Wawasan Nusantara Sebagai Doktrin Nasional Untuk Menjaga Eksistensi NKRI
Dewasa ini dunia dihadapkan pada empat isu krusial, yakni krisis kemanusiaan, perlambatan ekonomi, ketegangan kawasan, dan meningkatnya ancaman kejahatan transnasional.Menurut PBB lebih dari 20 juta orang terancam kelaparan dan kekurangan pangan yang ekstrem di Yaman, Somalia, Sudan Selatan, dan Nigeria. Sedangkan UNICEF memperkirakan sebanyak 1,4 juta anak-anak berpotensi mengalami kekerasan dan terancam bahaya kelaparan tahun 2017 ini.Gelombang pengungsian terbesar sepanjang sejarah setelah Perang Dunia II terjadi dimana jutaan warga Afrika dan Timur Tengah eksodus ke berbagai negara, terutama Eropa akibat kemiskinan, konflik internal maupun peperangan.
Persoalan lainnya adalah tren perlambatan ekonomi dunia dimana pertumbuhan ekonomi tahun 2016 anjlok hingga 3,1%. Bayangan krisis ekonomi menghantui dunia ketika Eropa dilanda krisis keuangan, Yunani gagal bayar, disusul Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit). Di Asia, RRC memangkas pertumbuhan ekonomi menjadi 6,5 %dari perkiraan 6,7 % pada 2017 atau terendah dalam 25 tahun terakhir.Sedangkan AS dibawah Donald Trump menjadi sangat proteksionis kebijakan ekonominya.Bank Sentral AS atau The Federal Reservetelah dua kali menaikkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR) dalam 10 tahun terakhir.Sebelumnya suku bunga AS telah naik 0,25% pada Desember 2016, dan saat ini di kisaran 0,5-0,75 %. Kenaikan ini akan berpengaruh pada stabilitas sistem keuangan dan kinerja makro ekonomi negara dengan ketergantungan tinggi ekonominya.
Ketegangan kawasan juga menjadi persoalan terkini dunia.Konflik Timur Tengah tidak hanya menghasilkan tragedi kemanusiaan, tetapi juga disertai dengan ancaman bak era Perang Dingin antara Barat dan Timur dalam isu melawan terorisme ISIS di Irak dan Suriah.Rusia dan Iran menjadi sekutu dekat rezim Bashar Al As’ad yang tidak disukai oleh AS dan NATO. Sementara itu, Asia Pasifik juga dilanda ketegangan akibat isu nuklir Korea Utara dan RRC yang secara unilateral melakukan klaim wilayah Laut China Selatan disertai dengan unjuk kekuatan militer di wilayah sengketa. Potensi konflik Laut China Selatan akan berdampak langsung pada kepentingan nasional Indonesia mengingat klaim RRC atas wilayah yang mereka sebut sebagai traditional fishing zone yang beririsan dengan wilayah kedaulatan Indonesia di perairan kepulauan Natuna. Jika konflik ini meningkat dalam perlombaan senjata, maka akan potensial menimbulkan peperangan skala global mengingat banyak negara yang menaruh kepentingan terhadap sumber daya alam dan alur laut di Laut China Selatan, seperti AS, India, Jepang, Vietnam, Philipina, dan termasuk Indonesia.
Kejahatan transnasional telah berkembang lebih modern, kompleks dan skala yang besar, baik untuk motif ideologi seperti teroris maupun motif ekonomi.Laporan Global Financial Integrity (GFI), Maret 2017, menyebut 11 kategori untuk pasar gelap bagi kejahatan transnasional, yakni perdagangan senjata, manusia, organ manusia, benda budaya, pemalsuan, hewan langka, pencurian ikan, pencurian kayu, pencurian hasil pertambangan, dengan nilai ekonomi USD 1,6 – 2,2 Triliun/tahun.Berbagai persoalan terkini dunia tentu akan berpengaruh terhadap banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Perkembangan tata dunia global senantiasa menghadirkan dua sisi, yakni peluang untuk mencapai kemajuan dan ancaman yang jika tidak diantisipasi dapat menjadi bumerang bagi kepentingan nasional.
Tren perubahan dunia harus dicermati secara kritis guna positioning yang tepat mengembangkan potensi domestik maupun mengambil peranan dalam tata dunia global.Indonesia merupakan negara besar dengan berbagai potensi pendukung seperti luas wilayah, posisi geografis, sumberdaya manusia dan sumber daya alam yang tentu harus dikelola dengan baik.Selain itu, sebagai negara besar Indonesia memiliki kondisi domestik yang sangat dinamis, baik secara sosiologis maupun politis.Hal ini tentu tantangan tersendiri yang harus diatasi sehingga tetap kondusif dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara.Dalam konteks itulah konsep tentang Wawasan Nusantara menjadi sangat relevan sebagai doktrin dasar nasional yang ditransformasikan dalam rancang bangun berbagai kebijakan nasional lintas sektor dalam pembangunan nasional.
Konsep dan Fungsi Wawasan Nusantara
Secara geografis Indonesia merupakan negara dengan banyak pulau yang dikelilingi lautan yang menjadi jalur lalulintas dunia, serta diapit dua benua besar, Australia dan Asia. Secara historis, sebelum Indonesia merdeka telah ada kerajaan-kerajaan Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit yang memiliki kemampuan untuk melakukan perjalanan antar benua dan menjalin hubungan dagang baik dengan pulau-pulau di Nusantara maupun wilayah lain. Pengetahuan terhadap kondisi objektif dan sejarah ikut mendorong suatu kesadaran tentang konsepsi politik negara kepulauan (archipelago state) setelah Indonesia merdeka, dimana melekat hak-hak negara kepulauan yang tentu saja berbeda dengan negara kontinen.
Pada 13 Desember 1957 keluar Deklarasi Djuanda yang menegaskan bahwa pulau-pulau dan laut di wilayah Indonesia merupakan kesatuan wilayah wilayah yang utuh dan berdaulat.Penentuan batas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau di wilayah Indonesia.Deklarasi itu disusul denganUU No 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia menggantikan Territoriale Zee En Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939.Dengan UU itu luas Indonesia bertambah dari 2 juta Km²menjadi 5 juta Km²dimana 65% merupakan perairan/lautan. Selain itu, Indonesia juga berhak atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil yang diukur dari pangkal laut dan Landas Kontinen Indonesia sesuai dengan asas Negara Kepulauan yang diakui UNCLOS 1982 (United Nation Convention on the Law af the Sea) yang diratifikasi melalui UU No 17 Tahun 1985 (tanggal 31 Desember 1985).
Konsepsi kewilayahan tentang Indonesia ini berkembang tidak hanya untuk menegaskan klaim kedaulatan teritorial semata, tetapi juga tentang aspek-aspek di dalam suatu teritori yang perlu disinergikan guna mencapai tujuan nasional. Gagasan ini mengawali konsep tentang Wawasan Nusantara sebagai suatu Wawasan Nasional (National Outlook) yang melihat bangsa dan wilayah sebagai kesatuan yang harus terselenggara secara dinamis untuk mencapai tujuan nasional yang telah ditetapkan ditengah relasi antar bangsa dan negara di dunia. Konsep Wawasan Nusantara ini kemudian ditransformasikan dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN dalam Bab II Huruf E, dilanjutkan hingga Tap MPR Tahun 1993 dan 1998 tentang GBHN sebagai suatu cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungan dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
Melalui GBHN, Wawasan Nusantara menjadi semacam dasar bagi cetak biru pembangunan nasional. Selain itu, Wawasan Nusantara menjadi bagian dari hierarki hukum dan peraturan di Indonesia sehingga memiliki konsekuensi mengikat dan bersifat operasional dalam berbagai kebijakan pembangunan, baik yang menyangkut tatakelola segala potensi nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhankam) yang terintegrasi dengan aspek kewilayahannya sehingga mendukung penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara dalam mencapai tujuan nasional. Dengan demikian, Wawasan Nusantara tidak hanya perspektif yang bersifat inward looking terhadap semua potensi kekuatan dalam negeri, tetapi juga outward looking dimana potensi itu disinergikan dan mendukung politik kewilayahan atau geopolitik Indonesia baik di kawasan maupun global. Karena itu, Wawasan Nusantara merupakan doktrin nasional yang tidak hidup dalam gelas kosong, tapi senantiasa akan dihadapkan pada berbagai kondisi yang dinamis, baik akibat interaksi antara elemen dalam negeri, maupun pengaruh dari perkembangan dunia.
Implementasi dan Tantangannya
Persoalan utama yang harus dijawab terkait dengan Wawasan Nusantara adalah bagaimana kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945 menghilangkan tugas MPR untuk menetapkan GBHN?. Wawasan Nusantara yang sebelumnya merupakan suatu norma hukum yang mengikat telah bergeser menjadi konsep dalam diskursus intelektual. Hal ini tentu memiliki dimensi yang berbeda dalam penerapannya. Sebagai norma hukum maka mengikat dan bersifat executable bagi setiap elemen negara. Ketika kedudukannya teredusir menjadi sekedar intellectual discourse maka sulit untuk secara efektif menuntut pelaksanaanya.Situasi ini telah mendorong munculnya gagasan tentang perlunya suatu UU tersendiri tentang Wawasan Nusantara.
Usulan DPD RI yang kini telah berada di tangan Pansus DPR tentang RUU Wawasan Nusantara jika nantinya ditetapkan akan dimaksudkan untuk menjadi payung hukum bagi tatakelola seluruh kebijakan, pengorganisasian dan perundangan yang dimaksudkan untuk menjaga keutuhan NKRI yang bersifat dinamis dan berkelanjutan. Kekosongan hukum ini telah menjadi hambatan faktual dalam mengimplementasikan Wawasan Nusantara sebagai doktrin dasar nasional untuk mengelola kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang dinamis dalam situasi global yang semakin kompetitif. Karena itulah, pekerjaan rumah tentang perlunya payung hukum bagi implementasi konsep Wawasan Nusantara menjadi conditio sin quanondan perlu prioritas.
Selain persoalan payung hukum, konsep Wawasan Nusantara juga dihadapkan pada dinamika domestik yang patut untuk dicermati.Ketimpangan ekonomi dan distribusi kesejahteraan merupakan tantangan nyata yang harus diselesaikan. Data menunjukan bahwa ketimpangan distribusi kesejahteraan secara nasional justru meningkat sejak reformasi dan kini mencapai indeks gini 0,40, suatu ambang yang mengkhawatirkan dimana kesenjangan antara si kaya dan si miskin melebar. Segregasi sosial berbasis sentimen suku dan agama juga mulai muncul kepermukaan. Aspek sosiologis yang selama ini bersifat laten telah muncul kepermukaan akibat persaingan politik disertai komodifikasi SARA.Kebhinekaan sebagai fakta sosiologis justru secara gegabah dieksploitasi kepermukaan dan melalaikan semangat untuk saling menghargai dan menghormati sebagai basis dari munculnya solidaritas sosial dan persatuan nasional.Begitupula dengan efektifitas sistem pemerintahan nasional dan kebijakan pembangunan nasional yang harus berhadapan dengan polarisasi politik dan semangat berlebihan dari pelaksanaan desentralisasi pemerintahan.
Beragam masalah domestik ini akan bersinggungan dengan perkembangan dunia yang menunjukan potensi ancaman bagi kepentingan nasional. Dengan Wawasan Nusantara kita dapat mengenali bagaimana negara sebagai organisasi yang dinamis akan membutuhkan ruang hidup (lebensraum) sesuai dengan perkembangannya. Indonesia yang sedang berkembang harus memastikan ruang hidupnya tidak terancam karena perkembangan ruang hidupnegara lain. Kebutuhan ruang hidup ini akan menjadi ancaman nyata dan menimbulkan ekspansi baik damai maupun peperangan ketika suatu negara yang berkembang pesat tidak mampu memenuhinya. Fakta menunjukan bahwa negara-negara kawasan Asia seperti Malaysia, Vietnam, dan RRC mengalami kemajuan pesat baik pertumbuhan penduduk maupun ekonomi yang tentunya berbanding lurus dengan kebutuhan ruang hidup.
Tantangan dalam negeri dan global ini harus menjadi konsideran utama bagi upaya meletakan kembali konsepsi Wawasan Nusantara sebagai doktrin nasional yang memiliki landasan hukum kuat guna memastikan eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI. Tidak ada pilihan lain bagi seluruh elemen bangsa dan negara selain bersatu dan membangun sinergi jika memang berkomitmen terhadap kelangsungan NKRI. Tanpa persatuan itu, niscaya Indonesia akan digilas oleh kekuatan-kekuatan global yang saat ini sedang berada dalam interaksi penuh ketegangan dan sewaktu-waktu dapat tereskalasi dalam level yang membahayakan kepentingan nasional Indonesia secara faktual.
*) Wildan Nasution, Peneliti senior di Strategic Assessment, Jakarta