Siapa Yang Menang : Pancasila VS Radikalisme

Siapa Yang Menang : Pancasila VS Radikalisme

Abstraksi :

Situasi keagamaan di Indonesia belakangan ini sudah makin mirip situasi keagamaan di negara-negara di Timur Tengah yang mempertontonkan intoleransi dan teror. Ketika agama yang sakral sudah dicampur adukan dengan politik yang profan memunculkan wajah keduanya jadi berbeda. Kesakralan dan nilai-nilai regulitas agama menjadi ternoda dan mekanisme  demokrasi politik menjadi tak sehat. Bangsa Indonesia tentunya tak menghendaki tragedi bom Kampung Melayu yang dilakukan sekelompok kecil pelaku disamakan seperti yang terjadi di Suriah dan Irak yang terus diwarnai aksi bom-bom bunuh diri. Serta fenomena meluasnya semangat intoleransi yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia yang digaungkan oleh sekelompok ormas intoleran. Menjadi pertanyaan apakah ideologi Pancasila memiliki daya gempur menghadapi fenomena tersebut ?

Kata kunci : Wahabisme, Radikalisme, Pancasila.

Munculnya gagasan purifikasi (pemurnian) agama yang dicetuskan oleh Ibnu Tamiyah  (abad ke-12 Masehi), kemudian dihidupkan kembali oleh Muhammad Ibnu Abd Al-Wahhab (1703-1987), yang terus berkembang di Arab Saudi hingga kini ditenggarai menjadi salah satu faktor munculnya gerakan Wahabi Global. Sementara itu, gelombang reformasi di Indonesia telah melahirkan dinamika baru dalam gerakan keagamaan. Gerakan keagamaan baru tersebut bukan saja diadopsi oleh penduduk lokal tetapi juga telah memunculkan wajah-wajah transnasional  yaitu Wahabisme dengan programnya “Wahabisasi Global”. Pada mulanya posisi ini pemerintah bersikap ambigu dalam mensikapi hal tersebut yang disatu sisi meneriakan slogan NKRI harga mati tetapi disisi lain memberikan ruang pada kelompok radikal yang berwajah transnasional bebas mempertontonkan eksistensinya mengusung khilafah. Namun dengan dukungan politik yang luas dari masyarakat dari Sabang dan Maureke yang masih memiliki sprit kebangsaan ideologi Pancasila dengan tegas meminta kepada pemerintah untuk membubarkan

gerakan Wahabi di Indonesia yang sudah nyata-nyata akan menganti ideologi Pancasila dengan ideologi Khilafah. Pemerintah dalam hal ini sudah dalam proses pembubaran ideologi khilafah yang prosuder dan instrumen hukumnya untuk dilengkapi.

Di Indonesia sudah ada tiga Ormas yang sudah mendapat penolakan dari masyarakat Indonesia karena meresahkan dan menggangu toleransi kerukunan kebangsaan dan sangat bertentangan dengan ideologi Pancasila antara lain : Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengubah ideologi negara menjadi kekhalifahan, ormas yang ingin berlakukan negara hukum Islam yaitu Mujahidin dan ormas yang akan memberlakukan hukum Islam di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas muslim yaitu Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan.

Sebetulnya tidak terlalu sulit untuk mencermati basis-basis kekuatan kelompok khilafah dewasa ini cukup banyak hasil penelitian yang dilakukan oleh riset seperti yang dirilis oleh kompas yang mengindikasikan cukup banyak masyarakat yang sudah berfaham radikal. Dalam kasus terakhir dalam Pilkada DKI sangat dengan jelas memperlihatkan wajah intoleransi dan terus mencari simpatik dari luar kelompoknya untuk dapat bersama-sama memperjuangkan label politik agama yang mereka usung namun pada tujuan akhirnya kekuasaan politik.

Fokus utama dari serangan virus ini adalah bagaimana sistem politik Indonesia yang berideologi pancasila tidak dapat berfungsi, yang apabila sudah tidak berfungsi dapat digantikan dengan ideolagi khilafah yang saat ini terus mereka bangun di ruang-ruang publik dan ditanamkan kepada generasi muda.  Pancasila sebagai seperangkat sistem politik tidak bisa bebas dari pangaruh yang mengancam berjalannya sistem politik tersebut. Ancaman tersebut datangnya bisa dari dalam atau dari luar sistem politik.Bagaimana sebuah sistem politik bisa bertahan atau tidak bisa bertahan, ketika menghadapi pengaruh, tekanan dan ancaman sehingga keberlangsungan alokasi nilai-nilai otoritatif dari sistem politik dapat terus berjalan atau berhenti sama sekali. Target dari perjuangan ideologi adalah sangat masif yaitu bagaimana suatu sistem untuk berhenti sama sekali dan digantikan dengan sistem yang baru dengan nilai-nilai otoritatif baru.

Gesekan yang terjadi saat ini dengan munculnya sikap masyarakat dari Sabang sampai Meurake yang terus dengan kuat menyuarakan NKRI dan tetap kokohnya Pancasila sebagai bentuk manifestasi perlawanan dalam suatu sistem yang menolak upaya perusakan yang dilakukan oleh ancaman paham radikalisasi tersebut. Peran pemerintah yang berada dalam sistem tersebut sangat tepat karena sistempolitikmempunyaikekuasaan yang legal sebagaialatpemaksauntukmenjagaalokasinilaiotoritatifyaitu Pancasila untukkeselamatan rakyatnya dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan tepat waktu dan sasaran untuk membubarkan ormas radikal dan intoleransi tersebut.

David Eston “kebijakan adalah suatu konseptualisasi yang telah disiapkan guna membantu mengidentifikasikan dan meneliti permasalahan utama yang akan dihadapi dalam studi keluaran kebijakan”.

Disisi lain, masih ada segelintir kelompok masyarakat yang mensepelekan masalah nilai-nilai otoritatif Pancasila sebagai mekanisme suatu sistem kenegaraan dalam arti mereka belum peduli dari kampanye dari masyarakat dari Sabang sampai Meureka yang sudah sangat gencar membela ideologi Pancasila dan tindakan pemerintah yang dalam proses pembubaran paham ormas radikal tersebut. Jangan kita pernah untuk lengah bahwa gerakan kelompok radikal atau ormas radikal yang berjubah agama dapat menjadi kekuatan dahsyat dalam membangkitkan identitas emosional massa dibandingkan identitas sosial lainnya. Agama dapat memicu konflik bereskalasi mengerikan dengan intensitas yang tinggi dan hal itu diharapkan dapat memecah belah persatuan bangsa.

Ada beberapa catatan yang dapat kita renungkan dalam memperingati hari lahirnya Pancasila dikaitkan dengan dinamika kekinian yang sarat dengan gerakan radikalisasi dan intoleransi. Pertama, sejarah mencatat sejak awal perumusan 1 Juni 1945 menjelang Kemerdekan RI yang berlanjut perdebatan Pancasila oleh kelompok di luar Soekarno yang dikenal Piagam Jakarta (22 Juni 1945) yang pada akhirnya rumusan Pancasila dapat diterima para elit parpol dan ormas Islam sebagai dasar negara NKRI. Kedua, sudah sangat lelah dan sangat besar energi bangsa ini untuk mengatasi ketertinggalan dari kemajuan bangsa-bangsa lain, yang berpotensi menjadi kering kembali, ketika saat ini kita terjebak lagi dalam menyempitkan arti ideologi yang pada akhirnya akan saling memusuhi. Ketiga, globalisasi masyarakat untuk semakin terbuka dan mengeliminasi perbedaan bahkan perbedaan tersebut menjadi sprit kolaborasi dalam memajukan peradaban. Sementara masih ada sekelompok orang yang berusaha membuat sekat-sekat perbedaan tersebut. Pancasila sudah riil sebagai suatu sistem alokasi nilai-nilai otoritatif dapat menginspirasi dan mewujudkan tatanan globaliasi tersebut.

*) Agung Virdianto, mahasiswa Pasca Sarja dan Komunitas Pengkajian Studi Perbandingan Politik

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent