Fenomena Apakah Saracen Itu ?
Terbongkar dan tertangkapnya sindikat kelompok pelaku kejahatan siber yaitu Saracen oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri patut diapresiasi, karena kelompok Saracen, sindikat penyedia jasa konten kebencian memiliki keahlian untuk mencaplok akun media sosial hingga membaca situasi pemberitaan. Kelompok Saracen ini menggunakan lebih dari 2000 akun media untuk menyebarkan konten kebencian. Adapun rilis resmi dari kepolisian menyebutkan bahwa jumlah akun yang tergabung dalam jaringan kelompok Saracen berjumlah lebih dari 800.000 akun.
Dari penelusuran terhadap akun facebook yang diduga milik salah satu tersangka, Sri Rahayu Ningsih, berbagai status yang diunggah lebih banyak berisi kritik terhadap pemerintahan Jokowi saat ini. Ketiga orang anggota kelompok Saracen yang ditangkap kepolisian yaitu dua orang laki-laki, Jasriadi (32), Muhammad Faizal Tanong (43), dan satu orang perempuan, Sri Rahayu Ningsih (32). Ketiganya ditangkap di lokasi dan waktu yang berbeda-beda, Faizal ditangkap di Koja, Jakarta Utara pada 21 Juli 2017. Jasriadi ditangkap di Pekanbaru, Riau pada 7 Agustus 2017. Sri ditangkap di Cianjur, Jawa Barat, pada 5 Agustus 2017.
Tujuan mereka menyebarkan konten tersebut semata alasan ekonomi. Media-media yang mereka miliki, baik akun Facebook maupun situs, akan mem-post berita atau konten yang tidak sesuai dengan kebenarannya, tergantung pesanan. Kelompok Saracen menetapkan tarif puluhan juta dalam proposal yang ditawarkan ke sejumlah pihak. “Infonya sekitar Rp 72 juta per paket,” ujar Kepala Bagian Mitra Divisi Humas Polri Kombes Pol Awi Setiyono di Mabes Polri, Jakarta. Biaya tersebut meliputi biaya pembuatan situs sebesar Rp 15 juta dan membayar sekitar 15 buzzer sebesar Rp 45 juta per bulan. Ada pula anggaran tersendiri untuk Jasriadi selaku ketua sebesar Rp 10 juta. Selebihnya, biaya untuk membayar orang-orang yang disebut wartawan. Para wartawan itu nantinya menulis artikel pesanan yang isinya juga diarahkan pemesan.
Douglas Kellner (2002) mengatakan, internet merupakan teknologi yang secara potensial sangat demokratis. Melalui jaringan internet, siapapun yang memiliki akses terhadap teknologi ini dapat terlibat dalam buletin-buletin komunitas, website, situs-situs konferensi, ruang obrolan, yang memungkinan berlangsungnya komunikasi secara interaktif. Kelompok Saracen merusak pendapat Douglas Kellner ini, karena menyalahgunakan keberadaan internet dengan melakukan “dirty economic-politic practices”.
Pertanyaannya adalah fenomena apakah Saracen itu? Mampukah kita mencegah ancaman non militer seperti ini dikemudian hari? Rentankah Indonesia terhadap kejahatan siber baik yang dilakukan sindikat dalam negeri ataupun kelompok lainnya seperti sindikan cyber transnational crimes ataupun cyber terror attacks?
Penyebaran hoax umumnya mempunyai 3 pola yaitu pertama, informasi yang disebarkan memanfaatkan kekisruhan opini publik hingga mudah mendapatkan perhatian masyarakat. Kedua, hoax umumnya memakai referensi pada orang yang dikenal publik kendati kerapkali informasi itu dipelintir, dipotong dan difabrikasi. Ketiga, penyebar hoax bergerak dalam sindikasi dengan menyebarluaskan informasi melalui berbagai media sosial.
Ketiga pola ini kemungkinan besar dilakukan oleh sindikat Saracen. Selain itu, dapat diestimasikan Saracen terinspirasi pendapat Goebbels. Jozef Goebbels, Menteri Propaganda pada masa Adolf Hitler pernah berkata “kebohongan yang diulang berkali-kali akan menjadi kebenaran dan dipercaya masyarakat”.
Fenomena kompleks
Masalah Saracen juga mendapatkan respons berbagai kalangan, termasuk Presiden Joko Widodo. Presiden Joko Widodo menilai, kelompok Saracen yang menyebarkan hoaks di dunia maya sangat mengerikan dan harus segera diungkap sampai ke akar-akarnya oleh pihak kepolisian. Jokowi mengatakan, semua negara saat ini mengalami beredarnya informasi palsu atau hoaks karena era keterbukaan di media sosial. Untuk itu, pihak kepolisian harus siap mengatasi masalah hoaks ini. Presiden Jokowi juga mengingatkan, masyarakat untuk selalu menggunakan media sosial untuk hal positif, menyampaikan optimisme, menyampaikan kabar baik, sekaligus menjaga kesantunan dan kesopanan.
Sementara itu, Komisioner Kompolnas Bekto Suprapto menyebut penangkapan polisi terhadap grup Saracen menjadi jawaban atas beredarnya berita hoax (palsu) terkait dengan ujaran kebencian dan SARA selama ini. Dia berharap polisi dapat segera mengusut tuntas aktor di balik grup Saracen. Menurutnya, grup Saracen menjadi bukti banyaknya pihak yang memanfaatkan ruang media sosial untuk menyebarkan ujaran kebencian terkait SARA. Kemajuan teknologi dapat dilihat dari sisi negatif dan positif.
Sedangkan, Ketua Setara Institute Hendardi menilai sindikat penyedia jasa konten kebencian yang di antaranya menerbitkan Saracen News didesain oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan. Meningkatnya turbulensi kebencian atas sesama dalam dinamika sosial politik setahun terakhir ini adalah by design. Bagi Hendardi, ‘Pekerjaan’ kelompok Saracen merupakan kejahatan serius karena implikasi yang ditimbulkan dari konten kebencian adalah ketegangan sosial, konflik, diskriminasi, xenophobia dan kekerasan. Bahkan pertemuan kelompok ini dengan para avonturir politik yang berkeliaran di republik ini, jika dibiarkan, menurut dia, bisa mengarah pada genosida.
Hendardi menyebut hal utama lain yang harus dilakukan untuk memulihkan ruang publik adalah dengan menghadirkan teladan elit, membangun kebijakan yang kondusif bagi promosi toleransi dan keberagaman, serta penegakan hukum yang adil.
Menurut penulis, fenomena kelompok Saracen ini adalah fenomena yang kompleks dan berdampak sangat luas, dan jelas menggambarkan bagaimana Indonesia masih memiliki kerentanan yang besar terhadap terjadinya kejahatan siber, padahal jika kerentanan ini gagal diatasi maka masa depan Indonesia akan terganggu, sebab perekonomian ke depan akan ditopang oleh yang disebut “viral market” melalui e-commerce yang jelas-jelas membutuhkan ketangguhan negara dibidang keamanan siber.
Edwin Jurriëns dan Ross Tapsell dalam esai pengantar buku Digital Indonesia menulis: “Salah satu tantangan terbesar Indonesia adalah memastikan bahwa internet tidak membawa pada masyarakat yang semakin terbelah dan tidak-setara, sebab para pengguna di kawasan urban, dengan akses lebih baik ke internet berkecepatan tinggi, lebih cepat beradaptasi dengan dunia digital daripada sesama warga negara mereka di kawasan pinggiran” (2017: 2). Tindakan Saracen menunjukkan pendapat Edwin Jurriëns dan Ross Tapsell telah menjadi kenyataan yaitu berhasil membelah masyarakat, sehingga pantas jika Presiden Jokowi menyebut kelompok ini “mengerikan”.
Fenomena lain dari Saracen adalah eksisnya kelompok ini (sebelum terbongkar) disebabkan ada kultur kemalasan dari masyarakat Indonesia untuk melakukan “check, recheck and crosscheck” atau tabayun ketika mendapatkan informasi. Padahal mendeteksi berita hoaks dapat dilakukan dengan cara : pertama, cari referensi berita serupa dari situs online resmi. Berita hoax sering menggunakan judul sensasional yang provokatif dan langsung menyerang pihak tertentu. Hati-hati jika ada tambahan kata-kata seperti “lawan”, “sebarkan” atau “viralkan”.
Kedua, manfaatkan grup diskusi anti hoax untuk membahas berita bohong misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes dan Grup Sekoci (pencegahan).
Ketiga, manfaatkan fitur laporan berita hoax yang disediakan oleh media sosial misalnya fitur report status di facebook, fitur feedback di google, fitur report tweet di Twitter. Konten berita negatif bisa dilaporkan ke [email protected] atau laman data.turnbackhoax.id yang disediakan Masyarakat Indonesia Anti Hoax. Keempat, gunakan media lain untuk mengecek konten berita. Amnesty International merekomendasikan agar pengguna Youtube juga mengecek konten melalui YoutubeDataViewer. Begitu juga untuk foto, bisa dicek melalui FotoForensics yang akan menganalisis keaslian foto melalui “error level analysis (ELA). Ada juga WolframAlpha yang bisa membantu mengecek kondisi waktu dan tempat secara akurat.
Dampak dan Antisipasi
Banyak pihak masih menyakini ada kelompok lain selain Saracen yang gemar melontarkan hate-speech, mempolitisir isu SARA ataupun merusak toleransi di Indonesia, sehingga maraknya kelompok “gerakan pengacau keamanan siber” ini perlu segera diusut tuntas, diberantas habis dan dikenakan sanksi hukuman seberat-beratnya, sebab dampak pertama keberadaan Saracen adalah merusak persatuan atau dalam bahasa latinnya Concordia parvae res crescunt discordia maximae dilabuntur (persatuan memperkuat yang kecil, pertikaian mencerai-beraikan yang besar).
Tidak hanya itu saja, kelompok Saracen dapat menciptakan instabilitas politik. Mengacu kepada hasil riset Alenia dan Perotti (1996) menyatakan, instabilitas sosial politik akan meningkatkan ketimpangan pendapatan dan menurunkan investasi. Oleh karena itu, wajar juga jika tuntutan hukum nantinya kepada kelompok Saracen dapat dikaitkan dengan melakukan sabotase ekonomi.
Dampak lainnya adalah berita bohong atau hoax mendominasi konten negatif yang diadukan ke Kementerian Komukasi dan Informatika, dimana selama Januari s.d April 2017, terdapat 5.864 aduan. Penanganan peredaran hoax perlu dilakukan secara serius karena dapat mengganggu kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Bagaimana langkah antisipasinya? Pertama, Pemerintah perlu memaksa penyedia aplikasi media sosial dan perpesanan untuk mengikuti regulasi di Indonesia. Langkah pemerintah yang pernah memblokir Telegram dari Rusia yang menyediakan lebih dari 3.500 channel yang berkaitan dengan IS adalah langkah yang tepat. Kedua, Pemerintah perlu segera membentuk institusi atau badan yang secara khusus menangani berita bohong atau hoax yang tersebar secara masif di Medsos.
*) Toni Ervianto, Penulis adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI). Pemerhati masalah strategis Indonesia, terutama ancaman siber (cyber threats).