Implementasi Strategi Pemberdayaan Geografi dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan
Selama ini perhatian terfokus pada isu tentang bagaimana mewujudkan Ketahanan Pangan untuk mengatasi potensi krisis pangan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Munculnya isu ini tentu terkait dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk sehingga berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan pangan, sementara akses penyediaan pangan justru merosot akibat alih fungsi lahan pertanian, perubahan iklim yang makin ekstrim, hingga faktor buatan lain yang berpengaruh terhadap kemampuan penyediaan pangan nasional.Ketidakmampuan Indonesia untuk mempertahankan status sebagai negara swasembada pangan setidaknya juga ikut memicu keresahan bahwa isu Ketahanan Pangan menjadi penting ketika dikaitkan dengan persepsi atas peranan yang seharusnya diambil dan menjadi tanggungjawab negara.
Secara konseptual, Ketahanan Pangan merujuk pada Food and Agriculture Organization (FAO), adalah food security exists when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient, safe and nutritious food that meets their dietary needs and food preferences for an active and healthy life (Ketahanan Pangan adalah ketika semua orang, pada setiap waktu memiliki akses fisik dan ekonomi yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan sesuai dengan preferensinya sehingga memiliki kualitas hidup yang sehat dan produktif). Sedangkan menurut UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan menjelaskan Ketahanan Pangan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.Karena itu, Ketahanan Pangan dapat tercapai jika memenuhi empat aspek yakni 1).kecukupan ketersediaan pangan, 2). stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim, 3). aksesibilitas atau keterjangkauan terhadap pangan, dan 4). kualitas atau keamanan pangan.
Merujuk pada konsepsi tentang Ketahanan Pangan, menjadi persoalan teknis produksi untuk memastikan ketersediaan pangan secara stabil dan dapat diakses oleh masyarakat. Konsepsi ini mengabaikan apa yang disebut Jonatan Lassa sebagai manajemen investasi pada sektor-sektor non-pangan dan non-pertanian yang dapat dilihat sebagai bagian integral dari pencapaian Ketahanan Pangan. Produksi pangan bukan determinan tunggal dalam isu Ketahanan Pangan, melainkan hanyalah salah satu faktor penentu selain persoalan sistem yang menjadikan masyarakat memiliki kemampuan untuk mengakses pangan baik secara fisik maupun ekonomi sebagai hal yang tidak kalah penting dengan ketersediaan pangan dalam level nasional (Amartya Sen, 1981).Ketahanan Pangan tidak hanya mata rantai produksi dan distribusi pangan saja, tetapi juga menyangkut penciptaan kondisi-kondisi yang mendukung masyarakat untuk mengembangkan kemampuannya produktifnya terlibat dalam sistem penyediaan pangan maupun akses ketersediaan pangan.
Potensi Krisis Pangan
Persoalan krisis pangan telah menjadi isu global.Food Security Information Network (FSIN), merilis bahwa krisis pangan dunia akan lebih buruk dari tahun 2016 dimana sekitar 80 juta penduduk akan menghadapi tingkat kritis kerawanan pangan dan bertambah parah di tahun 2017 hingga 108 juta penduduk. Sejumlah negara akan terpapar resiko kelaparan yang tinggi seperti daerah di Timur Laut Nigeria, Somalia, Sudan Selatan dan Yaman. FSIN menyatakan bahwa penyebab kelaparan di keempat negara ini selain faktor alam karena rendahnya curah hujan dan kekeringan panjang, juga disebabkan oleh konflik bersenjata dan keruntuhan makro ekonomi sehingga tidak tersedia anggaran memadai untuk program pertanian dan pangan.Berdasarkan neraca pangan dunia 2025, diperkirakan akan terjadi ketidakseimbangan pangan dimana besar pasokan pangan tidak cukup memenuhi kebutuhan pangan dunia karena jumlah penduduk terus saja bertambah tidak diimbangi dengan meningkatnya faktor produktif pertanian.
Sejak tahun 2005 negara-negara di dunia telah menaruh kekhawatiran terhadap potensi krisis pangan dan tren peningkatan harga komoditas pangan di pasar. Menurut FAO, diperkirakan sekitar 36 negara mengalami peningkatan harga pangan yang cukup tajam yang berkisar dari 75% sampai 200%. Lonjakan harga pangan di tengah krisis pangan dikhawatirkan akan berdampak pada akses masyarakat miskin terhadap kebutuhan pangan yang potensial akan memicu terjadinya gejolak sosial. Kekhawatiran ini terbukti dengan munculnya krisis sosial dan kemanusiaan di Somalia yang dilanda krisis pangan pada tahun 2008. Menurut perkiraan PBB, 6,2 juta penduduk Somalia menghadapi krisis pangan, dimana hampir 260 ribu penduduk meninggal akibat kelaparan pada tahun 2011, dan 270 ribu anak-anak menderita kelaparan.
Persoalan krisis pangan saat ini memang belum terjadi di Indonesia secara drastis. Namun demikian, tentu perlu diperhitungkan mengingat laju pertambahan penduduk 1,3-1,5%/tahun akan berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan akan pangan. Menurut proyeksi dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, penduduk Indonesia akan mencapai 300 juta jiwa pada 2030 atau mengalami kenaikan sebanyak 60 juta jiwa dalam kurun waktu 16 tahun.Kenaikan ini jika tidak diimbangi dengan produktifitas pertanian dimana ketersediaan lahan merupakan salah satu variabel penting yang hingga kini justru semakin menyempit, maka akanterbuka kemungkinan Indonesia akan mengalami defisit hasil pertanian, terutama beras dan komoditas lainnya. Global Food Security Index mengukur indeks keamanan pangan di negara-negara Asia-Pasific dimana pada tahun 2015Indonesia mendapat score 46,7 (0-100) dengan kategori menengah kebawah dan berada diperingkat 74 dari 109 negara.
Persoalan potensi krisis pangan juga terkait dengan persepsi kebutuhan pangan yang identik dengan ketersediaan beras.Sejak masa Orde Baru yang menekankan swasembada beras telah menggeser pola konsumsi pangan dalam keseragaman. Kebutuhan akan beras mengalami peningkatan tajam setelah banyak penduduk di wilayah luar Jawa mulai meninggalkan bahan makanan pokoknya selain beras seperti jagung, umbi-umbian, sagu menjadi beras. Karena itu diversifikasi bahan pangan menjadi penting guna menekan ketergantungan terhadap beras mengingat tidak semua lahan produktif di Indonesia memiliki kontur tanah yang cocok untuk persawahan.
Strategi Komprehensif
Potensi krisis pangan dunia tentu tidak dapat diabaikan mengingat Indonesia juga memiliki potensi yang sama jika tidak segera melakukan perubahan secara mendasar kebijakan sektor pangan dan yang terkait secara komprehensif. Dalam hal produksi pangan, ada empat isu penting yang harus dicermati yakni persoalan degradasi lahan, perubahan iklim, menurunnya sumber daya air, penyebaran hama, dan perebutan lahan. Persoalan tersebut tentu memerlukan penanganan yang terpadu baik dalam hal kebijakan maupun kelembagaan terkait hingga dapat efektif menyiapkan Ketahanan Pangan.
Secara paradigmatik, konsep Ketahanan Pangan sebagai persoalan formula teknis dan legal menuju ketersediaan akses pangan harus dapat terintegrasi dengan konsep kedaulatan pangan sebagai payung politik pada level negara.Merujuk konsep Kedaulatan Pangan (Food Sovereignity) dalam Declaration of Nyeleni, 2007,merupakan hak masyarakat, komunitas, dan negara untuk menentukan sendiri pertaniannya, tenaga kerja, nelayan, kebijakan pangan dan lahan yang mana lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya sesuai dengan keunikan kondisi masing-masing. Hal ini termasuk hak atas pangan dan untuk memproduksinya, yang mana setiap orang berhak atas keamanan, nutrisi dan budaya pangan yang sesuai, serta sumber daya produksi pangan, dan kemampuan untuk menjaga kelangsungan diri dan masyarakatnya. Kedaulatan Pangan singkatnya merupakan kedaulatan masyarakat dan komunitasnya atas hak pangan dan cara produksi pangan, termasuk untuk memperdagangkannya.
Konsep Kedaulatan Pangan sebagai konsep politik yang melihat persoalan pangan tidak saja sekedar akses ketersediaan pangan, tetapi juga memastikan bahwa negara memiliki kemampuan efektif untuk melindungi dan mengembangkan kapasitas produksi dan distribusi pangan dari persaingan dengan kekuatan modal yang memandang pangan hanya sebatas komoditas yang memiliki nilai ekonomi yang digerakan oleh logika supply and demand sebagaimana hukum pasar. Ketika bahan pangan menjadi komoditas maka sangat dimungkinkan bagi negara yang tidak memiliki kedaulatan pangan menjadi tergantung pada komoditas yang disediakan pasar.Pengalaman Venezuela menunjukan bagaimana dampak krisis pangan akibat hancurnya sektor pertanian setelah Venezuela bergelimang dengan penghasilan dari sektor minyak dan meninggalkan sektor pertanian dengan beralih menjadi negara importir pangan.Ketika krisis minyak terjadi, Venezuela telah kehilangan kemampuan produktifnya memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan menyandarkan pada impor pangan.
Sedangkan pada aspek teknis produksi pangan, persoalan geografis juga merupakan elemen yang sangat penting mengingat selama ini hampir 60% dari produksi pangan Indonesia berasal dari Jawa dengan 40 % di antaranya di Jawa Timur yang luasnya hanya 2,5% dari luas daratan Indonesia. Hal ini timpang dengan wilayah lain yang sebetulnya memiliki luas lahan produktif yang potensial dikembangkan untuk lahan pertanian baru. Persoalannya kemampuan pemerintah mencetak sawah lebih rendah daripada laju konversi lahan pertanian.Rata-rata per tahun, sawah yang dicetak pemerintah hanya 40 ribu hektare.Sedangkan konversi lahan secara nasional mencapai 100 ribu hektare.Lahan pertanian produktif telah banyak alih fungsi menjadi permukiman dan bangunan industri. Kebutuhan akan lahan yang pesat telah menyebabkan merosotnya area lahan produktif bagi pertanian yang justru sebagian besar terjadi di pulau Jawa sebagai sentra produksi pangan.
Pendekatan geografis ini digunakan untuk membuat peta wilayah produktif bagi komoditas pangan yang disesuaikan dengan kondisi geografis masing-masing daerah di Indonesia.Strategi pemberdayaan geografis untuk Ketahanan Pangan harus diintegrasikan dalam suatu Sistem Informasi Geografis yang memuat data-data potensi geografis yang diperlukan guna mendukung pengembangan lahan bagi pertanian yang disesuaikan dengan kebijakan perencanaan wilayah secara integratif.Sistem Informasi Geografis ini menjadi penting karena selain bagi para pemangku kebijakan antar sektor yang terkait dengan pemanfaatan lahan produktif juga menjadi dasar bagi masyarakat dalam mengembangkan kapasitas produktifnya di berbagai daerah di Indonesia sesuai dengan kecocokan antara potensi geografis, pengembangan wilayah dan jenis komoditas yang dapat dikembangkan.
*) Wildan Nasution, Peneliti senior di Strategic Assessment, Jakarta.