Parpol Syariah 212; Eforia Politik Alumni 212

Parpol Syariah 212; Eforia Politik Alumni 212

Kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang bersamaan dengan momentum Pilkada DKI Jakarta telah menjadi magnet yang mampu menarik solidaritas umat Islam dari berbagai kalangan dan daerah di Indonesia.Hal ini terlihat dari sejumlah aksi yang digelar oleh kelompok Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF-MUI) seperti gelombang aksi unjuk rasa yang populer dengan Aksi Bela Islam I (14 Oktober 2016), aksi Bela Islam II atau Aksi 411 di depan Istana Merdeka, hingga Aksi Bela Islam III atau Aksi 212 “Super Damai” akhir tahun 2016.  Aksi tersebut diperkirakan diikuti oleh ratusan ribu umat Islam di Jakarta maupun berbagai wilayah di Indonesia.

Besarnya antusiasme umat Islam dalam aksi tersebut muncul sebagai solidaritas untuk membela keyakinan keagamaan yang dianggap telah dinistakan oleh Ahok.  Solidaritas itu tidak hanya mampu menjadi kekuatan kohesi yang memobilisasi massa, tetapi juga sumber daya logistik untuk mendukung aksi-aksi umat yang dilakukan secara simultan sepanjang kasus penistaan agama itu dalam proses hukum.  Persepsi bahwa Ahok adalah “lawan” dan kewajiban untuk membela agama menjadi justifikasi yang memperkuat ikatan di antara umat.Selain itu, faktor dukungan pemberitaan dan sebaran informasi yang digerakan oleh jejaring media sosial yang masif, juga meningkatkan daya sugestif, spektrum dan segmentasi umat yang dapat digalang dalam gerakan aksi bela Islam pada waktu itu.

Potensi keterlibatan umat Islam yang cukup masif itu tentunya secara politik wajar saja jika dianggap sebagai peluang untuk digunakan dalam kepentingan tertentu, baik bagi pengembangan potensi umat Islam maupun tujuan-tujuan politik tertentu.Oleh karena itu, dapat dipahami jika pasca aksi-aksi bela Islam itu muncul upaya untuk melakukan pelembagaan potensi umat Islam seperti dengan keberadaan koperasi syariah 212, jaringan toko 212, hingga pendirian partai syariah 212.  Munculnya berbagai kelompok yang mengklaim sebagai representasi yang legitimate baik secara historis maupun politis di satu sisi dapat bermakna sebagai kepentingan untuk merawat spirit sekaligus eksistensi umat yang pada waktu aksi bela Islam masih sangat cair dan anonim.  Namun, di sisi lain juga berpotensi mengeksploitasi solidaritas umat Islam untuk hidden agenda kelompok tertentu di luar agenda umat Islam.

Kekhawatiran adanya upaya eksploitasi isu-isu keumatan ini jelas beralasan mengingat potensi umat Islam yang demikian besar dan kerap dijadikan alat politik belaka.Sinyalemen ini setidaknya ditunjukan dengan polemik yang mulai berkembang setelah aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok alumni 212 yang sarat dengan politik praktis dan terkesan sangat pragmatis.Aksi dukungan terhadap Hary Tanoe Sudibyo (HT) yang disusupkan dalam aksi bela Ulama serta pendirian partai syariah 212 mengindikasikan adanya potensi politisasi umat untuk kepentingan pragmatis.

Manuver Politik Menuai Polemik 

Presidium Alumni 212 atau Alumni 212 merupakan sebutan untuk mantan peserta yang terlibat dalam aksi-aksi yang bertajuk Bela Islam dan menuntut agar Ahok dimejahijaukan.Usai aksi-aksi tersebut, kelompok tersebut masih melakukan serangkaian aksi diantaranya pada 9 Juni 2017 dengan menggelar Aksi Bela Ulama dengan mempropagandakan isu tentang dugaan adanya kriminalisasi terhadap para ulama dan melakukan rally menuju Komnas HAM.Selain itu, kelompok ini aktif menentang pembubaran HTI dan rencana pemerintah untuk melakukan penindakan tegas terhadap ormas-ormas yang radikal dan anti Pancasila.

Kiprah kelompok alumni 212 dengan manuver politiknya telah menuai beragam polemik, termasuk di dalam internal elemen-elemen yang sebelumnya aktif dalam GNPF-MUI.Aksi yang dimotori oleh alumni 212 ini dianggap melenceng ketika ikut menyuarakan dukungan terhadap HT dengan menggulirkan isu adanya kriminalisasi dalam kasus yang menimpa HT.  Kepolisian menjerat HT dengan Pasal 29 UU Nomor 11/2008 tentang ITE jo pasal 45B UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan UU ITE Nomor 11/2008, dengan ancaman pidana penjara 4 tahun dalam kasus SMS ancaman yang dikirim ke jaksa Yulianto.Aksi itu tentu saja mengherankan publik, alumni 212 yang selama ini justru menunjukan sikap intoleran justru membela pengusaha taipan seperti HT yang tidak memiliki kaitan secara langsung dengan perjuangan umat Islam yang selalu diklaim oleh alumni 212.

Meski pihak alumni 212 membela diri dengan menyatakan bahwa hal tersebut sebagai wujud balasan dari tindakan HT yang diklaim  kerap membantu kegiatan dengan publikasi mereka.  Namun,  sulit untuk dihindari jika ditengarai bahwa dukungan itu sarat dengan kepentingan tertentu yang lebih bersifat pragmatis.  Hal inilah yang kemudian memicu munculnya kecaman keras dari Habib Rizieq Shihab dan dianggap mencederai umat Islam.  Aksi dukungan terhadap HT juga berujung dengan dicopotnya Ketua Presidium Alumni 212, Ustadz Ansufri Sambo dan Sekretarisnya Hasri Harahap, dan tampuk kepemimpinan kini berada di tangan Slamet Maarif, yang juga menjabat sebagai juru bicara FPI.  Dukungan pada HT yang juga bos MNC Grup ini membuat Presidium Alumni 212 harus mengklarifikasi aksinya pada Kiai Misbahul Anam, pimpinan Pondok Pesantren Al Umm yang sekaligus juga menjabat sebagai Dewan Syuro Front Pembela Islam (FPI).

Aksi manuver politik yang menuai polemik juga muncul sebagai respon dideklarasikannya Partai Syariah 212 di Gedung Djoeang 45, Jakarta Pusat, pada Senin, 17 Juli 2017 oleh 7 orang, di antaranya Asmah Ratu, Shidiq, Agung, Ummi Andi, Rulli Munasir, Hafidz, dan Ma’ruf Halimuddin yang mengklaim sebagai representasi dari alumni 212.  Menurut Ketua Panitia Pelaksana Deklarasi Partai Syariah 212, Maaruf Halimuddin, pendirian Partai Syariah 212 ini dilatarbelakangi dorongan massa yang tergabung dalam gerakan 212 untuk membentuk partai politik untuk memperjuangkan aspirasi umat muslim dengan menggaungkan jihad ekonomi dan politik.  Menurut penilaiannya, jika Indonesia dipimpin oleh orang mukmin baik di legislatif maupun eksekutif, maka akan sejahtera adil dan makmur. Para aktivis pendiri Partai Syariah 212 juga menyatakan komitmennya untuk menjadi partai yang bersih, jujur, adil dan bersyariah.Kelompok ini juga mengklaim bahwa anggota Partai Syariah 212 telah tersebar di 34 provinsi yang ada di Indonesia.

Segera setelah deklarasi Partai syariah 212, klarifikasi dan kecaman muncul dari GNPF-MUI.  Kapitra Ampera, pengurus sekaligus pengacara GNPF-MUI menyatakan bahwa para deklarator dan deklarasi Partai Syariah tidak merepresentasikan GNPF-MUI.  Kapitra juga menyayangkan bahwa aksi tersebut merupakan klaim dan sekedar memanfaatkan momentum ketika aksi 212 telah menjadi ikon gerakan umat Islam.Bahkan, para aktivis GNPF-MUI juga mensinyalir bahwa deklarasi Partai Syariah dapat mendistorsi perjuangan GNPF-MUI dan sekedar digunakan sebagai alat politik bagi kelompok di balik berdirinya Partai Syariah 212.  Klaim para deklarator sebagai “alumni 212” dan partai “Syariah 212” dianggap sebagai manuver politik untuk menarik dukungan umat Islam agar partai tersebut mampu menghimpun dukungan yang diperlukan agar memenuhi syarat sebagai partai politik yang telah ditetapkan oleh UU Parpol ketika nanti didaftarkan pada Agustus mendatang.

Kritik juga diungkapkan oleh para pengurus Presidium Alumni 212 yang menyatakan bahwa deklarator partai Syariah 212 tidak ada hubungannya dengan pihaknya.  Begitupula dengan klarifikasi yang disampaikan oleh juru bicara FPI, Slamet Maarif yang menyatakan bahwa FPI tidak memiliki kaitan dan tidak mendukung inisiatif yang dilakukan oleh para deklarator partai Syariah 212 yang mengklaim sebagai alumni 212.

Munculnya polemik terhadap manuver politik alumni 212 menunjukan bahwa umat Islam yang sebelumnya bergerak dalam aksi Bela Islam telah menjadi komoditas politik yang dieksploitasi oleh berbagai kelompok yang mengklaim merepresentasikan “alumni 212”.  Para pihak yang mengklaim ini berharap mendapatkan keuntungan politik dukungan umat Islam dengan mengkaitkan aksi-aksinya pada “212” sebagai aksi umat yang cukup fenomenal.Klaim-klaim sepihak seperti inilah yang tentu perlu dikritisi dan diwaspadai oleh umat Islam karena berpotensi membawa perpecahan umat dan menjauhkan umat dari perjuangan yang murni dalam kerangka membangun potensi dan keterlibatan umat Islam sebagai kekuatan penting dalam membangun negara dan bangsa Indonesia.

Potensi Antiklimaks

Dalam sejarah politik Indonesia pasca reformasi, berdirinya partai-partai politik baru bak cendawan dimusim hujan menjelang pemilu merupakan fenomena klasik yang selalu berulang.  Partai-partai baru itu selalu akan menyatakan beragam justifikasi politik dan ideologis untuk melegitimasi keberadaannya agar memperoleh simpati dan dukungan masyarakat.  Justifikasi politik dan ideologis itu dilakukan dengan mengeksploitasi berbagai persoalan kebangsaan guna mengukuhkan eksistensinya sebagai antitesis terhadap realitas sosial politik yang dianggap menyimpang dari cita-cita ideal.Dengan demikian, partai baru yang ditawarkan dapat diterima sebagai jawaban dan solusi sosial politik atas problematika kebangsaan dan memenuhi aspirasi masyarakat.

Modus operasi politik seperti ini tampaknya berulang.Berdirinya berbagai partai baru menyongsong pemilu 2019, tak terkecuali dengan dideklarasikanya Partai Syariah 212 merupakan produk eforia politik musiman.Hangatnya isu politik gerakan bela Islam yang disimbolisasikan dengan “212” telah dimanfaatkan sebagai momentum politik segelintir orang untuk menarik simpati umat Islam.Begitupula dengan isu tentang syariah dan kepemimpinan mukmin sebagai jalan menuju kesejahteraan dan kemakmuran.Kelompok ini mengabaikan realitas bahwa umat Islam telah mengambil peranan besar dalam kepemimpinan politik dan pemerintahan di Indonesia.Syariah meski tidak secara formal harus dipahami bahwa nilai-nilai profetik agama, termasuk Islam telah menjiwai dan memberikan warna dalam kontitusi dan penerapannya di Indonesia.Dengan demikian, formalisasi “Syariah” dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi isu klasik yang tidak relevan.

Dideklarasikan Partai Syariah 212 belum tentu mampu mengulang antuasiasme umat dalam politik kepartaian.Partai-partai Islam yang ada dianggap telah merepresentasikan cleavage socialyang ada dalam struktur sosial umat Islam.  Tanpa ada sesuatu yang baru dan genuine sebagai fondasi dari Partai Syariah 212 maka akan sulit bagi parpol baru ini untuk dapat bertahan.  Strategi mengeksploitasi massa 212 tidak akan berefek signifikan dalam mobilisasi politik para “alumni 212” yang membidani parpol baru ini.  Hasil yang akan dicapai justru potensi antiklimaks secara politik akibat titik jenuh dan kesadaran umat yang makin kritis tentang manipulasi politik yang dilakukan oleh orang-orang yang dianggap hanya memanfaatkan umat untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya saja.

*) Toni Ervianto, alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI) dan peneliti Cersia, di Jakarta.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent