Jadilah Pemilih Cerdas dalam Pilgub DKI Jakarta Putaran Kedua

Jadilah Pemilih Cerdas dalam Pilgub DKI Jakarta Putaran Kedua
sumber: kompasiana.com

Pilkada Gubernur DKI Jakarta putaran kedua akan dilaksanakan pada 19 April 2017 yang akan diikuti oleh dua Paslon yaitu Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat dan Paslon Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta putaran kedua terjadi setelah tidak ada satupun Paslon yang mendapatkan perolehan suara 50% + 1 di putaran pertama yang digelar pada 15 Februari 2017.

Perkembangan menjelang Pilgub DKI Jakarta putaran kedua menunjukkan eskalasi menuju ke arah yang kurang kondusif sudah dapat diidentifikasi dengan munculnya sejumlah isu dan permasalahan menonjol diantaranya adanya pelaporan berbagai “kelompok kepentingan” terhadap dugaan pelanggaran hukum atau korupsi yang dilakukan kedua Paslon Pilgub DKI Jakarta, pro kontra terkait penangkapan dan penahanan terhadap KH. Muhammad Al Khathath oleh kepolisian menjelang aksi massa 31 Maret 2017, dugaan ketidaknetralan penyelenggara Pilkada DKI Jakarta dengan pernah hadirnya “oknum pimpinan” organisasi yang menggelar hajatan politik tersebut dalam sebuah rapat Timses Paslon, walaupun sudah diberikan teguran kepada yang bersangkutan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tetap menimbulkan prasangka lembaga quasi negara tersebut diprediksi tidak netral oleh masyarakat, reaksi terkait sidang penuntutan kasus Ahok ditunda pelaksanaannya akibat ketidaksiapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan vonis terhadap Ahok, juga telah membuat image framming bahwa ada “intervensi” dalam kasus Ahok, maraknya “video menghebohkan” terkait Pilgub DKI Jakarta, adanya instruksi dari Parpol tertentu, FPI dan kawan-kawan agar massanya “menggeruduk” ke Jakarta dengan alasan mengawal Pilgub DKI Jakarta, termasuk BEM-SI, adanya kontrak politik Koalisi Buruh Jakarta dengan Paslon Anies-Sandi ataupun isu adanya mobilisasi finansial dari setiap anggota legislatif dari Parpol tertentu guna mendukung salah satu Paslon.

Sikon memanas

Keberangkatan massa dari dua Parpol ke Jakarta dengan alasan untuk mengawal dan mendukung Paslon yang didukung kedua Parpol tersebut yang saat ini sedang “head to head” dalam putaran kedua Pilgub DKI Jakarta ditambah dengan “niat politik” kalangan Ormas seperti GNPF-MUI dkk yang akan melakukan “Tamsya Al Maidah 51” dan mahasiswa yang juga akan datang berbondong-bondong ke Jakarta dikhawatirkan akan memicu konflik horizontal, bahkan menggambarkan “insecurity situation in Jakarta” menjelang Pilgub, sehingga wajar jika kemudian ada rumors bahwa pihak Kepolisian dalam pemetaannya menyebutkan tidak ada TPS yang aman di Jakarta, sehingga setiap TPS akan dijaga aparat Polri, TNI ditambah dengan Linmas.

Keberangkatan kader kalangan Parpol “menggeruduk Jakarta” untuk mengawal Pilkada DKI merupakan sebuah indikator betapa kuatnya magnet politik di Jakarta, sehingga kedua Parpol tersebut harus mengerahkan kadernya di daerah untuk membantu memenangkan Paslon yang diusung mereka.

Sementara itu “ijtihad politik” 12 elemen buruh dengan menandatangani kontrak politik dengan Paslon Anies-Sandi juga menuai reaksi pro dan kontra terkait efektifitasnya. Kelompok yang kontra, menilai kontrak tersebut dianggap belum sepenuhnya mewakili lapisan elemen buruh yang ada di Jakarta dan diperkirakan dukungan politik elemen buruh tersebut tetap akan dimanfaatkan untuk mencari posisi tawar dalam mengekespansi dukungan ke berbagai lapisan organisasi buruh. Diakui atau tidak, diantara elemen kelompok buruh juga mengalami fragmentasi atau pecah dukungan dan tidak sedikit elemen buruh yang pro Ahok-Djarot, walaupun Ahok juga telah dinobatkan sebagai “gubernur upah murah” oleh kelompok buruh yang mendekat ke Anies-Sandi. Kedua Paslon masih tetap mempertimbangkan kekuatan kelompok buruh disebabkan kelompok ini memiliki massa yang cukup potensial dengan tetap mengedepankan isu perjuangan buruh, dan tetap mempunyai kekuatan massa untuk melakukan “political and mass pressure”, walaupun keampuhannya juga belum teruji dengan salah satu bukti hasil Pilkada Bupati Bekasi tahun ini.

Jadilah pemilih cerdas

Kita sebagai bangsa harus mengelus dada dengan semakin “brutalnya” praktik perebutan kekuasaan di Indonesia, karena ajaran luhur dari Pancasila yang katanya sudah kita akui bersama dengan ideologi negara dengan prinsip gotong royong terkesan diabaikan, dan banyak kelompok dalam memenangkan kontestasi politik di Indonesia menggunakan prinsip Machiavelisme atau menghalalkan segala cara atau the winner takes all (pemenang mengambil semuanya). Brutal, rendah dan kurang membanggakannya praktik politik tersebut tampak jelas dalam design dan mozaik gambaran Pilgub DKI Jakarta putaran kedua ini, semuanya melakukan apa yang disebut oleh Amien Rais dengan konsep “low politics” atau politik barbar.

Ada beberapa indikasi kuat mengapa politik dalam Pilgub DKI Jakarta sangat brutal dan bercirikan “low politics” antara lain maraknya hate-speech atau ujaran kebencian dalam ranah Medsos yang kadang-kadang disiarkan atau “dikutip” dalam media mainstream, sehingga tidak mengherankan jika menurut catatan penulis tampaknya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah memberikan sanksi kepada beberapa media. Bahkan, konon diturunkan 688 buah spanduk bersifat provokatif dan 936 buah spanduk yang tidak memenuhi ketentuan selama hajatan Pilgub DKI Jakarta.

Mereka yang sedang “bermain-main” dengan isu SARA, isu primordialisme ataupun berbagai bentuk fitnah politik lainnya jelaslah bukanlah tipe pemimpin melainkan tipe provokator dan elit yang kurang waras pendidikan politik dan pendidikan kebangsaannya. Mereka kurang sadar menggunakan isu SARA dapat merobek tenunan kebangsaan dan mendelate Indonesia selamanya dalam peta politik global.

Oleh karena itu, sudah saatnya menjadi pemilih cerdas dengan memilih berdasarkan hati nurani, menolak intervensi dari kalangan manapun, menerima uang yang diberikan Paslon yang melakukan money politics namun tidak mencobloskan pada hari pemungutan suara (sebagai pembelajaran etika berdemokrasi dan etika berpolitik bagi oknum Paslon ataupun Timsesnya yang melakukan politik uang), memilih pemimpin yang memiliki integritas, kapabilitas, loyalitas, karakter dan mengayomi sesama dengan mampu menjaga etika politiknya, menjadi pemilih yang tidak terpengaruh isu SARA dan isu primordialisme lainnya dan lain-lain. Namun, upaya mewujudkan pemilih yang cerdas ini tidak akan tercapai jika pemerintah sebagai “pembina politik” tidak melakukan literasi politik, literasi kebangsaan dan edukasi kenegarawanan kepada publik dengan memberikan contoh/teladan yang baik, benar-benar menjaga netralitas bukan karena lips service saja atau takut kehilangan jabatannya. Literasi terhadap netizen atau pengguna Medsos juga harus dilakukan dengan serius bukan basa-basi atau gombal politik semata. Mari jaga kondusifitas Jakarta. Malu kita sebagai bangsa, jika Pilkada DKI Jakarta ricuh dan saling berburuk sangka. Semoga.

*) Herdiansyah Rahman, pemerhati politik dan aktivis di Pusat Kajian Politik Strategis Indonesia serta kolumnis di beberapa media massa. Tinggal di Semarang, Jawa Tengah.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent