Catatan Pilkada DKI Putaran Kedua: May The Best Prevail
Hari ini (19 April 2017) adalah hari penentuan bagi siapa diantara dua Paslon yang bertanding dalam Pilkada DKI putaran kedua yang akan unggul dan mendapat kepercayaan dari para pemilih di ibukota Republik Indonesia tersebut. Baik Paslon nomor 2, Ahok-Djarot, atau Paslon nomor 3, Anies-Sandi, keduanya adalah pasangan-pasangan yang telah memenuhi persyaratan sesuai aturan perundang-undangan dan terbukti dipilih oleh para pemilih di Jakarta sampai pada putaran final yg menentukan ini.
Selain itu, dan yg lebih penting lagi, fakta bahwa mereka berdua adalah finalis itu juga bermakna bahwa kedua Paslon tersebut, dalam pandangan rakyat Jakarta, memiliki kualifikasi, kualitas, dan kapasitas yang tinggi dan baik. Hari ini, para pemilih di DKI Jakarta hanya tinggal memutuskan mana yang TERBAIK diantara keduanya. Walhasil, pada hakekatnya, siapapun Paslon yang muncul sebagai pemenang dalam pemilihan penentuan hari ini, adalah yang dianggap rakyat DKI sebagai pilihan terbaik diantara yang baik.
Kendati demikian, kita juga tak menutup mata bahwa dinamika Pilkada DKI 2017 penuh dengan nuansa ketegangan, kekhawatiran, dan, bahkan, kegaduhan, yang dirasakan bukan hanya oleh mereka yang tinggal di ibukota Republik ini, tetapi juga merembet ke seluruh negeri. Pemberitaan masif yang berlangsung 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu terkait dengan dinamika Pilkada di Jakarta, mulai dari yang paling faktual dan rasional sampai yang paling sensasional dan emosional, bisa dibaca, didengar, dan dilihat oleh seluruh rakyat Indonesia. Khususnya mereka yang memiliki akses terhadap media dan media sosial. Implikasinya adalah, antara lain, Pilkada di Jakarta yang sejatinya adalah daerah sudah bernuansa nasional, seperti tergambarkan dalam istilah yang populer sejak September 2016, yakni: “Pilkada Rasa Pilpres” itu.
Ada sisi positif dan negatif dari hingar bingarnya proses Pilkada DKI, menurut pandangan penulis. Yang positif tentu saja banyak, termasuk dan yang terpenting adalah sebagai bukti bahwa demokrasi yang diperjuangkan dan dihasilkan melalui reformasi sejak 1998, kini bisa dilihat hasilnya yang kongkrit terkait pelaksanaan prinsip dari, oleh, dan untuk rakyat. Juga Pilkada DKI menjadi etalase bagi dunia bahwa demokrasi benar-benar bisa dilaksanakan oleh sebuah negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, suatu hal yg tidak mudah untuk diperjuangkan dalam wacana dan kiprah politik di tingkat internasional.
Demikian pula fakta bahwa pesta demokrasi ini menampilkan aksi massa yang berlangsung berkali-kali dan melibatkan ratusan ribu manusia (jika ditotal berjumlah lebih dari sejuta), sebuah fenomen yang pertama kali terjadi di Indonesia dan barangkali di seluruh dunia. Aksi-aksi massa tersebut, yang berlangsung aman dan tidak menyebabkan kerusuhan, adalah salah satu bukti bahwa kapasitas demokrasi di Indonesia sangat baik, di samping juga indikasi bahwa aparat keamanan di Indonesia semakin berkualitas.
Sisi negatif yang bisa dijadikan pelajaran penting bagi demokrasi dan perjalanan bangsa dari Pilkada DKI adalah masih tingginya daya tarik politik identitas, primordialisme, dan sektarianisme. Akibatnya Pilkada Jakarta ini dicemari oleh isu-isu SARA yang menciptakan pemilahan dan perpecahan dalam batang tubuh masyarakat Jakarta serta meluber sampai di daerah. Agama (Islam), sebagai salah satu sumber bagi moralitas publik, mengalami politisasi sedemikian rupa sehingga polarisasi politik tampak nyata dan menjadi ancaman bagi rasa kebersamaan dan keindonesiaan. Politisasi ini diperparah lagi oleh fakta bahwa kelompok-kelompok yang anti terhadap demokrasi, Pancasila, dan UUD 1945, ikut mengambil kesempatan di dalamnya, dengan mengeksploitasi Islam dan memanipulasinya menjadi ideologi dan gerakan politik. Dan kasus tuduhan penodaan dan/atau penistaan agama oleh Gubernur Ahok, yg masih berproses di Pengadilan sampai tulisan ini dibuat, dijadikan sebagai simbol, wahana, dan pijakan bagi pengembangan politik identitas yang berdampak memecah belah warga DKI dan bahkan bangsa Indonesia.
Pemilihan putaran kedua hari ini akan ikut menentukan apakah Pilkada DKI akan cenderung menyumbang kepada nilai positif atau negatif yang disebutkan di atas. Dan siapapun pemenangnya, ia harus bekerja keras menutup luka-luka dan menyembuhkan Jakarta akibat dampak politik identitas dalam bentuk-bentuk primordialisme, sektarianisme, dan SARA itu. Jakarta bukan satu-satunya wilayah Indonesia, namun ia tetap menjadi salah satu ‘kaca benggala’ bagi stabilitas dan keamanan nasional. Semoga pemilihan putaran kedua ini berjalan lancar, aman, bebas, jujur dan adil. dan semoga yang terbaiklah yang terpilih. Insya Allah, Tuhan selalu memberikan pertolongan dan rahmatNya kepada bangsa Indonesia. Amin…
MAY THE BEST PREVAIL.
*) Muhammad A S Hikam, pengajar di Universitas Presiden, Sekolah Tinggi Intelijen Negara, Sesko TNI dan Universitas Pertahanan.