di Jakarta pada 14 Juli 2017, Budi Gunawan menegaskan bahwa ada upaya untuk melemahkan Indonesia melalui “operasi perang urat saraf (PUS)”. Operasi PUS itu sendiri merupakan operasi untuk menyebarkan informasi dan berita-berita menyesatkan atau hoax untuk mempengaruhi emosi, motif, dan cara politik yang pada akhirnya akan mengubah perilaku orang, kelompok, dan pemerintah. Adapun operasi PUS yang dimaksud memanfaatkan media sosial sebagai “roda penggerak utama”, mengingat jangkauan media sosial yang sangat luas sekaligus murah. Akhirnya, hampir seluruh lapisan masyarakat dapat terseret menjadi “korban” operasi PUS. Dan operasi PUS inilah yang menjadi bibit proxywar di Indonesia.
Efek kerusakan dari operasi PUS yang menggunakan media sosial pun tidak bisa dianggap remeh. Salah satu efek kerusakan tersebut, yakni begitu banyak penyebaran paham radikalisme khususnya yang dapat mengarah pada terorisme melalui media sosial. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius bahwa perkembangan radikalisme dan terorisme sudah masuk melalui media sosial. Kapolri Jenderal Tito Karnavian pun memberikan pernyataan yang senada, bahwa para pelaku berbagai kasus ledakan bom bunuh diri di Indonesia saat ini menggunakan Telegram (salah satu aplikasi media sosial) sebagai media untuk berkomunikasi.
Tidak hanya sampai di sana. Tren saat ini juga menunjukkan adanya gejala-gejala perpecahan dan perbedaan pendapat yang sangat ekstrem di tengah-tengah masyarakat Indonesia khususnya dalam arena media sosial. Parahnya lagi, perbedaan pendapat tersebut tidak jarang disampaikan dalam bentuk hujatan kebencian, caci maki, bahkan kata-kata provokasi yang menyinggung isu SARA. Hampir segala macam topik, bahkan yang terlihat remeh sekalipun dapat dijadikan sumber untuk memancing munculnya dua kubu yang ekstrem berseberangan.
Fenomena perbedaan pendapat yang ekstrem di tengah-tengah jagat maya Indonesia salah satunya dapat dilihat dari pandangan masyarakat dalam menyikapi kontes Pilkada Serentak 2017, khususnya Pilkada DKI Jakarta. Perbedaan pendapat yang pada awalnya hanya berkisar dalam persoalan pilihan politik kemudian melebar menyinggung isu-isu lainnya, termasuk isu SARA dan ideologi. Buntutnya, mulai terjadi segregasi di tengah-tengah masyarakat. Istilah “kami” dan “mereka” dalam konotasi yang negatif pun menjamur di sejumlah media sosial, khususnya Facebook. Untungnya, perbedaan pendapat yang ekstrem tersebut hingga saat ini baru sebatas berkutat di arena media sosial. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan ke depannya akan lahir konflik-konflik sosial yang disebabkan “hanya” karena berbeda pendapat di media sosial.
Lahirnya konflik akibat perbedaan pendapat di media sosial merupakan bentuk nyata proxywar yang terjadi di Indonesia. Hanya karena perbedaan pendapat di media sosial, anak bangsa Indonesia diadu domba dan dipecah belah yang pada ujungnya akan melemahkan kekuatan bangsa. “Pemerintah vs Rakyat”, “Jokowi vs Prabowo”, “TNI vs Polri”, “pribumi vs pendatang”, “agama A vs agama B”, merupakan segelintir dari banyak contoh isu yang sering dieksploitasi untuk memecah belah bangsa. Dengan demikian, tidak berlebihan apabila fenomena ini disebut sebagai upaya sistematis untuk melemahkan bangsa Indonesia dari dalam, dan itulah yang menjadi salah satu esensi dari perang proksi. Apabila terus dibiarkan, Indonesia ke depannya hanya akan menjadi “mainan” yang terus diobok-obok oleh kekuatan besar dunia.
Namun diolok-olok atau tidaknya Indonesia akibat proxywar ke depan jelas tergantung kepada kedewasaan berkebangsaan dan berpolitik masyarakat itu sendiri, sebab berita hoax atau proxy war juga mewarnai jagat perpolitikan di Amerika Serikat saat Pilpres antara Trump vs Clinton. Tapi, publik AS tidak terganggu dengan proxywar, namun malah menyenanginya. “Saya pikir Donald Trump berada di Gedung Putih karena saya,” kata Paul Horne (38 tahun), penulis berita bohong via Facebook kepada the Washington Post, 17 November 2016.
Hal ini terlihat setelah Pilpres AS 2016, berbagai studi dilakukan mengenai berita bohong di Medsos, hasilnya : pertama, 62% orang AS dewasa mendapat berita hoax dari media sosial. Kedua, berita bohong paling populer melalui Facebook. Ketiga, banyak orang yang melihat berita bohong itu mempercayainya. Keempat, diskusi berita bohong paling banyak cenderung menyukai Trump daripada Hillary Clinton. Kelima, dengan menggabungkan semua itu, semua komentator berpandangan tanpa pengaruh berita bohong di Facebook, Trump tidak bakal terpilih menjadi Presiden AS (Hunt Alcott dan Mathew Gentzkow, 2017).
Yang patut disesalkan adalah penyebar berita hoax yang merupakan bagian dari proxy war di Medsos seringkali kurang menyadari bahwa tindakannya tidak hanya merugikan dirinya (bisa terkena UU ITE), namun juga kepentingan bangsanya ke depan, namun disisi yang lain malah memberikan keutungan bagi pengelola Medsos seperti Facebook misalnya yang mendapatkan keuntungan periklanan dari Adsense, termasuk dari berita bohong dan ujaran kebencian. Pada kuartal II tahun 2017, Facebook meraih US 4 9,16 miliar atau sekitar Rp 189 triliun dari Advense, atau naik 47% pada kuartal I tahun lalu. Pada akhir Juli 2017, pengguna aktif Facebook setiap hari mencapai 1,32 miliar orang diseluruh dunia.
Penutup
Derasnya penetrasi media sosial ke dalam seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia dapat diibaratkan pedang bermata dua. Di satu sisi media sosial memberikan berjuta peluang yang siap dioptimalkan demi kemaslahatan bangsa. Namun di sisi lain media sosial juga dapat disalahgunakan untuk memperkeruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Digunakannya media sosial sebagai salah satu “mesin” utama untuk melancarkan perang proksi, yakni menyebarkan informasi hoax dan provokatif untuk memecah belah bangsa merupakan satu dari sekian banyak dampak negatif apabila media sosial tidak digunakan secara bijak.
Oleh karena itu, seluruh komponen bangsa khususnya pemerintah perlu melakukan langkah-langkah antisipatif demi mencegah semakin “liarnya” penggunaan media sosial. Optimalisasi unit-unit kerja pemerintah yang bergerak di bidang cyber merupakan langkah utama yang perlu diprioritaskan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan “safari” dalam rangka menyosialisasikan cara-cara bijak bermedia sosial kepada masyarakat. Langkah Presiden Jokowi yang kerap kali mengundang netizen untuk berdiskusi memecahkan persoalan bangsa merupakan contoh yang perlu diapresiasi dan patut ditiru oleh para pejabat publik dan stakeholder yang lain. Selain itu, peran aktif orang tua dalam membina anak-anaknya agar bijak menggunakan media sosial merupakan salah pilar penentu untuk mencegah digunakannya media sosial sebagai katalisator perang proksi di Indonesia.
Disamping itu, ada baiknya dalam menghadapi proxy war melalui Medsos di kemudian hari, bukan hanya Polri yang menangkap pembuat/pemesan/cukong berita bohong atau proxy war, namun pemerintah kiranya perlu memberikan “pelajaran” untuk beberapa hari “melarang” Facebook seperti yang pernah dilakukan Cina, Bangladesh, India, Iran, Inggris, Malaysia, Mesir dan Vietnam. Hal ini penting karena Medsos tidak mempunyai reporter/redaktur yang mengecek fakta dan pemimpin redaksi yang dapat dimintai pertanggungjawab etik ataupun hukum.
*) Hadiman Saputra, pemerhati masalah strategis Indonesia. Tinggal di Jakarta Timur.