HTI Gagal Paham Tentang Konsep Khilafah

HTI Gagal Paham Tentang Konsep Khilafah

Dalam perspektif HTI, ketika mereka menyebutkan kata imamah, itu berarti imamah itu sama dengan khilafah, karena tidak ada perbedaan diantara keduanya. Para orientalis menolak mentah-mentah gagasan khilafah, karena didalam perspektif non muslim, khilafah ketika ikut tegak maka pengaturan sistem kepemerintahan, hanya diempukan/diserahkan kepada satu orang, yaitu namanya khalifah. HTI itu hanya memiliki kitab ushul fiqih tapi tidak memiliki kitab fiqih, stempel khalifah itu hanya bisa ditempelkan ketika khilafah itu tegak. Maka ada salah satu artikel di situs resmi HTI, menyatakan secara jelas bahwa Jokowi itu bukan presiden didalam konsepsi Islam menurut HTI dan itu aneh.

Demikian dikemukakan Muhammad Makmun Rosyid, penulis buku “Gagal Paham Khilafah” dalam sebuah acara bedah buku tersebut yang diadakan oleh Paramasophia Universitas Paramadina di Jakarta belum lama ini.

Muhammad Makmun Rosyid menyatakan, HTI itu sering mengutip misalnya di jilid satu didalam kitab Ihya Ulumuddin itu tentang agama dan negara itu seperti saudara kembar yang keduanya tidak bisa dipisahkan, tapi HTI tidak pernah mengutip tulisan Imam Ghazali di kitabnya Al iqtishad fi al I’tiqod justru disana dikatakan oleh Imam Ghazali bahwa Imamah itu bukan sesuatu yang penting-penting sekali yang harus kita terapkan dan sifatnya wajib.

“Informasi-informasi seperti ini tidak disertakan dalam tulisan-tulisan HTI, karena ini sangat riskan untuk mereka sendiri, jadi ada informasi yang mereka selundupkan, padahal dokumennya dikaji di halaqoh-halaqoh kader HTI, jadi kalau kader-kader yang masih baru-baru sekarang ini tidak akan tahu. Pesan yang ingin disampaikan di dalam dokumen tanpa nama itu adalah bahwa mereka ingin mengatakan bahwa Pancasila adalah sistem kufur, kalau Pancasila itu sistem kufur maka demokrasi menjadi kufur,” tambahnya.

Buku ini, ujarnya, ditulis menggunakan pendekatan maudhu’I (tematik) hermeneutika, buku ini pasti ditentang, jangankan isinya, hermeneutik saya sudah ditentang oleh mereka, karena hermeneutika itu adalah produk dari barat yang jelas-jelas dibuat oleh orang-orang kafir.

“Penulis memaknai kata kafir dimana non muslim tidak bisa kita stempelkan dengan istilah kafir, karena makna asli kafir adalah cover atau menutup, sehingga istilah kafir itu bisa ditempelkan hanya kepada orang-orang yang hatinya tertutup. Orang Islam pun bisa disebut kafir jika diperintah sholat sehari 5 kali, namun kita menjalankannya hanya 5 hari sekali. Orang Islam seperti ini kafir karena hatinya tertutup padahal seruan sudah memanggil kita,” jelasnya.

“Kita tidak pernah membaca satupun tulisan dari Hizbut Tahrir, yang diinginkan itu apa, misalkan kalau kita sudah jelas, sebutan untuk negara kita adalah NKRI, karena khilafah itu bukan sebutan yang sama seperti kita menyebut NKRI, karena khilafah itu konsep, maka juga tidak pas ketika HTI menyebutkan negara khilafah, yang diinginkan oleh Hizbut Tahrir tidak jelas apakah Daulatul Muslimin, Daulatul Islam atau Darul Islam. Kita tidak pernah membaca secara tuntas atau tulisan komprehensif dari mereka apa yang diinginkan dari mereka,” tegas Muhammad Makmun Rosyid.

Sementara itu, Syaiful Arief, MHum mengatakan, muslim Hizbut Tahrir itu adalah muslim yang lugu, karena menelan mentah-mentah ayat, menelan mentah-mentah apa yang diucapkan tokohnya, padahal para mentor HTI itu tidak mampu menghidupkan ruh, yang dihidupkan perasaan kebencian, rasa benci dan keluguan. Buku ini sangat penting sekali, terutama untuk melakukan dekonstruksi di jantung argumentasi takliyahnya Hizbut Tahrir.

“Di tahun 2012, pernah melakukan penelitian lapangan tentang Hizbut Tahrir terkait tentang pandangan mereka mengenai Pancasila, dengan mewawancarai beberapa aktivisnya termasuk dengan Ismail Yusanto. Jadi mereka sebenarnya mengalami kesesatan berfikir secara logika  dan proses berpikir terutama mengalami kesesatan itu dalam konteks hubungan antara Islam, khilafah dan Pancasila. Ada proyek khilafah dengan menyebarkan selebaran Pancasila itu falsafah kafir yang tidak sesuai dengan Islam. Jadi kalau Presiden Jokowi bertindak tegas ke HTI sudah tepat, walaupun sangat terlambat, karena embrio pemikiran Taqiyuddin An Nabhani pendiri Hizbut Tahrir itu sudah dikembangkan sejak tahun 1982 di Bogor, Jawa Barat, itu yang mereka sebut sebagai tahap pembudayaan. Jadi sudah sejak tahun 1980 sampai sekarang, dulu ketika jaman Orba kita kenal gerakan Tarbiyah, itulah mereka/HTI,” ujar Direktur Institut Pancasila dan Kewarganegaraan.

Menurutnya, Hizbut Tahrir memiliki tiga tahapan pergerakan: pertama, marhalah tsaqif yaitu pembudayaan tsaqofah, pembudayaan pemikiran dalam rangka menciptakan kader atau kaderisasi, dimulai sejak tahun 1982 di pesantren Al Ghazali dan Masjid al Ghiffari IPB Bogor, kemarin sempat viral ada beberapa ribu mahasiswa yang berbaiat mendukung khilafah Islamiyah, dan pranata kelembagaan kampusnya ada LDK (lembaga Dakwah Kampus), jadi meskipun HTI dibubarkan, kalau di kampus masih ada LDK, ideologinya tidak akan pernah mati, dan disekolah ada Rohis, ideologinya tidak akan pernah mati.

“Kedua, marhalah tafaul maal ummah yaitu sosialisasi terbuka, mereka sudah pernah melangsungkan konferensi khilafah internasional sejak tahun 2000 (tanggal 28 Mei 2000) sekaligus deklarasi, HTI dideklarasikan sebagai organisasi pada tahun 2000, mereka sudah membuat halaqoh peradaban Islam dan forum muslimah untuk peradaban, mereka mempunyai musimah HTI dll. Ketiga, muncul dari gerakan hukum atau marhalah istilam al-hukm  yaitu penegakan hukum, melalui penegakan khilafah dan ingat di konferensi khilafah tahun kedua mereka sudah mengadakan surat terbuka penegakan khilafah kepada Presiden SBY untuk menegakkan khilafah di Indonesia, dan mereka mengancam siapa-siapa saja yang menentang khilafah, diancam hukuman kalau khilafah itu berhasil didirikan di Indonesia,” tambahnya.

*) Bayu Kusuma, peneliti muda di Center of Risk Strategic Intelligence Assessment (Cersia) Jakarta.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent