Setelah Pilkada DKI Usai: Mengurai Kekalahan Badja
Kemenangan Paslon no 3, Anies-Sandi, yang telak (landslide) atas Paslon 2, Ahok-Djarot, sebagaimana dilaporkan oleh berbagai lembaga yang melakukan hitung cepat (quick count, QC) mengakhiri Pilkada DKI 2017 yang penuh dengan ketegangan, kegaduhan, gejolak politik, dan bahkan kekhawatiran. Bisa dikatakan ujung dari Pilkada DKI ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia, setidaknya secara formal, cukup kokoh dan bisa diandalkan karena dapat menjamin proses politik yang sangat penting ini dengan damai, lancar, dan aman.
Jika kita melihat hasil beberap QC, maka Paslon 3 menang dengan selisih sekitaran 15-17%. Kita bisa membaca setidaknya dari 5 sumber di bawah ini:
1. PolMark Indonesia: Paslon 2 (42, 44%); Paslon 3 (57,56%)
2. LSI Denny JA: Paslon 2 (42,33%); Paslon 3 (57,67%)
3. SMRC: Paslon 2 (41,94%); Paslon 3 (58,06%); dan
4. Kompas TV: Paslon 2 (42%); Paslon 3 (58%)
5. Median: Paslon 2 (41,99%); Paslon 3 (58,01%)
Secara resmi, hasil Pilkada DKI 2017 tentunya akan menunggu pengumuman dari KPUD DKI. Namun dengan menggunakan laporan hasil-2 QC di atas, yang nyaris seragam itu, sudah bisa dipastikan bahwa kemenangan telak diraih di pihak Paslon 3.
Bagaimana menjelaskan hasil yang sangat kontras dengan Pilkada Putaran pertama yang dimenangi oleh Paslon 2 sebelumnya? Kendati cukup tipis, yaitu Paslon 2 (42,99 %), dan Paslon 3 (39,95 %), tetapi kemenangan pertama tersebut merupakan sebuah capaian yang signifikan karena halangan dan hambatan-hambatan yang dialami oleh pasangan “Badja” sangat besar. Munculnya paslon 1 (Agus Yudhoyono-Sylvia Murni), bahkan sempat mengalahkan popularitas kedua pesaingnya, setidaknya sampai bulan Januari 2017.
Kekalahan telah Paslon 2 pada putaran kedua itu dikarenakan beberapa faktor penyebab:
1. Ketidak berhasilan Paslon Badja untuk mengarahkan para pemilih paslon 1 untuk memilih Paslon 2, dan sebaliknya keberhasilan Paslon 3 untuk melakukan hal tersebut. Sangat mungkin bawa selisih perolehan sebesar 15-17% itu ditentukan oleh para pemilih Paslon 1, yang memeperoleh 17% dalam putaran pertama sebelumnya.
2. Paslon 2 tidak mampu menggalang pemilih di luar basisnya, yaitu kelas menengah dan menengah keatas saja. Sementara para pemilih lapis bawah memiliki kecenderungan untuk memilih Paslon 3, khususnya karena tertarik dengan isu-isu peningkatan kesempatan kerja dan perumahan. Peningkatan jumlah pemilih, dari 75% pada putaran 1 menjadi 80% pada putaran 2, menunjukkan peningkatan partisipasi pemilih DKI, khususnya di lapis bawah yang sebelumnya golputers atau peragu (doubters).
3. Kendati Paslon 2 meraih tingkat kepuasan publik yang tinggi terhadap capaian, kinerja, dan hasil-hasil pemerintahannya (sekitar 70%), Namun kepuasan tersebut tidak berbanding lurus dengan elektabilitas. Faktor lain yang sangat penting ikut bermain di sini adalah faktor identitas, khususnya sentimen agama dan ras yg masih cukup kuat sebagai alasan memilih Paslon.
4. Parpol-parpol yang mengusung dan mendukung Paslon 2 ptidak efektif untuk melakukan mobilisasi suara dalam rangka menambah perolehan pada putaran 1. Jika dilihat dari hasil QC di atas, perolehan Paslon 2 mengalami stagnasi (kemandegan), sedangkan Paslon 3 mengalami kanaikan yang tinggi. Mesin parpol dikalahkan oleh mesin organisasi kemasyarakatan, khususnya ormas Islam, yang digunakan secara massif dan sistematis oleh Paslon 3. Sentimen keagamaan terbukti masih sangat efektif sebagai “simbol perlawanan” dan alat mobilisasi politik di DKI
5. Paslon 2 sangat terbantu elektabilitas dan popularitasnya melalui ajang debat publik. Pada putaran 1, debat publik yang berlangsung 3 kali sangat berperan besar dalam mengubah pandangan para peragu dan mereka yg belum memutuskan memilih paslon 2. Namun debat pada putaran kedua tidak memiliki daya ubah (game changing) seperti sebelumnya. Debat ke 4 (final) hanya mampu mengukuhkan apa yang sudah diyakini oleh pemilih tetap Paslon 2, namun tidak cukup efektif untuk menarik dukungan baru.
Itulah beberapa faktor yang menjelaskan kekalahan telak Paslon 2 pada putaran ke 2. Seperti tulisan penulis sebelumnya, penulis ingin mengulangi lagi, bahwa putaran kedua adalah memilih Paslon yang terbaik di antara yang baik, setidaknya yang berhasil dimunculkan dalam tahap final. Karena itu semangat rekonsiliasi menjadi penting pasca-Pilkada 2017 DKI ini baik pada tataran elit maupun masyarakat umumnya.
Sebab tantangan nyata di ibu kota RI ini masih sangat banyak, bukan hanya di bidang pertumbuhan ekonomi, perataan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, peningkatan mutu pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan proteksi lingkungan. Tetapi tak kalah penting adalah meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman bagi kamnas, khususnya bahaya primordialisme dan sektarianisme serta SARA.
Jika ‘tenun kebangsaan’ tercabik, maka tidak ada pembangunan fisik sehebat apapun yang akan mampu mempertahankan keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia, termasuk yg di Jakarta.
Selamat kepada kedua Paslon yg telah berjuang dengan gigih demi NKRI dan DKI.
*) Muhammad A S Hikam, pengajar di Universitas Presiden, Sekolah Tinggi Intelijen Negara, Sesko TNI dan Universitas Pertahanan.