Sekelumit tentang Sertifikasi Ulama

Sekelumit tentang Sertifikasi Ulama

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, masih belum jelas betul siapa yang layak menyandang predikat ulama. Pasalnya, jika ada orang yang pandai bicara, menghapal sejumlah ayat dan berpakaian gamis, sudah bisa tampil sebagai ulama.

Tak sedikit, mereka yang disebut-sebut sebagai ulama justru mengajarkan Islam dengan pengetahuan keislaman yang dangkal atau bahkan dengan pemahaman yang salah kepada masyarakat luas. Bukan bermaksud suudzon atau malah husnudzon, tapi fakta membuktikan ada banyak kaum “muslim berkelompok” justru tak mencerminkan perilaku layaknya seorang yang beragama.

Menurut keterangan Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai pada Maret 2015, ada 19 kelompok Islam Indonesia yang bergabung dengan kelompok milisi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Setidaknya, 16 kelompok di antaranya sudah dibai’at atau sudah disumpah mengikuti pemimpin ISIS, Abu Bakar Al-Baqdadi. 3 kelompok lainnya menyatakan diri sebagai kelompok pendukung ISIS.

Adapun 16 kelompok tersebut, ialah Mujahideen Indonesia Barat, Mujahidin Indonesia Timur, Jamaah Tawhid Wal Jihad, Forum Aktivis Syariah Islam, Pendukung dan Pembela Daulah, Gerakan Reformasi Islam, Asybal Tawhid Indonesia, Kongres Umat Islam Bekasi, Umat Islam Nusantara, Ikhwan Muwahid Indunisy Fie, Jazirah Al-Muluk Ambon, Ansharul Kilafah Jawa Timur, Gerakan Tawhid Lamongan, Khilafatul Muslimin, Laskar Jundullah dan DKM Masjid Al Fataa. Sedangkan 3 kelompok pendukung ISIS yaitu, RING Banten, Jamaah Ansharut Tauhid dan Halawi Makmun Group.

Data di atas tentu dapat bertambah atau sebaliknya, mengingat eksistensi ISIS sebagai kelompok teroris yang tak pernah kendor baik dalam hal mencari simpati maupun menebar ancaman teror di seluruh penjuru dunia. Seperti halnya pada insiden penyerangan pada 31 Januari – 2 Februari 2017, ISIS mengaku sebagai pihak yang bertanggung atas serangan yang menewaskan dan melukai 20 tentara Mesir di Sinai Utara.

Di era serba keterbukaan dan kecanggihan teknologi saat ini, masyarakat dituntut untuk semakin kritis dan ceras dalam mendapatkan informasi, tak terkecuali dalam hal dakwah agama. Oleh karenanya, tak heran jika muncul adanya gagasan untuk mensertifikasi ulama di tanah air.

Dewasa ini sejatinya menaruh harapan jika sertifikasi atau standarisasi ulama bertujuan mencegah timbulnya muslim kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam rahmatan lil alamin, namun tidak sebaliknya jika hanya berdasarkan kepentingan politik semata.

Telah diketahui bersama, bahwa permasalahan yang menyeret-nyeret ulama di negeri ini, bermula dari munculnya kasus dugaan penistaan agama oleh Petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Di mana banyak para ulama yang mengambil peran vokal guna meminta adanya sebuah keadilan dalam eksekusi proses hukum Ahok.

Seiring berjalannya waktu, benturan antara politik dan agama yang terjadi saat ini layaknya kobaran api yang terus membara. Siapa yang terlibat seakan sedang bermain bola api panas, semua merasa paling benar dan tak ada satupun yang merasa salah antara satu kelompok dengan kelompok lain.

Sampai-sampai pemerintah-pun disebut-sebut tak lagi netral dan berpihak kepada rakyat. Bisa dikatakan bahwa tuduhan tersebut sangat dangkal dan tak berdasar. Bagaimana mungkin, sebagai lembaga dengan otoritas resmi yang mengakomodasi jalannya suatu negara memihak kepada segelintir kelompok kepentingan yang hanya lalu lalang sepintas.

Jika ditelisik kembali, perihal rencana sertifikasi ulama sebenarnya sungguh perkara yang masih awam bahkan belum dinyatakan secara resmi oleh lembaga otoritas agama di negeri ini. Sebagaimana yang dipertegas oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bahwa pemerintah tidak pernah sama sekali memunculkan istilah sertifikasi atau standarisasi ulama. Bahkan pihaknya tidak ingin melakukan standarisasi ulama, karena kompleksitasnya akan sangat tingggi.

Sebagaimana ilustrasi yang coba diutarakan oleh Kemenang bahwa jumlah masjid di Tanah Air sudah tak terhitung dan di setiap masjid ada ulama, minimal satu atau dua. Jadi bisa dibayangkan, jika memang benar terjadi bukan?

Sekelumit wacana penyertifikasian ulama merupakan hasil dari mudahnya kabar hoax tersebar di seantero netizen di Republik ini. Di tambah lagi dengan situasi kondisi negeri yang tengah diterpa kasus yang melibatkan para penggawa poltik Ibukota dan ulama negeri.

Tak hayal jika isu sertfikasipun ibarat tumpukan jerami kering tersambar percikan api. Pemikiran logika nan jernih seakan hilang ditelan bumi, hanya tinggal amarah dan prasangka mencela yang menguasai setiap kepala.

Dewasa ini berkeyakinan bahwa amarah sesaat harusnya mampu di atasi oleh setiap jiwa. Hanya saja, emosi yang dangkal terlalu mudah tersulut oleh isu-isu yang tak bertuan asal usulnya. Check, recheck dan croosscheck adalah cara jitu untuk melawan setiap isu hoax agar kita tak mudah diprovokasi.

Terlebih lagi untuk saudara-saudari seiman (Islam) di manapun berada, perlu diyakini bahwa sebagai pemeluk agama paling sempurna dan disempurnakan, tak ada satupun ajaran Islam yang mengarah kepada kebathilan. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Suri Tauladan umat hingga akhir masa, Baginda Muhammad SAW di masa-masa sulit menyiarkan Islam. Bukan lagi isu ataupun fitnah, hujatan bahkan ancaman pembunuhan kerap kali langsung terdengar oleh Baginda Rasulullah. Namun, tetap berusaha untuk bersabar untuk menjaga kedamaian dan sebisa mungkin menjauhkan dari perang. Bukankah sikap-sikap mulia ini dapat dipedomani?

Selain itu, sebagai orang yang beriman atas adanya kekuasaan Tuhan, perlu kiranya tak mudah tersulut oleh isu yang masih tak bertuan. Lakukan verifikasi dari berbagai sumber, jika perlu tanyakan kepada lembaga resmi negeri dengan harapan terhidar dari upaya provokasi.

Mempercayakan pemerintah akan selalu mengupayakan hal terbaik demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara karena aparat pemerintah mengemban amanah mulia dari seluruh warga Indonesia.

*) Ferdiansyah, Pemerhati Sosial dan Politik

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent