Islam Nusantara dan Ancaman Ideologi Transnasional
Proses Islamisasi di Indonesia tidak seperti di Negeri Arab yang memang sudah menganut agama Islam, sedangkan di Indonesia Islam diperngaruhi oleh adat dan kepercayaan sebelumnya yang masih menganut budaya-budaya Syiri karena Islam lahir di Indonesia tidak secara sendirinya dan dipengaruhi oleh faktor Islamisasi.
Islam di Indonesia merupakan Islam Nusantara, karena lahir akibat proses Islamisasi dari beberapa tokoh-tokoh pahlawan, seperti yang terjadi misalnya di Kabupaten Gowa dan Bone yang dipengaruhi oleh Sultan Alauddin, ataupun di daerah lainnya di Indonesia yang diajarkan oleh beberapa wali.
Harus diakui, Islam di Sulawesi berbeda dengan Jawa dan Sumatera, yang mana di Jawa dan Sumatera umat Islam lebih menokohkan ulama-ulama muslim asal negeri sendiri dengan mengatakan tradisi ziarah kubur yang telah menjadi agenda rutin dan bukan malah lebih menokohkan ulama-ulama atau tokoh-tokoh Islam di negara lain. Dengan arti kata lebih menghormati perjuangan ulama-ulama dan tokoh tokoh Islam yang ada di daerah sendiri.
Untuk merealisasikan Islam Nusantara ternyata tidak mudah. Di era Orde Lama ditentang dengan munculnya DI/TII yang berupaya menegakan syariat Islam merupakan gerakan baru yang muncul dari pada adanya Islam Nusantara.
Sekarang ini, muncul gerakan-gerakan Islam lain seperti Wahabi, HTI dan lain-lain di Indonesia menimbulkan kegaduhan sehingga adanya indikasi keterlibatan terorisme di dalam kelompok-kelompok tersebut. Dampaknya menimbulkan pengkotak-kotakan di antara golongan Islam sehingga menimbulkan benturan sehingga Islam Nusantara makin terkikis.
Gerakan kelompok ideologi transnasional ini dalam setiap aksinya selalu ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan seperti adanya bendera Indonesia yang bertuliskan Lafadz Allah merupakan sikap yang mempercampuradukan sesuatu hal dengan adanya pengaruh-pengaruh dari Timur Tengah.
Banyak kalangan menilai sebenarnya kelompok penyebar ideologi transnasional di Indonesia bukanlah orang yang mengerti sejarah Islam di Indonesia secara benar, sebab karakter Islam di Indonesia dengan Islam di Timur Tengah merupakan dua hal yang berbeda-beda dimana pengaruh, ajaran dan sejarah Islam yang terlahir di Indonesia dan Timur Tengah.
Fenomena Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
Banyak kalangan menilai bahwa HTI merupakan ajaran yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UU karena HTI lebih bertujuan untuk menghancurkan demokrasi dan memperjuangan penegakan khilafah. Munculnya bendera Indonesia yang bertulisakan Lafadz Allah pada aksi unjuk rasa yang terjadi di Jakarta merupakan pelecehan negara, karena jika bendera tersebut dijadikan warna hijau maka terbentuklah bendera salah satu negara di Timur Tengah. Bagaimanapun juga, organisasi HTI yang memiliki tujuan untuk menegakan khilafah, yang mana hal tersebut bertentangan dengan 4 pilar kebangsaan Indonesia.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan Ormas yang terdaftar di Kemendagri RI, namun dalam praktiknya memperjuangkan terbentuknya sistem khilafah dan anti terhadap Pancasila, demokrasi, serta ideologi lain. Upaya HTI menjalankan sosialisasi bendera Rasulullah telah menimbulkan penolakan, sehingga berpotensi menimbulkan konflik apabila tidak diantisipasi.
Tidak hanya HTI saja yang sekarang ini diperbincangkan luas ditengah masyarakat namun juga FPI. Kedua organisasi ini banyak dibahas kiprah dan fenomenanya baik dalam acara diskusi atau seminar di Jakarta ataupun di beberapa daerah, juga menjadi viral di beberapa komunitas netizen atau pengguna Medsos di berbagai daerah dengan pesan utama yang disampaikan apakah kehadiran HTI dan FPI diperlukan oleh bangsa Indonesia?
Akhirnya diskursus terkait tuntutan pembubaran HTI dan FPI merebak dimana-mana, apalagi setelah terjadinya keributan antara massa GP Ansor dengan kelompok massa FPI yang turut hadir mendukung kegiatan HTI di Perempatan Jalan Jend Sudirman – Jalan Kartini di Kota Makassar, Sulawesi Selatan tanggal 16 April 2017 yang lalu.
Keributan awalnya dipicu oleh oknum anggota FPI Kota Makassar atas nama M alias H yang saat orasi menyatakan pernyataan sarkasme dan sinisme dengan menilai siapapun pihak yang menolak kegiatan HTI adalah komunis dan kafir sambil mengibarkan bendera dan mengatakan bahwa benda ini bukan bendera teroris tapi kalimat tauhid lailahaillallah. Bendera itu kemudian dicoba direbut oleh beberapa pemuda Ansor yang berada di sekitar Jl. Jenderal Sudirman atau lapangan Karebosi dari tangan massa HTI dengan menyatakan bendera ini tidak boleh berkibar di Indonesia sehingga terjadi rebutan bendera antara massa HTI dari unsur FPI dan pemuda Ansor.
Fenomena soal keberadaan HTI dengan perjuangan tunggalnya menegakkan khilafah Islamiyah juga dibahas di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pertemuan intinya menyarankan agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat menjaga empat pilar kebangsaan, dan perlunya difasilitasi pertemuan atau dialog dengan HTI dan mengharap serta mengajak kepada organisasi-organisasi yang ingin mengganti ideologi negara Pancasila dengan ideologi apapun untuk kembali lagi ke NKRI. Bahkan masyarakat di Kabupaten Barru mengharapkan peran lebih optimal dari keberadaan Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) dalam melakukan deteksi dini terhadap hal-hal yang dapat mengganggu keamanan negara.
Diakui atau tidak, keberadaan HTI memang mengkhawatirkan perkembangan situasi dan kondisi nasional, bahkan dapat membahayakan eksistensi NKRI dengan ideologi Pancasilanya, sebab HTI yang mempunyai program kerja menegakkan sistem khilafah di Indonesia jelas bertentangan secara diametral dengan Pancasila itu sendiri.
Tidak hanya itu saja, dalam berbagai propaganda HTI bertema besar “Khilafah Kewajiban Syari, Jalan Kebangkitan Umat” juga disosialisasikan sikap HTI yang melawan dan menolak investor asing, jelas mencemaskan rakyat Indonesia karena bagaimanapun juga tanpa investasi asing sebagai “darah roda perekonomian” maka bukanlah kemakmuran yang dicapai negara tersebut melainkan kemiskinan, keterbelakangan bahkan disintegrasi bangsa akibat merosotnya ekonomi nasional. Pemahaman seperti ini yang kurang disadari oleh HTI itu sendiri sehingga eksistensinya mendapat reaksi kontra yang semakin lama semakin membesar dan meluas.
Bahkan, salah seorang tokoh agama Islam di Kalimantan Tengah mengatakan, jika terbukti ada kecenderungan penyebaran faham khilafah oleh HTI, maka penegak hukum dapat menindaklanjutinya melalui proses hukum. Khilafah bukanlah konsep yang cocok diterapkan di Indonesia. Selain itu, HTI tidak memiliki sosok ulama tanah air dan tidak memiliki wawasan kebangsaan, serta belum mempunyai komitmen nyata bagi masyarakat dan negara. So, bagaimana selanjutnya?
*) Arif Rahman, pemerhati masalah sosial dan budaya. Tinggal di Pandeglang, Banten.