Kasus Lebak: Menyoal Kerjasama TNI dan FPI
Pencopotan Dandim Lebak, Letkol (Czi) Ubaidillah, oleh Pangdam III Siliwangi, Mayjen TNI Muhammad Herindra, menjadi pusat perhatian publik dan para pengamat politik di Indonesia dan, bisa jadi, di luar negeri juga. Peristiwa tersebut terkait dengan sebuah program strategis yang digalakkan oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sejak 2015, yaitu Bela Negara di seluruh Indonesia. Sejauh ini, pelaksanaan program Bela Negara lancar-lancar saja dan disambut antusias oleh kalangan masyarakat sipil Indonesia. Hal itu terlihat dari keikutsertaan yang luas dari komponen MSI sampai di tataran akar rumput, dan melibatkan kalangan ormas, LSM, lembaga pendidikan, kelompok profesional, media, dan lainnya.
Kasus yang marak tersebut bermula dari program Bela Negara yang dilaksanakan di wilayah Propinsi Banten, di Kabupaten Lebak, khususnya di wilayah Koramil Cipanas. Munculnya masalah dan kontroversi publik terjadi karena program tersebut dilaksanakan di sebuah ponpes (Al-Futuhiyah) yang pengasuhnya ternyata adalah Ketua FPI di wilayah tersebut. Apakah fakta ini disadari oleh Dandim Lebak akan berpotensi kontroversial di ranah politik atau tidak, belum ada informasi yang cukup. Yang jelas pelaksanaan program Bela Negara ini kemudian dilaporkan oleh media, termasuk oleh media FPI sendiri, dengan sudut pandang yang bermuatan politik: yaitu kerjasama antara TNI dan FPI. Itulah yang kemudian memicu polemik yang, salah satunya, berujung pada pencopotan sang Dandim, dengan alasan kesalahan tak mengikuti prosedur atau SOP, berupa tak adanya laporan dari beliau kepada atasannya.
Yang menarik bukan hanya ihwal ketaatan prosedural yang dalam dunia militer sudah pasti merupakan faktor utama tetapi statemen Pangdam Siliwangi terkait program Bela Negara dan siapa yang akan didukung TNI. Walupun benar bahwa program Bela Negara prinsipnya adalah untuk seluruh warganegara, termasuk ormas dan LSM, tetapi menurut Pangdam ada persyaratannya, yakakni ormas dan/ atau LSM yang “pro NKRI, pro Pancasila, pro UUD 1945, pro Bhineka Tunggal Ika, pro kemajemukan. ” Jika mereka tidak pro NKRI, Pancasila, UUD 45 dan kemajemukan, maka “akan dipertimbangkan” lebih dulu oleh beliau selaku Pangdam.
Munculnya kontroversi publik terkait program Bela Negara TNI dengan FPI inilah yang merupakan alasan yang tak kalah penting ketimbang pelanggaran prosedural yg dilakukan Dandim Lebak. Siapapun tahu bahwa ormas Islam yang kini sedang naik daun sebagai representasi kekuatan Islam politik di Indonesia tersebut, sedang mendapat sorotan luas karena kiprahnya yang berlawanan dengan arus utama politik nasional, karena ia mengusung politik identias, primordialisme, dan sektarianisme sebagai alat perjuangannya. Sikap politik FPI, yang ditampilkan oleh Imam Besar Habib Rizieq Shihab, vis-a-vis Pemerintah Presiden Jokowi tentu menimbulkan kekhawatiran jika TNI malah dianggap berkerjasama dengannya. Ekspose media dan medsos yang menampilkan pelatihan fisik dalam program Bela Negara di Lebak, semakin memperkuat kekhawatiran tersebut.
Kasus Lebak ini bisa menjadi sebuah pelajaran penting baik bagi TNI maupun ormas Islam seperti FPI, agar mampu mengkomunikasikan program-programnya yang bersentuhan dengan masyarakat sedemikian rupa sehingga tak memicu syak wasangka. Apa yang dikemukakan oleh Pangdam tentang partner TNI dalam program Bela Negara sangat tepat, dan seharusnya diketahui serta disosialisasikan dengan baik sampai di bawah.
Bagi FPI kasus tersebut juga bisa menjadi pelajaran bahwa pandangan yang kritis terhadap organisasi tersebut sangat nyata dan dapat mempengaruhi citra dan kiprahnya dalam masyarakat yang bisa merugikan posisinya di masa depan. Terpulang kepada ormas Islam tersebut juga apakah kasus Lebak ini akan dapat merubah pendekatan primordial dan sektarian menjadi lebih inklusif dan moderat di masa depan.
*) Muhammad A S Hikam, pengajar di Universitas Presiden, Sekolah Tinggi Intelijen Negara, Sesko TNI dan Universitas Pertahanan.