Koordinasi Lintas Sektoral Pemimpin Nasional Berkarakter Negarawan dalam Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Pada awal pemerintahan Jokowi, memang kita menyaksikan situasi yang menunjukan bahwa pemerintahan belum berjalan efektif.Hal itu terlihat dari seringnya terjadi pro kontra yang justru muncul di kalangan kabinet, elit pemerintahan maupun partai politik pendukung pemerintahan dalam merespon persoalan-persoalan strategis yang menjadi tanggungjawab pemerintah dan mendapat perhatian besar dari publik. Sebagai contoh polemik yang justru melibatkan Kementerian KKP, Kementerian LH dan Kehutanan, Kementerian Maritim, Kementerian Polhukam dan Pemerintahan DKI Jakarta mengenai pro kontra reklamasi Jakarta. Para pejabat pemerintahan yang seharusnya dapat berkoordinasi dengan baik justru terlibat polemik di muka publik dan menunjukan lemahnya kapasitas kepemimpinan dalam birokrasi pemerintahan. Meski polemik pada level kabinet kini telah mereda dan mulai terlihat sinergi dalam melaksanakan kebijakan pemerintahan, namun harus diakui masih ada tantangan dalam mewujudkan suatu koordinasi yang efektif dalam pemerintahan sehingga kondusif bagi pelaksanaan berbagai kebijakan pembangunan nasional.
Sementara itu, berbanding terbalik dengan mulai tertatanya hubungan dalam pemerintahan, persoalan justru muncul di lembaga negara yang lain dan pesta demokrasi dalam Pilkada serentak. Persoalan itu tentu merupakan tantangan yang makin berat dan memerlukan upaya untuk mengatasinya sehingga tidak menjadi ancaman bagi eksistensi negara bangsa.Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2017 seharusnya menjadi momentum masyarakat memilih pemimpin daerah yang berkualitas untuk mengemban amanat membangun daerah. Sayangnya, persaingan politik sebagaimana dalam Pilkada di DKI Jakarta 2017 telah memicu eskalasi sosial akibat komodifikasi faktor-faktor sosiologis yang selama ini kita yakini tidak akan goyah karena rasa kebangsaan telah tertanam kuat.
Para elit politik telah mengeksploitasi keragaman sosiologis sebagai faktor laten untuk menjustifikasi kepentingan politik tertentu guna memenangkan persaingan kekuasaan. Perilaku elit politik yang seharusnya mencerminkan nilai-nilai kesantunan dan keteladanan dalam masyarakat justru tidak nampak dan ikut memperkeruh suasana di level akar rumput dalam persaingan politik yang kian memanas.Masyarakat diseret dalam segregasi sosial oleh elit yang mengingkari hakekat kebangsaan yang diwariskan oleh para pendiri Republik.
Persoalan Pilkada adalah sekelumit kecil dari masalah kebangsaan. Contoh faktual lain yakni kisruh yang melibatkan lembaga negara yang sangat terhormat, yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Para wakil daerah yang terhormat itu larut dalam pertikaian internal memperebutkan kursi kepemimpinan DPD RI.Masing-masing kubu yang bertikai bersikukuh pada justifikasi yuridis yang membenarkan setiap tindakannya dan hingga kini belum menemukan suatu penyelesaian yang menunjukan taraf kematangan dalam berpolitik yang seharusnya.Ironinya, dalam kekisruhan itu diwarnai pula dengan aksi gontok-gontokan kekerasan tanpa etika dan makin meredusir martabat yang melekat pada lembaga terhormat itu.
Begitupula dengan perkara hukum yang potensial menjerat sejumlah tokoh-tokoh politik penting sebagaimana kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan e-KTP yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.Sejumlah elit politik penting di Republik ini telah disebut-sebut dalam sidang perkara tindak pidana korupsi e-KTP. Kasus yang kini bergulir di pengadilan itu tak urung akhirnya disertai dengan pencekalan larangan keluar negeri sejumlah nama, termasuk Setya Novanto, Ketua DPR RI. Jika nama-nama tokoh yang diduga terkait dalam kasus korupsi e-KTP sebagaimana disebut dalam pengadilan itu benar dan dapat dibuktikan keterlibatannya, maka tak ayal lagi akan ada puluhan elit politik di DPR yang masih aktif maupun yang kini telah menjadi Kepala Daerah, dan mantan pejabat publik era pemerintahan sebelumnya, akan menyusul diseret ke Meja Hijau guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sementara itu, di sektor informal di luar lembaga negara juga kita saksikan bagaimana para tokoh masyarakat larut dalam ketegangan wacana merespon isu-isu yang kerap membingungkan dan membuat masyarakat terombang-ambing.Para tokoh masyarakat seperti kehilangan kemampuan dalam memberikan rujukan sosial maupun moral bagi masyarakat yang diterpa paparan informasi yang demikian masif dan seringkali berpotensi menganggu keharmonisan dalam relasi sosial yang selama ini terbina dengan baik.Lihat saja bagaimana masifnya hoax dan berbagai info yang sarat pro kontra dan mewarnai persaingan politik.Dalam situasi ini peranan sosial dari para pemimpin informal dalam masyarakat seharusnya mampu menjernihkan suasana dan menjadi rujukan.
Defisit Negarawan
Berbagai masalah kebangsaan itu mengantarkan pada kegelisahan mengenai moralitas dan watak dari para elit politik yang memimpin negeri ini.Persoalan justru seringkali muncul dari elit yang kemudian ditransformasikan di tengah-tengah publik dengan kepentingan memperkuat dukungan guna meraih kepentingan tertentu.Publik menjadi komoditas yang diperebutkan untuk melegitimasi setiap tindakan yang seringkali justru merugikan dan tidak mencerminkan kepentingan publik itu sendiri.Watak dan sikap negarawan yang seharusnya dicerminkan oleh para elit yang memimpin negeri ini, baik dalam lembaga formal maupun informal justru tidak nampak, tenggelam dalam pertikaian kepentingan, ego sektoral, perburuan kekayaan dan hasrat kekuasaan.Karena itulah, wajar jika banyak pendapat yang menyimpulkan bahwa negeri ini mengalami luberan jumlah pemimpin namun miskin yang memiliki karakter sebagai negarawan.
Banyak elit yang memimpin memiliki kecakapan dan keterampilan untuk melaksanakan tugasnya, namun apakah itu menjamin karakter kenegarawanannya?.Hal ini tentu menjadi tantangan untuk mendorong agar yang muncul tidak hanya pemimpin, baik formal maupun informal yang cakap saja, tetapi juga memiliki karakter negarawan. Proses rekrutmen politik baik pada suprastruktur maupun infrastruktur politik negara dalam sistem politik yang sarat dengan praktek transaksional sulit untuk diharapkan dapat melahirkan para pemimpin sekaligus negarawan. Proses politik yang demikian berkorelasi terhadap karakter pemimpin yang cenderung transaksional, penuh dengan vested interest dan kurang responsif terhadap persoalan-persoalan publik. Hakikat politik sebagai sarana mewujudkan kebahagiaan hidup bersama sebagaimana Aristoteles tegaskan menjadi tidak tercapai ketika mereka menduduki jabatan maupun kekuasaan.Kepentingan utama yang muncul adalah dorongan untuk mengkonversi kekuasaanya menjadi akses untuk memenuhi kepentingan domestiknya belaka, baik sebagai individu maupun kelompok.
Krisis karakter negarawan dari para pemimpin di Indonesia tentu akan berdampak pada terabaikannya kepentingan negara yang seharusnya diutamakan. Konstitusi telah menyatakan secara jelas bahwa tujuan dari pada dibentuknya negara adalah untuk melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan turut serta dalam mewujudkan perdamaian dunia.Pencapaian tujuan daripada negara ini terselenggara melalui pembangunan nasional yang digerakan oleh segenap elemen bangsa dibawah kepemimpinan politik yang tentu tidak hanya efektif, kredibel dan kompeten, tetapi juga memiliki karakter sebagai negarawan.
Menurut Aristoteles, politisi adalah seorang negarawan yang jelas berbeda dengan pemimpin biasa. Negarawan bagi Aristoteles identik dengan filsuf yang mengejar pewujudan public virtue atau kebajikan umum sebagai tujuan utama kekuasaan.Tugas politisi sekaligus negarawan adalah membuat, menjalankan dan memelihara sistem hukum mengacu pada prinsip-prinsip kebajikan umum agar masyarakatnya mencapai kebahagiaan.Dengan demikian, para pemimpin seharusnya juga adalah politisi negarawan sebagaimana dimaksud oleh Aristoteles yang tidak lagi mengejar kepentingan pribadi, melainkan kepentingan umum.
Sementara itu, Plato juga menyatakan bahwa negarawan tidak identik dengan semacam keterampilan khusus, seperti yang dimiliki tukang sepatu, dokter, atau ahli bangunan.Negarawan adalah orang yang dianggap mampu memimpin pemerintahan dengan bijaksana.Kebijaksanaan muncul sebagai perpaduan antara kemampuan intelektual yang dihasilkan dari pengajaran dan keutamaan moral yang berasal dari kebiasaan.Seseorang menjadi adil dengan menjalankan kebiasaan yang adil.Negarawan juga tidak korup, membiasakan diri hidup bersih, tidak menipu, tidak menyeleweng, dan tidak mendustai rakyat yang dipimpinnyakarena paham bahwa itu salah dan bertentangan dengan kebajikan.
Muncul dan Mengambil Peranan
Manusia negarawan seperti yang diungkap Aristoteles maupun Plato tentu menjadi langka dalam dunia politik modern. Namun demikian, sifat-sifat kebijaksanaan dan kegandrungan akan kebajikan umum tentu saja merupakan nilai universal yang masih ada meski terpendam di antara hiruk pikuk persaingan kekuasaan politik yang telah mengasingkan para negarawan. Kita tidak harus mencari orang-orang yang sama persis seperti yang didambakan oleh Aristoteles maupun Plato, namun setidaknya memiliki sifat-sifat universal yang memegang teguh etika dan moralitas luhur yang diyakini oleh publik, mampu untuk mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingannya sendiri, serta bisa menjalankan amanat yang diberikan kepadanya dengan baik dan penuh tanggungjawab. Orang-orang yang demikian adalah pemimpin sesungguhnya yang harus didorong untuk muncul dan mengambil peranan politik lebih besar di tengah-tengah masyarakat.
Para pemimpin dengan karakter negarawan tentu masih ada meski menjadi minoritas diam yang terhimpit dalam suasana krisis kebangsaan. Sikap diam ini tidak boleh terlalu lama karena justru akan menyeret bangsa ini pada masalah yang lebih kompleks dan menghambat upaya untuk mewujudkan kepentingan masyarakat yang diselenggarakan melalui pembangunan nasional. Para pemimpin dengan karakter negarawan yang tersebar diberbagai sektor pengabdian, baik formal maupun informal memiliki tanggungjawab kebangsaan yang besar dipundaknya untuk kembali mengarahkan perjalanan bangsa dan negara pada garis cita-cita yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa.
Para pemimpin dengan karakter negarawan dalam lembaga-lembaga pemerintahan hendaknya dapat membangun sinergi yang erat menjaga dan menjalankan tanggungjawab pemerintahan sesuai dengan Konstitusi dan ditujukan untuk melayani kepentingan publik.Segala pertikaian kepentingan harus dikesampingkan demi mewujudkan situasi yang harmonis dan stabil sebagai modal dasar bagi pembangunan nasional.Mentalitas korup, mementingkan diri dan kelompoknya serta berbagai vested interest harus disingkirkan dengan mengembangkan nilai-nilai kebijaksanaan dan kebajikan.Para pemimpin dalam pemerintahan dan lembaga-lembaga negara tidak boleh lagi terjebak dalam ego sektoralnya dan mengejar kepentingan eksitensialnya saja.Mereka harus menjadikan kekuasaan politik sebagai jalan menuju kebajikan umum bagi segenap rakyatnya.
Begitupula dengan para pemimpin di sektor informal, baik partai politik, lembaga masyarakat, dan berbagai kelompok sosialnya tidak bisa tinggal diam menyaksikan masyarakat terombang-ambing dalam fragmentasi sosial politik.Para pemimpin informal dengan karakter negarawan harus mengambil peranan sebagai rujukan moral dan etik bagi masyarakat.Tatanan sosial yang terkoyak harus dapat dirajut kembali dalam rangkaian yang memperkuat persatuan dan kesatuan. Baik pemimpin formal dan informal di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara pada akhirnya harus mensinergikan kekuatan, dan mengkoordinasikan peranannya sebagaitulang punggung dari pada negara dalam mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana yang dicita-citakan.
*) Wildan Nasution, Peneliti senior di Strategic Assessment, Jakarta.