Pro Kontra HTI Bisa Jadi Munisi Politik Politisi Untuk 2019
Pasca kebijakan pemerintah mengeluarkan Perppu No 2 tahun 2017 tentang pembubaran Ormas, masih bergulir pro dan kontra terkait kebijakan ini serta disisi yang lain HTI tetap melakukan konsolidasi, terus menyebarkan paham khilafah di berbagai kegiatan di beberapa daerah, bahkan HTI akan menggugat Perppu No 2 tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi pada 20 Juli 2017. Tidak hanya itu saja, HTI juga “menggalang” Komnas HAM untuk menolak Perppu No 2 tahun 2017. Dengan kata lain, HTI tetap “cuek” dan melakukan “perlawanan” karena khawatir eksistensi organisasinya akan terlindas oleh Perppu No 2 tahun 2017.
Perlawanan tersebut dikemas dalam sebuah isu besar yang sengaja diglorifikasi oleh HTI dan pendukungnya yaitu “rezim Jokowi anti umat Islam”. Pertanyaannya adalah seberapa bahayakah isu tersebut bagi kelangsungan pemerintahan Jokowi? Apakah upaya jajaran pemerintah melakukan counter opini dan kanalisasi opini sudah efektif? Apa kesempatan politik yang dapat dimanfaatkan sebagai munisi politik oleh politisi gadungan dan kelompok kepentingan dengan riuh rendah isu ini?
Kontra HTI
Kelompok yang kontra atau tidak senang dengan manuver politik HTI yang terus mempropagandakan paham khilafah untuk menggeser ideologi Pancasila juga semakin meluas di beberapa daerah. Mereka mendukung langkah pemerintah mengeluarkan Perppu No 2 tahun 2017 tersebut. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena konsep mereka baru sebatas ide dan khayalan utopis, sedangkan langkah konkrit belum ada sehingga tujuan revolusi tidak mungkin terjadi.
Pada dasarnya dan intinya, pendapat dan opini dari kelompok anti eksistensi HTI sebagai berikut : pertama, apa yang disuarakan oleh HTI bahwa semua masalah solusinya hanya Khilafah, adalah kesalahan berfikir. Padahal solusi dari permasalahan bangsa tidak akan mudah dengan menjadikan NKRI sebagai negara khilafah. Seharusnya yang disampaikan kepada bangsa ini adalah bahwa Indonesia berlandaskan Pancasila, dan jika sekarang dianggap gagal atau terpuruk bukan Pancasila yang salah, melainkan implementasi yang tidak sesuai dengan Pancasila itu sendiri.
Kedua, tidak setuju dan menolak bila ada suatu negara dalam negara, dalam arti adanya ideologi negara diluar Pancasila, sehingga kalau mau membentuk negara dengan ideologi diluar Pancasila harus keluar dari NKRI, karena negara dengan ideologi atau dasar Pancasila sudah final.
Ketiga, HTI harus melalui partai politik dengan membentuk partai politik dengan syarat harus berazaskan Pancasila bukan berazas atau berideologi khilafah.
Keempat, secara kenegaraan semua komponen bangsa harus mempedomani Pancasila sebagai ideologi bangsa. Adanya ideologi Khilafah yang diusung Ormas HTI jelas menjadi kontra produktif dengan ideologi final bangsa Indonesia. Apabila dilihat dari sisi keagamaan ideologi Khilafah jelas mengandung nilai-nilai agama yang tidak bertentangan dengan agama Islam, namun akan menjadi pertentangan jika dibenturkan dengan konsep bernegara di Indonesia.
Sedangkan, Ketua Ansor Lombok Utara, Muhammad Jalil dalam jumpa pers belum lama ini mengatakan, Ansor dan NU tegas menolak keberadaan ormas/organisasi HTI karena anti Pancasila dan mengembangkan konsep khilafah. NU berdasarkan hasil Muktamar 1984 telah membulatkan tekat dasar bernegara adalah Pancasila. Indonesia bukan negara sekuler tetapi bukan juga negara negara agama, namun negara yang berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Pro HTI
Sementara itu, dari kubu HTI dan pendukungnya selalu menggembar gemborkan opini atau melakukan glorifikasi isu bahwa dengan adanya statemen pembubaran HTI oleh Kemenkopolhukam, secara otomatis pemerintah telah melakukan pembatasan kemerdekaan berpikir, bukan hanya kepada HTI, tetapi kepada Ormas lain sebagai acuan tindakan.
Tidak hanya itu saja, HTI terus melakukan konsolidasi melalui pengajian, kajian ilmu, halaqoh dan lain-lain di beberapa daerah untuk terus memberikan perlawanan terhadap pemerintah yang telah mengeluarkan Perppu No 2 tahun 2017. Di Pekanbaru, Riau, salah satu pengurus HTI Riau dalam acara kajian bisnis syariah mengatakan, saat ini banyak bank berlabel syariah, namun pelaksanaannya masih menerapkan riba. Hal ini terjadi disebabkan sistem yang mengaturnya, sehingga seharusnya negara yang disyariahkan, agar membawa kebaikan bagi rakyat. Umat Islam harus bangkit, menerapkan syariat Islam dan Khilafah.
Di Balikpapan, Kalimantan Timur, tokoh HTI Kalimantan Timur dalam sebuah halaqoh mengatakan, negara Indonesia saat ini sudah dikuasai oleh kapitalisme asing dan aseng yang diatur oleh pemerintah dan menyengsarakan rakyat. Umat Islam harus melawan penjajahan asing dan Aseng dengan cara tidak lagi melakukan pinjaman riba, dan mengolah sumber daya alam tanpa tergantung pada asing dan aseng. Negara kita perlu dipimpin oleh khalifah yang mengerti agama secara kaffah, dengan cara menegakkan peraturan syariat Islam, agar pihak asing dan aseng tidak lagi menjajah Indonesia, sehingga panji panji Islam dapat berkibar lagi.
Kegiatan HTI juga berlangsung di Koya Barat, Papua dengan inti ceramah menilai, pemerintahan negara sudah kacau dan tidak jelas lagi, berbagai persoalan melilit negara, mulai dari hukum, kemiskinan, kriminal, penguasaan sumber daya alam oleh pihak asing, korupsi, dan kemerosotan moral. Satu-satunya solusi bagi permasalahan negeri ini adalah penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. HTI juga masih beraktivitas di Kota Banda Aceh, Kota Tegal, Dompu-NTB, Raja Ampat-Papua Barat, dan Bungo-Jambi.
Jawaban pertanyaan
Menyimak beberapa pertanyaan diawal artikel ini yaitu seberapa bahayakah isu “rezim Jokowi anti umat Islam” bagi kelangsungan pemerintahan Jokowi? Jawabannya sudah pasti yaitu sangat membahayakan bagi pemerintahan Jokowi apalagi tahun 2018 adalah tahun politik, maka setidaknya musuh-musuh Jokowi sudah menyiapkan berbagai isu sensitif dan strategis seperti “Jokowi anti Islam”, “Komunisme berkembang di era Jokowi” sampai isu “membengkaknya hutang luar negeri”.
Apakah upaya jajaran pemerintah melakukan counter opini dan kanalisasi opini sudah efektif? Tanpa ditanyakan jawabannya adalah belum efektif, terbukti tidak ada “grand design counter narrative” yang dipersiapkan atau disiapkan oleh jajaran K/L terutama komunitas Kominfonya. Akibat kurang adanya grand design tersebut, maka strategi propaganda dan komunikasi efektif baik komunikasi massa, komunikasi sosial dan komunikasi politik yang mendisimenasikan atau menyebarkan pesan-pesan keberhasilan terkait hasil pembangunan selama pemerintahan Jokowi kurang efektif bahkan tumpang tindih.
Ditambah dengan situasi dan kondisi pelaksanaan literasi serta cipta opini yang kurang masif dan berkelanjutan di media mainstream, media daerah bahkan Medsos, membuat isu-isu sensitif dan strategis diatas dipercayai masyarakat dan membuka momentum bagi lawan-lawan politik Jokowi menemukan munisi politik untuk mendiskreditkannya.
Apa kesempatan politik yang dapat dimanfaatkan sebagai munisi politik oleh politisi gadungan dan kelompok kepentingan dengan riuh rendah isu ini? Jelas perkembangan masalah ini akan dimanfaatkan baik oleh lawan-lawan laten atau lawan terbuka Jokowi serta politisi yang sangat berkeinginan menjadi presiden di tahun 2019 untuk menggeser Jokowi.
Masalah HTI vs Perppu No 2 tahun 2017 dan RUU Pemilu dengan munculnya ide presidential threshold cukup 0% saja serta menolak usulan pemerintah agar presidential threshold sekitar 20% jelas menjadi indikasi kuat, kedua isu tersebut menjadi munisi politik dan kendaraan politik bagi politisi atau pengamat yang selama ini mengkritisinya untuk menunaikan rasa “kebelet atau buru burunya” menjadi presiden. Bagaimana pendapat Anda?
*) Agung Wahyudin, alumnus Untag, Jakarta. Tinggal di Depok, Jawa Barat.