Mengaku Pancasilais, Berani Tertib Lalu Lintas

Mengaku Pancasilais, Berani Tertib Lalu Lintas

Menggelikan ketika perilaku seseorang yang sesuai aturan justru mendapat justifikasi “cemen’ alias  “penakut”. Mungkin diantara kita pernah mengalami hal yang menggelikan itu seperti yang saya alami dimana dicap  “cemen”  atau  “penakut”  ketika mentaati rambu lampu lalu lintas. Kala itu, tanggal 10 Juli 2017, saya hendak mengirim surat ke Kantor Wapres di Kebon Sirih, dengan sepeda motor melalui Jalan Tengku Cik Ditiro, dan tepat di perempatan Jl. Tengku Cik Ditiro dengan  Jl. Solo, lampu lalu lintas menyala merah. Secara otomatis sepeda motor saya hentikan, dan tepat dibelakang saya dua anak baru gede (ABG) yang semuanya laki-laki berboncengan dengan sepeda motor secara otomatis terhenti sepeda motornya. Sambil berbincang diatas sepeda motornya, secara perlahan sepeda motor mereka berjalan maju disamping kiri sepeda motor saya. Tepat disebelah kiri saya, anak yang diboncengkan dengan menggenggam handphone ditangan kanan, jari jempolnya terbuka menunjuk kearah saya, berbicara dengan temannya yang memboncengkan berkata “cemen”. Selanjutnya, temannya dengan senyum-senyum menyahut dengan kata “cemen” juga. Selanjutnya, sepeda motor mereka melaju meskipun lampu lalu lintas masih menyala merah.

Sontak saja bathin saya merasakan bahwa mereka mentertawakan saya dan menganggap saya “cemen” atau penakut ketika menghentikan sepeda motor karena lampu lalu lintas menyala merah,  dan jujur saja saat itu saya merasakan malu sebagai orang yang “cemen”. Namun demikian, nalar saya masih berjalan sehingga mampu mengendalikan dorongan atau nafsu untuk menerobos lampu merah dan saya tetap bertahan menunggu lampu menyala hijau meskipun dari arah Jl. Solo tidak ada kendaraan yang melintas dan tidak ada polisi di tempat itu. Akhirnya, saya berfikir bahwa perilaku pengendara motor atau mobil yang menerobos lampu merah atau menerobos jalur pihak lain walau menghalangi kendaraan dari arah yang berlawanan, ternyata dipicu oleh perasaaan bahwa dirinya adalah “pemberani” atau courage. Sifat atau karakter pemberani ketika muncul dalam diri maka seseorang cenderung menganggap dirinya beda dengan pihak lain. Ketika pihak lain atau lingkungan sekitarnya takut maka dia merasa pemberani, diri merasa tinggi atau merasa bermartabat karena yang lain dianggap lebih rendah, lebih kecil, sepele, remeh dan sebagainya. Namun,  ketika pemberani muncul dalam perilaku yang menyimpang atau out law maka seseorang cenderung tidak akan mengendalikan nalarnya meskipun sudah disadari bahwa perilakunya melanggar atau tidak sesuai dengan aturan. Sifat pemberani dalam perilaku yang salah, cenderung mengarah kepada sikap arogan atau mau menang sendiri dan merasa dirinya paling benar. Fenomena ini juga terlihat dalam kehidupan berlalu lintas, dimana orang-orang yang biasa menerobos lampu lalu lintas atau menerobos jalur pihak  lain  justru sering lebih galak atau lebih marah ketika terjadi sengolan atau accident kecil. Dan yang lebih lucu, orang yang menerobos jalur orang lain, justru seolah baik dengan mengarahkan atau mengatur kendaraan pihak lain yang dia serobot  tanpa rasa bersalah.

Sebelum berpindah tempat dan masih diperempatan Jl. Tengku Cik Ditiro dan Jl. Solo, saat lampu lalu lintas masih menyala merah dan saya masih berhenti, mobil dibelakang saya membunyikan klakson, seperti menyuruh saya segera jalan karena dari arah Jl. Solo tidak ada kendaraan yang melintas dan tidak ada polisi yang menilang. Ini menggambarkan, seseorang cenderung mengambil kesempatan untuk dirinya (take chances) terlebih situasi sangat aman dan tidak membahayakan. Seseorang kadang tidak berfikir, ketika ribuan dan jutaan manusia cenderung menuruti keinginan untuk mengambil kesempatan untuk dirinya, suatu saat akan menghadapi stagnasi sehingga muncul chaos (kekacauan) atau crodit (kemacetan).

Mungkin kita meragukan bahwa sifat courage dan take chances diri dalam perilaku yang menyimpang atau out law akan memicu chaos atau crodit. Namun, saya akan menggambarkan pengalaman berikutnya ketika perjalanan saya menyusuri Jl. Diponegoro, trus Jl. Imam Bonjol kearah Hotel Indonesia. Tepat di perempatan Jl. Imam Bonjol dan Jl. Hos Cokro Aminoto lampu lalu lintas di Jl. Imam Bonjol menyala merah, sehingga saya menghentikan sepeda motor saya Ketika lampu menyala hijau, beberapa sepeda motor dan mobil dari Jl. Imam Bonjol mulai bergerak,  namun dari Jl. HOS Cokro Aminoto yang tentunya lampu lalu lintas sudah menyala merah, banyak motor dan mobil masih tetap berjalan menerobos lampu merah, sehingga timbul crodit diperempatan yang nyaris bertabrakan. Sebagian sepeda motor yang melintas di Jl. HOS Cokro Aminoto yang sudah ditengah perempatan terpaksa ada yang kembali mundur karena menyadari dia yang salah, namun beberapa sepeda motor yang nyaris bertabrakan kontan memasang muka marah seolah menyalahkan pengendara dari Jl. Imam Bonjol kenapa  tidak mau bersabar. Seandainya pengendara dari Jl. Imam Bonjol tetap mempertahankan courage, maka yang terjadi adalah chaos ataukekacauan.

Ketika pengendalian diri seseorang untuk tertib terhadap aturan sudah mulai hilang, yang terjadi adalah kultur atau kebiasaan yang tidak sesuai dengan aturan hukum, sehingga akan muncul crodit atau chaos. Masyarakat yang tidak tertib adalah masyarakat jahiliyah yaitu masyarakat yang hidup dalam kebodohan. Hukum atau aturan dikeluarkan untuk menjadi alat perubahan social (tool of social engineering) agar perilaku manusia berubah menjadi perilaku yang teratur dan tertib. Seseorang akan cenderung mentaati hokum ketika courage dan take chances diarahkan kepada perilaku yang tidak menyimpang, sehingga perasaan dan olah piker digunakan untuk pengendalian diri agar menjaga kepentingan umum dan hak-hak pihak lain, bukan sekedar berani dan mengambil kesempatan untuk kepentingan diri sendiri. Dengan pola perilaku berlalu lintas, seseorang juga diajarkan bagaimana seseorang mementingkan kepentingan bersama atau umum dan kepentingan nasional sebagaimana Sila ke-3 dari Pancasila dan seseorang diajarkan memiliki perasaan tenggang rasa dengan pihak lain sebagaimana Sila ke-2 Pancasila. Pancasila sebagai arah pedoman hidup bangsa Indonesia memiliki makna yang general atau umum, sehingga implementasi perilaku dapat diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam kehidupan ber-lalulintas. Pengendalian diri untuk tidak menerobos lampu lalu lintas yang sedang menyala merah dan tidak menerobos jalur pihak lain, setidaknya mengimplementasikan pengamalan Sila ke-2 dan Sila ke-3 dari Pancasila.

Sebagai bangsa Indonesia, tentunya harus menyadari bahwa mempertahankan dan mengamalkan Pancasila bukan sekedar simbolik “Saya Indonesia, Saya Pancasila”, namun mau tertib ber-lalulintas adalah juga salah satu perilaku Pancasilais yang implementatif. Kita harus malu sebagai bangsa yang memiliki Ideologi Pancasila yang diakui internasional sebagai ideology besar dan bermartabat, namun implementasinya jauh panggang dari api. Kehidupan manusia Indonesia justru banyak perilaku yang menyimpang dari hukum, yang seolah kembali ke jaman jahiliyah atau jaman kebodohan. Kita harusnya malu, ketika para bule atau orang asing sering kebingungan ketika akan menyeberang di perempatan jalan – perempatan jalan di Jakarta karena kendaraan dari seluruh arah tetap jalan meskipun ada lampu lalu lintas yang mengatur.  Gambaran seperti ini, juga terjadi ketika di perempatan Jl. H. Agus Salim,  Jl. KH. Wahid Hasyim dan Jl. Sabang (Jl. H. Agus Salim) dekat Sarinah menuju ke Jl. Kebun Sirih, nampak dua orang bule harus maju mundur ketika menyeberangi jalan di perempatan tersebut.

Masyarakat harus berani melakukan gerakan revolusi mental untuk berani tertib ber-lalulintas guna menegakkan kembali Pancasila. Aparat Polisi juga bukan hanya sekedar melakukan tilang terhadap pelanggar lalu lintas, tetapi harus menjadi role model atau contoh dalam tertib ber-lalulintas. Masyarakat cenderung bersimpati dengan perilaku yang elegan tanpa arogan, dan bersimpati dengan prestasi daripada prestise. Oleh karena itu, Polisi harus mengambil hati masyarakat dengan perilaku menjadi role model atau contoh, sehingga masyarakat tergerak dengan sendirinya melakukan revolusi mental untuk berani tertib ber-lalulintas.

*) Pardiyanto, Pemerhati  Masalah sosial dan Perilaku

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent