Prospek Hubungan Indonesia-Australia

Prospek Hubungan Indonesia-Australia

Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia kembali menghangat setelah ditemukannya materi pelatihan dalam kerjasama antara TNI dan Australia Defence Force (ADF) yang melecehkan harkat dan martabat Indonesia. Dalam kurikulum pelatihan tersebut, Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia secara sengaja diplesetkan dengan istilah Pancagila, integrasi Papua disebut sebagai okupasi militer, dan TNI dituding sebagai aktor pelanggar HAM di Papua.  Sulit untuk mengelak bahwa kurikulum pelatihan tersebut tidak hanya melecehkan harkat dan martabat Indonesia, tetapi juga dapat menanamkan pemahaman dan nilai-nilai yang keliru pada militer ADF tentang Indonesia.

Menanggapi temuan tersebut, Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, pada 9 Desember 2016 menginstruksikan penghentian sementara kegiatan kerjasama militer ADF dan TNI, terutama meliputi latihan bersama, pendidikan, tukar menukar perwira, hingga kunjungan antar pejabat untuk masa waktu yang tidak ditentukan.  Sikap ini patut diapresiasi mengingat persoalan ideologi Pancasila adalah hal yang fundamental bagi Indonesia, tidak bisa siapapun dari negara manapun menistakan ideologi negara. Pemelintiran fakta sejarah tentang peranan TNI di Papua telah merugikan kredibilitas TNI dan Indonesia. Pemerintah Australia seharusnya menyadari bahwa persepsi tentang stereotype tertentu atas TNI dan Indonesia dapat berimplikasi pada strategic partnership antara ADF dan TNI dalam memainkan peranan stabilitas kawasan.

Kebijakan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo sendiri mendapat respons dukungan beragam di tanah air.  Menteri Pertahanan RI, Ryamizard Ryacudu, menyatakan bahwa penghentian kerjasama militer diharapkan tidak berdampak pada kepentingan strategis Indonesia jangka panjang dan mengganggu hubungan baik antara Indonesia–Australia. Ryacudu juga menyatakan akan membuka komunikasi dengan Menhan Australia untuk mendapat penjelasan secara memadai kasus ini hingga dapat dicarikan solusi terbaik.  Sementara itu, Presiden Joko Widodo juga menyatakan perlunya perbaikan pada level operasional agar tidak memanaskan hubungan Indonesia-Australia.  Jokowi juga menekankan prinsip dan komitmen antar dua negara untuk saling menghormati dan tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing.

Reaksi Indonesia mendapat respons oleh pemerintah Australia. Menteri Pertahanan Australia, Marise Payne, menjelaskan pihaknya akan menggelar investigasi dan menindak pelaku pelanggaran sebagai komitmen untuk membangun hubungan kerjasama yang erat antara militer Indonesia-Australia. Sedangkan Marsekal Mark Binskin, Panglima ADF juga menyatakan permohonan maaf atas isi kurikulum tersebut dan menarik semua materi pelajaran memuat soal yang mendiskreditkan Indonesia, terutama menyangkut TNI, Papua dan plesetan Pancasila.  Binskin juga menjanjikan akan menginvestigasi bagaimana sampai ada pelajaran seperti itu dan memberi sangsi pihak yang bertanggungjawab, serta mengkoordinasikan hasil investigasi tersebut pada TNI.

Masalah Klasik Berulang

Masalah ketegangan hubungan antara Indonesia-Australia sesungguhnya bukan kali ini saja. Pihak Australia memang kerap memunculkan isu yang memicu reaksi publik dan pemerintah Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari standar ganda yang dilakukan oleh Australia atas persoalan Papua. Meski pemerintah Australia menyatakan pengakuannya terhadap kedaulatan Indonesia atas Papua, namun pemerintah Australia sangat permisif terhadap sejumlah kejadian yang dapat dinyatakan sebagai upaya provokatif dan tidak bersahabat, semisal dengan pemberian suaka politik pada Beny Wenda, aktivis Papua merdeka, dukungan Richard di Natale anggota parlemen Australia dari Partai Hijau yang menyatakan dukungannya terhadap gerakan Papua Merdeka, serta aksi penerobosan dan pengibaran bendera Bintang Kejora di Konjen RI, di Melbourne-Australia yang merupakan pelanggaran hukum internasional.

Kerjasama militer dengan Australia juga pernah dihentikan ketika intelejen Australia menyadap sejumlah pejabat dan tokoh di Indonesia, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2013 silam. Masalah pelik lain juga menyangkut penanganan imigran yang hendak menuju Australia. Militer dan Coast Guard Australia diketahui kerap melanggar kedaulatan dengan memasuki perairan Indonesia untuk menghalau imigran yang hendak memasuki Australia. Penerapan kebijakan “zero entry” ditempuh oleh Australia setelah Indonesia memutuskan kerjasama penanganan imigran gelap pada tahun 2014. Kini, Australia dibanjiri imigran gelap yang ditahan di sejumlah kamp dan disinyalir kuat sering terjadi pelanggaran HAM.

Sikap Australia ini tentu tidak sejalan dengan semangat dan kesepakatan kerjasama strategis sektor pertahanan dan keamanan yang tercakup dalam “Lombok Treaty” yang ditandatangani pada 13 November 2006, yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2007. Prinsip saling menghormati kedaulatan antar negara dan menjaga kepentingan bersama tampaknya tidak efektif menjadi dasar bagi Australia dalam membangun kerjasama dengan Indonesia sebagai negara sahabat. Lihat saja dengan penempatan 2500 personel Marinir dari Amerika Serikat di Pulau Cocos, Darwin-Australia yang berjarak sekitar 500 mil dari Indonesia tentu saja wajar jika memicu pertanyaan. Keberadaan pasukan AS di Australia tentu tidak relevan dengan situasi damai kawasan, memicu kesalahpahaman dan dapat menimbulkan ketegangan baru, apalagi jika secara geopolitik terbuka potensi yang dapat ditafsirkan sebagai ancaman bagi kepentingan nasional Indonesia di kawasan.

Jika kita cermati masalah yang seringkali timbul antara Indonesia dan Australia selalu berawal dari aksi sepihak yang dilakukan oleh elemen-elemen dalam negeri Australia yang kemudian memicu reaksi dari  Indonesia. Pandangan stereotype dari komunitas Australia, baik state actors maupun non state actors terhadap Indonesia menjadi riak-riak yang mempengaruhi pasang surut hubungan kedua negara.  Label tertentu dilekatkan dan ditransformasikan dalam perspektif dan doktrin politik di Australia tentang Indonesia sebagai ancaman utama kepentingan Australia di kawasan yang kemudian melahirkan sejumlah persoalan berulang yang memicu ketegangan antara dua negara. Tanpa perubahan perspektif dan doktrin yang menjadi acuan Australia dalam membangun hubungan dengan Indonesia, masalah klasik yang akan selalu muncul dan menjadi halangan menuju level strategic partnership yang kuat antar kedua negara.

Revitalisasi Kemitraan

Australia sebagai negara sahabat harus dapat meyakinkan kembali publik dan pemerintah Indonesia bahwa mereka dapat menjadi sekutu efektif yang saling menguntungkan kedua negara. Persoalan persepsi dan doktrin politik yang stereotype soal Indonesia harus mereka rubah dan tunjukan secara faktual dengan tidak lagi permisif dan mentolerir isu-isu yang kerap muncul dalam domestik Australia yang menjadi pangkal bibit ketegangan antar dua negara. Australia perlu menyadari bahwa tanpa dukungan Indonesia, mereka akan mengalami berbagai masalah yang dapat berimplikasi pada kepentingan dalam negeri seperti halnya isu tentang imigran, kepentingan ekonomi mengingat Indonesia merupakan tujuan ekspor utama komoditi peternakan, pariwisata, pemberantasan terorisme, mineral pertambangan, danse bagainya.  Secara geopolitik, Australia juga harus menyadari pentingnya kemitraan dengan Indonesia di tengah eskalasi kawasan akibat ekspansi kepentingan RRC yang dapat berimplikasi pada negara-negara persemakmuran dan satelit Amerika Serikat.

Sementara itu, pemerintah Indonesia juga perlu untuk lebih terkoordinasi dengan baik dalam merespons berbagai isu yang timbul dari Australia. Hal-hal yang fundamental menyangkut harkat dan martabat negara tidak boleh diabaikan dengan dalih untuk menjaga hubungan baik dan strategis jangka panjang. Semisal, persoalan pelecehan ideologi negara dan sikap TNI dengan penghentian kerjasama militer seharusnya menjadi concern pemerintah Indonesia sebelum berlanjut pada hubungan strategis lainnya. Pemerintah perlu menerapkan term of condition tertentu yang harus dipenuhi dalam setiap tahapan hubungan kerjasama dengan negara lain, termasuk Australia.  Sebagaimana diungkap oleh ahli hubungan internasional, Hans Morgenthau, ekstensifikasi daripada kepentingan nasional dari suatu negara merupakan ukuran utama dalam menjalin hubungan dan kerjasama internasional. Indonesia harus mampu mengidentifikasi dan menegakan kepentingan nasionalnya dalam kerangka hubungan dengan Australia. Hal ini tentu perlu kekompakan antar stakeholder dalam pemerintahan sehingga tidak ada celah bagi Australia untuk selalu meremehkan dan mengeksploitasi Indonesia.

*) Otjih Sewandarijatun, seorang ibu rumah tangga. Alumnus Universitas Udayana, Bali.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent