Perayaan HUT Kemerdekaan RI sebagai Kontra Narasi Radikalisme

Perayaan HUT Kemerdekaan RI sebagai Kontra Narasi Radikalisme

Perayaan HUT Kemerdekaan ke-72 Republik Indonesia berlangsung dengan meriah. Upacara Kenegaraan di Istana berlangsung dengan suasana baru penuh kegembiraan dan nuansa budaya nusantara. Selain nuansa budaya yang meriah, peristiwa menggembirakan lainnya juga terjadi, Presiden, Wakil Presiden, mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden hadir dan berkumpul di Istana dalam suasana yang akrab. Pertemuan ini menjadi simbol kedamaian dan kedewasaan politik di Indonesia.

Di Istana negara, tampak dengan jelas para undangan yang menggunakan pakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia seperti Papua, Kalimatan, Sumatera, Sulawesi, Jawa dan daerah lainnya. Sekat-sekat perbedaan terlebur menjadi satu kegembiraan. Aneka corak pakaian dan atribut adat dan gaya khas masing-masing, dengan bebas ditampilkan untuk menunjukkan keragaman budaya Indonesia.

Dominasi identitas budaya dari segala penjuru tanah air ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang beragam budayanya namun dalam satu kesatuan, Bhineka Tunggal Ika. Keragaman budaya tidak menjadi suatu permasalahan bagi Indonesia, namun justru menjadi identitas yang terjalin kokoh sebagai kekuatan negara.

Secara simbolis, kemeriahan hari ulang tahun kemerdekaan RI tahun ini juga menunjukkan bahwa negara tidak memberi ruang bagi kelompok intoleran dan sektarian yang biasanya menjadi pelaku aksi radikal. Merayakan ulang tahun kemerdekaan yang diikuti seluruh masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, dan ras, adalah mustahil jika masih memiliki sikap dan nilai yang intoleran, dan sektarian.

Kelompok intoleran yang tidak mau menerima kelompok lain yang berbeda dan kelompok sektarian yang mempunyai kebencian dan melakukan diskrimasi atas perbedaaan, tidak akan nyaman dan damai berada dalam kemeriahan keragaman budaya di Indonesia. Kepentingan kelompok intoleran dan sektarian, yang ingin membawa paham dan kepentingannya dominan dan menjadi warna tunggal di Indonesia pupus ketika melihat kekuatan budaya Indonesia yang beraneka ragam namun kokoh diikat sang dwi warna.

Salah satu peristiwa yang bisa memperkuat bahwa kelompok intoleran dan sektarian, merupakan ancaman bagi eksistensi negara adalah peristiwa pembakaran umbul-umbul merah putih di Bogor. MS, seorang guru di Pondok Pesantren Ibnu Masúd di Tamansari Bogor membakar umbul-umbul merah putih yang dipasang oleh masyarakat.  Motif MS membakar umbul-umbul merah putih adalah kebencian terhadap NKRI, sehingga pembakaran umbul-umbul dilakukan sebagai pelampiasan kebencian terhadap negara. Aksi radikal ini membuat marah warga sekitar yang mendatangi pondok pesantren tersebut. Warga menuntut pondok pesantresn tersebut ditutup karena dianggap sudah cukup meresahkan.

Perilaku kelompok intoleran dan sektarian sudah cukup meresahkan. Jika tidak dicegah maka negara ini bisa menuju perpecahan. Langkah pemerintah yang mengangkat nilai budaya sebagai identitas negara sangatlah tepat. Pancasila sebagai ideologi, dan bhineka tunggal ika sebagai suatu filosofi negara yang sudah final, harus tetap dipertahankan dan tidak boleh goyah karena ada kelompok yang mencoba melemahkannya, meskipun kelompok tersebut mengatasnamakan agama.

Tantangan bagi Indonesia ke depan sangat berat. Situasi regional terutama di Filipina dan situasi Global terutama di Timur Tengah, jika tidak dideteksi dan dicegah sejak dini akan berdampak bagi Indonesia. Bibit kelompok intoleran, radikal dan sektarian sudah disemai di Indonesia. Bahkan beberapa sudah mulai panen dengan melakukan aksi-aksi kekerasan dan teror di berbagai tempat di Indonesia.

Pilihan pemerintah untuk menggunakan identitas budaya asli Indonesia pada saat perayaan ulang tahun kemerdekaan harus diapresiasi sebagai salah satu langkah kontra narasi radikalisme.  Kontra narasi  yang dilakukan untuk melawan paham radikal harus dilakukan pada segala lapisan masyarakat. Penguatan budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai positif di Indonesia seperti gotong royong, saling menghormati, tenggang rasa, dan nilai lainnya diharapkan dapat menjadi benteng bagi tumbuhnya paham radikal.

Semangat persatuan dan kesatuan yang menjadi modal dalam meraih dan mengisi kemerdekaan harus tetap dipertahankan. Jangan sampai kepentingan kelompok terutama yang mengadopsi paham dan aliran dari luar, merusak nilai-nilai keragaman yang menjadi kekukatan Indonesia. Pemerintah Indonesia di era Presiden Joko Widodo sudah membuat langkah tepat dengan menonjolkan unsur budaya sebagai simbol utama perayaan ulang tahun kemerdekaan. Dengan kekuatan budaya maka ruang bagi kelompok intoleran dan sektarian menjadi tertutup. Kontra narasi radikalisme dengan menguatkan nilai budaya sangat tepat dan wajib didukung untuk terus dilakukan di Indonesia.

*) Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent