Pasca 212, Apakah Peta Kekuatan Politik Berubah?

Pasca 212, Apakah Peta Kekuatan Politik Berubah?

Aksi 212 yang super damai dan aman telah usai. Suasana aksi 212 yang tertib, aman, dan terkendali cukup membanggakan. Peserta yang datang dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul jadi satu di Monas dan sekitarnya untuk satu tujuan. Dalam catatan berbagai peristiwa di Indonesia, mungkin baru pertama kali ini ada umat Islam dalam jumlah yang sangat besar melakukan aksi keagamaan bersama. Tanpa mengurangi peran pemrakarsa GNPF MUI yang lain, aksi 212 ini tentu tidak bisa dilepaskan dari Habib Rizieq Syihab, Ketua Front Pembela Islam (FPI).

Habib Rizieq Syihab berhasil menunjukkan pengaruhnya kepada masyarakat secara luas. Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU sudah menghimbau untuk tidak perlu ada aksi lagi pasca Basuki Tjahaja Purnama ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama. Pemerintah pun memberikan himbauan yang sama, bahkan melalui kepolisian menyebarkan maklumat tentang aksi unjuk rasa. Himbauan-himbauan lewat tokoh agama dan kepala daerah dilakukan juga untuk mencegah kedatangan massa pada aksi 212 di Jakarta.

Namun hal tersebut tidak efektif, massa dalam jumlah besar tetap datang untuk mengikuti aksi 212. Segala cara dilakukan untuk datang, seperti menggunakan bus, kapal, pesawat udara, bahkan jalan kaki. Presiden, Wakil Presiden, Menkopolhukam, Panglima TNI, dan Kapolri, yang sebelumnya menghimbau tidak perlu diadakan aksi lagi, akhirnya justru datang dan satu panggung dengan Habib Rizieq Syihab. Rombongan Presiden Joko Widodo datang ke Monas dengan berjalan kaki dari Istana untuk mengikuti sholat Jumat bergabung bersama massa yang datang dari berbagai daerah di aksi 212.

Kedatangan Presiden Joko Widodo kemungkinan untuk menunjukkan bahwa pemerintah hadir dan berdiri bukan sebagai oposisi aksi 212. Presiden Joko Widodo juga menunjukkan stigma menghindari GNPF MUI tidak terbukti.  Pidato singkat dan ucapan terima kasih Presiden Joko Widodo di ujung acara menjadi penutup dari aksi ini. Tidak heran jika banyak pihak berpendapat bahwa Habib Rizieq Syihab yang mengundang massa ke Jakarta dan Presiden Joko Widodo yang memulangkan massa kembali ke tempat asalnya.

Kehadiran Presiden Joko Widodo oleh beberapa pihak dinilai sebagai suatu sikap untuk menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan). Namun tentu saja pihak yang mengatakan sebaliknya juga tidak kalah banyak. Hadirnya Presiden Joko Widodo dalam acara 212 tersebut secara tidak langsung bisa dianggap memberi legitimasi atas tuntutan dan kekuatan Habib Rizieq serta massa yang hadir. Habib Rizieq Syihab juga memanfaatkan kesempatan ini untuk menunjukkan kekuatannya dengan berorasi “tangkap penista agama” yang idengarkan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo. Orasi seperti ini tentu tidak akan ditemui dalam acara dengan protokoler untuk kepala negara.

Elite politik, organisasi seperti NU, Muhammadiyah  dan tentu saja pihak Istana perlu mencermati dan memperhitungkan kekuatan Habib Rizieq Syihab. Selama ini Habib Rizieq Syihab diperhitungkan hanya sebagai pemimpin FPI, ormas yang sering menghiasai media masa karena pro dan kontranya. Kepiawaian Habib Rizieq Syihab untuk menjadikan kasus penistaan agama ini, didukung dengan suasana politik Pilkada DKI yang sedang panas, untuk menggalang kekuatan massa harus diakui.

Habib Rizieq Syihab melalui aksi 212 berhasil menciptakan penista agama sebagai musuh bersama untuk umat Islam. Kasus penistaan agama yang yang diduga dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mempunyai daya tarik luar biasa sehingga mampu mengumpulkan masa dengan jumlah yang sangat besar.

Partai Politik dengan platform keagamaan perlu menghitung ulang kekuatan partai dan figur pemimpinnya. Figur Habib Rizieq Syihab yang terbukti mampu mengumpulkan masa dalam jumlah besar untuk sebuat aksi adalah suatu potensi kekuatan yang layak diperhitungkan. Habib Rizieq Syihab bisa masuk dalam dunia politik. Jika ini terjadi, tentu akan mengubah kekuatan partai politik yang sudah ada.

Pandangan masyarakat yang pro dan kontra terhadap Habib Rizieq Syihab dapat dimanfaatkan sebagai kampanye untuk menaikkan popularitasnya.  Habib Rizieq Syihab bisa menjadi peluang bagi partai politik jika mau bergabung untuk mendulang suara, namun bisa juga menjadi ancaman jika menjadi oposisi bagi partai dengan platform yang sama. Bahkan bukan hal yang mustahil jika Habib Rizieq Syihab menjadikan FPI sebagai partai politik tersendiri nantinya. Konsekuensi jika hal ini terjadi tentu saja dinamika politik akan berubah, warna dan gaya Habib Rizieq Syihab akan ikut mengisi ruang politik Indonesia.

Massa adalah modal bagi partai politik dan organisasi untuk tetap eksis. Dengan kejadian ini bukan hal yang mustahil jika pasca 212 ini Habib Rizieq Syihab bisa mengubah peta politik di Indonesia, minimal partai politik akan mulai untuk memandang serius kekuatan Habib Rizieq Syihab. Apakah Habib Rizieq Syihab akan mengubah peta kekuatan politik di Indonesia? Mari kita tunggu!

*) Stanislaus Riyanta, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, tinggal di Jakarta.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent