May Day :Pengulangan Masalah Klasik
Ratusan ribu buruh memasuki Jakarta pada tanggal 1 Mei 2017 untuk berunjuk rasa memperingati Hari Buruh sembari menuntut perbaikan kondisi perburuhan. Sejumlah titik strategis ibukota Jakarta akan menjadi konsentrasi aksi unjuk rasa buruh seperti di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Senayan, dan Istana Negara. Aksi Buruh ini akan diikuti oleh sejumlah Serikat Buruh dari wilayah Jakarta dan sekitarnya. Selain di Jakarta, aksi serupa juga digelar di sejumlah wilayah di Indonesia seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Jogjakarta, dan daerah lainnya. Menurut pernyataan Said Iqbal yang menjabat sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), sekitar 500 ribu buruh akan berunjuk rasa di seluruh wilayah Indonesia, dan 150 ribu akan berunjuk rasa di Jakarta.
Perhatian khusus terhadap peringatan May Day yang diselenggarakan oleh kaum Buruh tidak lepas dari kaitannya dengan kekuatan pengorganisasian dan mobilisasi yang dilakukan oleh serikat-serikat buruh di Indonesia.Mobilisasi ratusan ribu buruh dalam unjuk rasa tentu memiliki bobot politik yang signifikan yang harus dipertimbangkan oleh para penguasa politik, termasuk pemerintah. Jumlah massa yang besar di satu sisi dapat menjadi kekuatan politik buruh untuk mempengaruhi bahkan menekan kekuasaan agar sejalan dengan kepentingan buruh. Sedangkan di sisi lain akan menjadi tantangan tersendiri bagi pihak otoritas untuk memastikan artikulasi politik kaum buruh ini tidak menimbulkan dampak negatif dalam pengendalian dinamika sosial dan keamanan dalam negeri, termasuk potensi aksi buruh menjadi kontra produktif bagi pembangunan industri dan ekonomi nasional.Hal inilah yang membuat ritus politik tahunan kaum buruh selalu mendapat perhatian dari siapapun pemangku kebijakan di dalam negeri.
Masalah perburuhan menjadi isu klasik yang selalu muncul setiap peringatan May Day dan momentum penentuan Upah Minimum Propinsi (UMP). Tuntutan akan peningkatan kesejahteraan buruh menjadi wacana berulang yang mendominasi setiap gerakan protes buruh, terutama May Day. Kalangan serikat buruh beranggapan bahwa posisi buruh selalu terpinggirkan dalam memperjuangkan hak-haknya ketika berhadapan dengan kepentingan menjaga iklim yang kondusif bagi investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Hal ini menempatkan seolah-olah kepentingan buruh adalah beban bagi dunia industri dan dapat menghambat pembangunan ekonomi.Konsekuensinya, selain buruh hanya mendapat akses kesejahteraan dalam rezim pengupahan minimum, saluran komunikasi yang buruh perlukan untuk menyalurkan aspirasinya juga dianggap telah mengalami pembatasan sedemikian rupa sehingga akhirnya unjuk rasa menjadi pilihan utama bagi kalangan buruh.
Relasi kepentingan yang bersifat mutualistik seolah tidak pernah atau tidak dapat berlangsung antara buruh, pengusaha dan pemerintah.Buruh dan pengusaha terkesan dalam hubungan yang kongtradiktif yang tidak terdamaikan sebagaimana khas dalam pandangan Marxian.Peranan pemerintah sebagai katalis dalam hubungan antara buruh dan pengusaha kemudian disikapi secara apriori sebagai keberpihakan pada kekuatan modal semata. Kondisi ketegangan hubungan antara kepentingan buruh dan pengusaha, serta pemerintah di sisi lain tentu harus dapat dicarikan jalan keluarnya. Baik buruh dan pengusaha merupakan asset nasional yang penting di tengah persaingan ekonomi antara kawasan dan global.
Persoalan klasik yang selalu menjadi isu perburuhan seharusnya tidak berulang menjadi ritus politik tahunan dalam unjuk rasa buruh.Perlu upaya yang sinergis baik pemerintah, pengusaha dan buruh untuk mencari jalan keluar yang saling menguntungkan dari relasi yang penuh dengan konflik kepentingan.Karena itulah perlu pendekatan baru untuk menangani permasalahan buruh secara komprehensif sehingga tidak berulang-ulang dan dapat merugikan kepentingan nasional yang lebih besar.Persoalan buruh tidak hanya mencakup dimensi kesejahteraan, tetapi juga termasuk perlindungan hukum, sumberdaya manusia dan daya saing, serta pasar kerja yang tentu harus menjadi perhatian bersama.
Problem Perburuhan
Salah satu hal yang seringkali ikut memperumit masalah perburuhan di Indonesia adalah aspek politisasi gerakan buruh. Jumlah massa buruh yang besar tentu menjadi objek politik menarik dalam persaingan kekuatan politik massa. Hal ini bisa saja mengakselerasi dukungan bagi kepentingan buruh, tetapi juga terbuka pula peluang bahwa kepentingan buruh hanya menjadi komoditas politik dalam kerangka memperebutkan dukungan buruh yang belum tentu akan diperjuangkan secara konsisten. Kondisi ini menjadi dilemma dalam menyelesaikan permasalahan perburuhan secara komprehensif mengingat objektifikasi untuk melihat masalah perburuhan harus beririsan dengan dinamika politik yang sarat persaingan kepentingan.
Sebagaimana persoalan yang juga muncul dalam aksi unjuk rasa peringatan May Day yang digelar tahun-tahun sebelumnya, peringatan May Day 2017 menghadirkan isu serupa dari sebelumnya seperti penolakan kebijakan sistem out sourcing, pekerja magang, rezim upah murah, serta penghapusan PP Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Buruh menilai bahwa PP tersebut telah menghilangkan suara buruh yang diwakili oleh serikat buruh dalam memberi masukan terhadap kebijakan pengupahan dan dianggap bertentangan dengan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dari isu-isu yang muncul, tampaknya konsentrasi buruh terpusat pada persoalan jaminan kepastian terhadap akses pekerjaan (job secure)serta sistem pengupahan yang layak mencerminkan kepentingan buruh(financial secure).
Jika dibandingkan dengan sejumlah negara di Asia, upah buruh di Indonesia relatif moderat, di atas Vietnam dan Kamboja, dan tidak terlalu terpaut jauh dengan China yang merupakan negara industri dengan potensi perburuhan yang sama dengan Indonesia. Tren kenaikan upah di Indonesia juga menunjukan perubahan yang cukup berarti meski belum dapat dibandingkan dengan sistem pengupahan di negara maju. Untuk UMP tahun 2017 ini mengalami kenaikan 8,25% dengan mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. UMP tertinggi di Jakarta sebesar Rp. 3.355.750,- dan Jogjakarta dengan UMP terendah sebesar Rp. 1.337.645,-.Meski demikian, sistem pengupahan yang diatur dalam PP 78/2015 ini tetap menjadi isu penolakan oleh kalangan buruh.
Persoalan pengupahan memang selalu menjadi hot issue yang menenggelamkan isu-isu faktual lainnya yang juga melingkupi perburuhan. Setidaknya ada sejumlah isu penting lainnya yang perlu mendapat perhatian, seperti :
Pertama, perempuan dan pekerja anak (woman and child labour).Amnesty Internasional merilis data bahwa banyak pekerja anak dengan usia mulai 8 tahun dalam berbagai sektor industri manufaktur dan perkebunan. Riset yang dilakukan oleh Amnesty International menyoroti temuan tentang pekerja anak dalam perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara yang dikelola oleh Wilmar, perusahaan sawit yang berbasis di Singapura.Amensty International juga menemukan bahwa pekerja perempuan mendapat upah yang tidak layak dan diskriminatif.Sementara itu, International Labour Organization (ILO) juga menyatakan bahwa ada sekitar 2,3 juta pekerja anak hingga tahun 2016 di Indonesia dengan rentang usia 5-17 tahun yang bekerja di sektor pertanian (59%), jasa (32,2%) dan industri (7%) yang sebagian besar terkonsentrasi di Indonesia bagian Timur. Meski Hanif Dhakiri, Menaker, menyatakan pihaknya telah mencanangkan pada tahun 2022 menjadi momentum bagi zero child labour, namun perlu dicatat bahwa pemerintah sejak tahun 2008 baru membebaskan sekitar 80.163 anak dari status sebagai pekerja anak. Karena itu perlu upaya ekstra untuk mewujudkan program zero child labour hingga dapat terealisasi pada tahun 2022.
Kedua, perlindungan buruh migran.Indonesia memang telah memiliki instrument hukum perlindungan buruh migran sebagaimana diatur dalam UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.Persoalannya, efektifitas perlindungan buruh migran tidak hanya menyangkut peranan pemerintah di sektor hulu terutama peningkatan SDM buruh dan mencegah arus illegal worker ke luar negeri maupun trafficking, tetapi juga menyangkut kerjasama dengan negara tujuan buruh migran. Bahwa sebagian besar negara utama seperti Timur Tengah yang menjadi tujuan buruh migran dari Indonesia tidak memiliki instrument hukum yang sama dan tidak meratifikasi UU perlindungan buruh migran. Hal ini menyulitkan pemerintah Indonesia dalam melakukan perlindungan hukum di negara tujuan.
Ketiga, daya saing dan akses terhadap pasar kerja. Ronaldo Munck menyatakan bahwa buruh akan menghadapi persoalan krusial seperti menurunnya industri padat karya, perubahan hubungan antara buruh dan majikan yang disertai dengan efesiensi dalam pemenuhan hak-hak sosial buruh, ketidakpastian ekonomi, serta peranan pasar yang makin menentukan regulasi perburuhan. Global Competitiveness Index (GCI) merilis bahwa posisi Indonesia melorot pada peringkat 41 dari 138 negara, dimana salah satu indicatornya adalah pasar tenaga kerja, selain isu korupsi, efesiensi birokrasi, kelayakan infrastruktur dan kesiapan tekhnologi.Posisi yang demikian tentu tidak menguntungkan di tengah persaingan industrialisasi yang ketat di kawasan Asia.Indonesia tidak lagi menjadi satu-satunya negara yang menarik bagi kepentingan industrialisasi, Thailand, Vietnam, Philipina, Kamboja dan China menjadi negara potensial lainnya yang dianggap memiliki kondisi domestik yang menguntungkan bagi investasi. Investasi asing akan disertai dengan arus tenaga kerja asing, termasuk tenaga kerja blue collar dan tenaga kerja rendahan lainnya seperti halnya ditunjukan dengan isu maraknya tenaga kerja dari China sebagai konsekuensi dari turn key project yang disepakati oleh pemerintah Indonesia dengan China. Hal ini akan berpengaruh terhadap akses pekerja Indonesia untuk memperoleh pekerjaan, terlebih ketika salah satu instrument proteksi yang diberikan pemerintah melalui aturan tentang kewajiban bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) menguasai bahasa Indonesia dicabut oleh pemerintah melalui Permenaker No. 16/2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA.
May Day sebagai Worker Annual Meeting
Persoalan unjuk rasa kalangan buruh dengan isu-isu perburuhan tiap peringatan May Day merupakan bagian dari hak-hak politik buruh. Namun, isu klasik yang selalu muncul serta berkembangnya kekhawatiran dari berbagai pihak tentang dampak yang mungkin ditimbulkan dari mobilisasi massa tentu perlu untuk direspon secara kritis. Unjuk rasa menunjukan bahwa saluran komunikasi antara buruh dan para pemangku kepentingan lainnya tidak berjalan secara efektif.Interaksi buruh, pemerintah dan pengusaha hanya terjadi intens ketika dalam penentuan upah dan sengketa hubungan industrial.Kemitraan strategis yang seharusnya dijalin justru kerap berganti menjadi persaingan kepentingan yang diametral.Hal ini dapat menjadi boomerang bagi kepentingan semua pihak dan akhirnya merugikan masyarakat.
Momentum May Day telah diakui sebagai hari dimana para buruh, pemerintah dan pengusaha menaruh perhatian tentunya dapat didorong tidak hanya diwarnai dengan aksi-aksi jalanan. Momentum May Day justru dapat dikembangkan menjadi semacam momentum pertemuan tripartid antara pemerintah, buruh dan pengusaha untuk membahas berbagai persoalan dan variabel yang melingkupi masalah-masalah perburuhan secara komprehensif. Pelembagaan momentum ini akan menjadi kanal komunikasi antara berbagai kekuatan buruh dan seluruh pemangku kepentingan untuk duduk bersama mencurahkan gagasan dan sumber daya yang dimiliki untuk membangun sinergi menata dan memperbaiki kondisi perburuhan yang mendukung bagi kepentingan pembangunan nasional. Dengan demikian, worker annual meeting antara buruh dan seluruh pemangku kepentingan akan menjadi public sphere baru bagi kalangan buruh selain aksi-aksi jalanan yang kerap dilakukan dan mengulangi masalah-masalah klasik buruh dan tak berujung pada penyelesaian yang kongkrit.
*) Arif Rahman, Peneliti di LSISI Jakarta