Konflik FPI dan GMBI dalam Dinamika Politik Nasional

Konflik FPI dan GMBI dalam Dinamika Politik Nasional

Konflik antar ormas yang terjadi di Bandung pada 12/1/2017, antara Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI), merupakan sebuah fenomena politik yang tak terlepas dengan perkembangan atau dinamika perpolitikan saat ini, khususnya terkait dengan makin meluasnya pengaruh kelompok Islam politik dalam percaturan politik nasional. Peristiwa ini terjadi ketika Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab, dipanggil oleh Polda Jabar sebagai saksi dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Presiden RI pertama, Bung Krano, dan Pancasila oleh yang bersangkutan sebagai terlapor. Pihak pelapor adalah salah satu putri mendiang Bung Karno, Sukmawati Sukarnoputri.

GMBI adalah salah satu ormas yang memiliki anggota cukup besar di berbagai daerah, khususnya di Jawa Barat, yang mendukung upaya hukum tersebut. Ormas yang konon dibina oleh salah seorang petinggi di jajaran Polda Jabar ini, melakukan pengerahan massa yang cukup besar di depan Markas Polda Jabar, berhadap-hadapan dengan massa anggota FPI yang mendukung sang Imam Besar. Kendati aparat Polri telah melakukan penjagaan yang ketat untuk mencegah terjadi konflik terbuka antara kedua ormas tersebut, tetap saja keributan dan aksi kekerasan terjadi antara para pendukungnya. Akibatnya beberapa orang terluka dan kerusakan kendaraan bermotor.

Konflik kedua ormas tersebut ternyata tak berhenti di Bandung saja, karena menyusul terjadi aksi pembakaran dan perusakan terhadap beberapa kantor GMBI seperti di Bogor, Tasikmalaya, dan Ciamis. Menurut pernyataan pihak Polri Jabar, pelaku aksi pembakaran dan perusakan diduga berasal dari FPI, dan sekitar 20 orang telah ditangkap dan diperiksa dalam kasus Bogor. Bukan tidak mungkin aksi-aksi yang bernuansa pembalasan atau retaliasi ini akan terjadi di berbagai wilayah jika pihak keamanan tidak segera bertindak tegas, dan kedua ormas yang berkonflik tidak segera mencari solusi peredaan ketegangan.

Konflik dalam organisasi masyarakat sipil ini adalah implikasi dari semakin menguatnya pengaruh kelompok Islam politik yang akhir-akhir ini semakin asertif dalam menyuarakan dan melakukan tekanan politik. Keberhasilan kelompok Islam politik menggerakkan massa yang sangat besar dalam aksi demo 411 dan 212 merupakan fakta politik yang tak dapat disepelekan, termasuk munculnya Habib Rizieq Shihab sebagai pemimpinnya. Fenomena ini muncul dan mendapat dukungan karena terjadinya proses pelemahan kepemimpinan dalam ormas-ormas besar Islam yang berorientasi kultural seperti NU dan Muhammadiyah, sehingga diambil alih oleh kalangan Islam politik. Wafatnya almaghfurlah Gus Dur telah meninggalkan kekosongan dan bahkan krisis kepemimpinan yang visioner dan inklusif serta memiliki kapasitan internasional di dalam NU.

Tentu saja persoalan yang lebih serius terletak dari kelemahan Pemerintah pasca-reformasi dalam mengantisipasi dan meredam perkembangan pengaruh Islam politik di negeri ini. Khususnya pada era Presiden SBY selama 10 tahun itu, Pemerintah dan aparat keamanannya sangat gamang dalam menghadapi tumbuh dan berkembangnya kembali Islam politik, dan bahkan menghadapi ancaman radikalisme dan aksi-aksi kekerasan yg menggunakan dalih agama. Pemerintah Jokowi selama dua tahun terakhir berupaya untuk merubah kondisi tersebut, namun tampaknya belum cukup efektif.

Kasus Bandung adalah merupakan ekses dari kelemahan Pemerintah dan kemerosotan kapasitas organisasi masyarakat sipil, khususnya ormas Islam mainstream, dalam menyikapi fenomena Islam politik sebagai kekuatan yang kian berkembang di Indonesia. Tanpa penyikapan yang tepat dan efektif, maka perpolitikan nasional akan terus bergejolak dan ini tentu berdampak terhadap aspek-aspek lain, termasuk ekonomi dan kamnas.

*) Muhammad A S Hikam, pengajar di Universitas Presiden, Sekolah Tinggi Intelijen Negara, Sesko TNI dan Universitas Pertahanan.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent