Perlukah Hak Angket Buat KPK ?

Perlukah Hak Angket Buat KPK ?

Keputusan DPR untuk menggulirkan hak angket kepada KPK, kendati sarat dengan jurus “sluman-slumun-slamet”, tak pelak lagi merupakan rangkaian manuver untuk menciptakan goro-goro politik nasional, pasca-terbongkarnya kasus Tipikor e-KTP yang merugikan negara lebih dari Rp 2 triliun, dan melibatkan para politisi Senayan termasuk petingginya.

Tugas untuk memuluskan keputusan itu dilaksanakan dengan gagah berani oleh Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah (FH), mantan pentolan PKS yang kini menjadi wakil “independen” di DPR, karena kedekatannya dengan para petinggi parpol di lembaga legislatif tsb. FH bergeming dengan ketokan palunya walaupun banjir interupsi dan langkah walk out dilakukan pada penghujung sidang paripurna DPR kemarin (28/4/17).

Bagi banyak pihak, kelakuan FH sudah barang tentu dikecam keras dan dianggap sewenang-wenag serta melanggar etika persidangan. Tetapi bagi para pembenci dan musuh KPK di kalangan parpol dan Parlemen, tindakan politisi asal NTB itu pastinya dianggap heroik dan layak untuk mendapat penghargaan yang tinggi.

Sebab dengan mulusnya hak angket tersebut, sebuah hajatan yang lebih akbar dan luas dampaknya, yaitu amandemen UU KPK, yang sampai saat ini sangat tak populer di mata publik, dan bagi Pemerintah Presiden Jokowi (PJ), akan dimuluskan juga. Mengapa? Karena jika nanti Angket ini berhasil memunculkan berbagai “temuan” yang dianggap oleh musuh-mush KPK sangat penting untuk ditindak lanjuti, maka hal itu akan memperbesar legitimasi dan justifikasi untuk mempercepat amandemen UU KPK.

Rencana DPR-RI untuk menggunakan hak angket dengan alasan untuk mengawasi kinerja KPK telah menimbulkan pro dan kontra. Kelompok yang menolak penggunaan hak angket mempunyai alasan antara lain hak angket itu menuju pada pemerintah, pertanyaannya apakah KPK bagian dari eksekutif? Menurut kelompok ini, penggunaan hak angket ke KPK salah alamat, seharusnya hak angket menjelaskan ketentuan yang mana yang bertentangan dengan Undang undang.

Rencana ini juga menimbulkan pertanyaan bagaimana DPR bisa mengawasi undang undang kalau mereka sendiri tidak mengetahui mekanisme peraturan dengan aturan yang berlaku karena ini tindakan yang menekan KPK baik secara premanisme politik dan individu. Perlu diketahui bersama bahwa KPK adalah “lembaga quasi-negara” yang dibentuk karena pemerintah dianggap tidak akan mampu memberantas korupsi, karena yang melakukannya termasuk unsur pemerintah melainkan juga legislatif dan eksekutif.

Banyak kalangan civil society menjadi bagian yang mengkritik KPK dan kami juga menjadi bagian paling terdepan untuk membela KPK apabila KPK ini berusaha untuk dilemahkan dan ditekan. Kalau ada korupsi legislatif memainkan anggaran maka eksekutif juga pasti ada yang kena. Menurut kami, cepatnya palu diketuk Fahri Hamzah kemarin adalah melanggar undang undang. Dasar angket ini lemah dan terkesan hanya akal akalan untuk melemahkan KPK.

Hak angket itu konstitusional dan dia sebenarnya bagian dari hak pengawasan dari DPR tetapi disini terlihat ada bagian kepentingan umumnya dan dibalik itu ada kepentingan sekelompok orang yang terkena dampak dari KPK. Dalam perspektif sosiologis, KPK dalam 3 generasi terakhir selalu mendapatkan serangan. Mengawasi KPK itu mengawasi sistem juga, sistem yang dibuat oleh DPR sendiri. Bagaimana lembaga lain juga bisa dipercaya publik, sehingga KPK menjadi biasa biasa saja dan bukan satu satunya. Sebaiknya, DPR menarik hak angketnya terhadap KPK karena belum sesuai dengan tata cara politik, bagaimana DPR memperkuat lembaga hukum lain agar posisinya sama kuat dengan KPK.

Roy Suryo yang juga Wasekjen DPP Demokrat dalam sebuah diskusi di Jakarta menyampaikan bahwa KPK adalah lembaga yang superbody, tapi tidak kemudian menjadi lembaga yang absolut. Kami menilai hak angket kurang tepat dilakukan jika diusulkan sekarang. Kami tidak ingin ada upaya pelemahan terhadap KPK, tidak ada satupun kami dari Partai Demokrat yang menandatangani usulan hak angket. Jadi kami pun menolak dengan adanya hak angket terhadap KPK. Hak angket itu adalah sebuah pelanggaran yang serius.

Namun, kelompok yang mendukung penggunaan hak angket juga mempunyai alasan yang masuk akal antara lain, hak angket ini merupakan hal yang biasa karena sudah beberapa kali dilakukan, karena hak angket ini hanya sebagai trigger, tidak perlu berlebihan menanggapinya. Angket ini mempunyai satu format dimana dapat memanggil pihak terkait yang bersangkutan dengan angket tersebut. Kritik dan evaluasi terhadap KPK ini rasa wajar wajar saja. Ada beberapa ketentuan ketentuan dan wewenang yang digunakan oleh KPK yang terlihat sudah diluar standard operation procedurenya (SOP) nya, dan kejanggalan SOP ini akan ditemukan ketika sudah membentuk Pansus. Alasan lainnya terhadap hak angket terhadap KPK ini disebabkan konon KPK tebang pilih dalam menangani kasus korupsi.

Menurut Masinton Pasaribu, anggota Komisi 3 DPR RI dari PDIP dalam sebuah diskusi di Jakarta menyatakan, hak angket DPR untuk KPK ini tidak perlu di khawatirkan macam macam, ini adalah fungsi DPR untuk pengawasan. KPK diberikan kewenangan yang cukup besar, maka seharusnya tidak ada lagi penyimpangan-penyimpangan. Kalau selama ini yang berkembang adalah hak angket akan mengintervensi kinerja KPK tapi ini beda karena hak angket ini merupakan penyelidikan terhadap kinerja KPK, tidak masuk keranah penanganan hukum dan sebagai ranah pengawas kinerja KPK.

“Angket ini berkaitan dengan SOP KPK, apakah KPK ini sudah benar cara bertindaknya, apakah KPK sudah bekerja sesuai dengan pencapaiannya dan mengenai anggaran jadi ini sebagai bentuk pengawasan DPR kepada KPK dan dengan adanya kesalahan SOP pada KPK kemarin itulah yang menjadi dasar bagi kami untuk memulai angket,”kata mantan aktivis Repdem ini.

Masyarakat lebih bijak.

Bagi masyarakat umum, mereka memiliki persepsi yang lebih bijak terkait hak angket ini. Kalangan buruh dan Ormas yang ditemui penulis, pada umumnya menilai hak angket KPK kemungkinan untuk menghalangi KPK dalam menangani kasus korupsi e-KTP yang melibatkan anggota dewan.

Sementara itu, salah seorang aktivis Jala PRT mengatakan, hak angket KPK hanya akal-akalan DPR saja, karena KPK sudah bekerja sesuai dengan prosedur, hak angket KPK ini terlalu mengada-ada, karena kita melihat bahwa hak angket ini berusaha melindungi Miryam Hayani DPO kasus korupsi e-KTP.

Aktivis mahasiswa juga menilai hak angket terhadap KPK ini merupakan bentuk intervensi hukum oleh DPR terhadap KPK. hak angket KPK ini merupakan keinginan kelompok saja yang memang tidak ingin agar KPK tidak memproses mega korupsi e-KTP. “Hak angket KPK ini hanyalah upaya menghambat tugas KPK dan Parpol yang menyetujui hak angket ini akan dimusuhi masyarakat,”tambahnya.

Kalangan elemen buruh pada umumnya menolak penggunaan hak angket KPK yang akan dilakukan DPR-RI. Oleh karena itu, jika DPR-RI tetap akan memaksakan hak tersebut, maka ada kemungkinan elemen buruh bersama elemen lainnya akan melakukan aksi unjuk rasa dan mereka akan semakin tidak respek dengan KPK.

*) Stefi V Farrah, pemerhati masalah Indonesia. Tinggal di Palembang, Sumatera Selatan.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent