Ancaman Tenaga Kerja Asing di Indonesia
Masuknya tenaga kerja asing terutama yang berasal dari Tiongkok menjadi bahan perbincangan yang cukup serius. Arus pekerja dari luar negeri ini mulai gencar sejak pemerintah Presiden Joko Widodo memprioritaskan proyek infrastruktur dan energi. Tenaga kerja asing ini oleh beberapa pihak dianggap sebagai masalah.
Indonesia saat ini terdapat tingkat pengangguran terbuka (data BPS Februari 2016) mencapai 7,02 juta orang atau 5,5%. Masuknya tenaga kerja asing tentu menjadi kontradiktif dengan program mengurangi angka pengangguran yang masih cukup tinggi. Ancaman terkait keberadaan orang asing yang semakin banyak terhadap eksistensi bangsa perlu diperhitungkan. Kekhawatiran pengaruh asing terhadap ideologi dan budaya bangsa tentu cukup beralasan untuk disikapi.
Beberapa kasus terkait tenaga kerja asing yang terjadi akhir-akhir ini seperti penangkapan 26 tenaga asing ilegal asal China di Sukabumi karena kedapatan menggunakan visa kunjungan untuk bekerja sebagai buruh di PT Shanghai Electric Group. Kasus lain yang sempat heboh adalah saat tenaga kerja asing tertangkap mengebor di area Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Di Kalimantan Barat delapan warga negara asing (WNA) asal Tiongkok yang bekerja di perusahaan kayu CV Sari Pasifik, Kubu Raya, diamankan oleh petugas Imigrasi. Mereka ditangkap dalam razia terkait kasus pelanggaran keimigrasian karena tak memiliki izin resmi bekerja, Kamis (21/4).
Kasus pelanggaran tenaga kerja asing juga terjadi di Kalimantan Tengah. Pada bulan April 2016 sebanyak empat orang warga negara asing asal Tiongkok yang masuk ke Kalimantan Tengah dan bekerja di lokasi Wilayah Pertambangan Rakyat ( WPR) Kabupaten Murungraya, diamankan dan dideportasi oleh Pihak Imigrasi Palangkaraya. Di Maluku Utara, tenaga kerja asing ikut mewarnai pemberitaan. Jumlah tenaga kerja asing yang tercatat di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Maluku Utara mencapai pada September 2016 935 orang.
Data-data di atas tentu hanya sebagian kecil dari catatan keberadaan tenaga kerja asing di Indonesia. Saat ini sudah menjadi pengetahuan umum bahwa proyek-proyek seperti PLTU banyak menyerap tenaga kerja asing terutama dari Tiongkok. Tenaga kerja asing di Indonesia sesuai regulasi harus memiliki sertifikat kompetensi atau memiliki pengalam kerja sesuai dengan jabatan yang akan diduduki oleh TKA paling kurang lima (5) tahun. Selain itu tentu tenaga kerja asing harus memenuhi syarat-syarat keimigrasian dan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia.
Ancaman Serius
Dilihat dari beberapa kasus tenaga kerja asing ilegal di Indonesia tentu menjadi wajar jika keberadaan tenaga kerja asing menjadi ancaman serius. Ancaman pertama adalah berkurangnya kesempatan warga negara Indonesia untuk memperoleh pekerjaan di negaranya sendiri.
Kecemburuan sosial akan muncul jika suatu proyek dikerjakan oleh tenaga kerja asing sementara warga negara Indonesia menjadi pengangguran. Kecemburuan akan semakin menguat jika ternyata pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja asing tersebut tidak mempunyai keahlian khusus, yang bisa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya.
Ancaman lain adalag terkait dengan kedaulatan negara. Hal ini bukan hanya sekedar dugaan saja. Kasus pengibaran bendera Republik Rakyat China (RRC) dengan bendera Merah Putih saat peletakan batu pertama pembangunan smelter PT Wanatiara Persada di Maluku Utara beberapa hari yang lalu merupakan gejala awal keberadaan tenaga kerja asing mengancam kedaulatan negara.
Pemerintah Provinsi Maluku Utara menyatakan bahwa insiden ini semata-mata karena kesalahan komunikasi, namun tentu saja tidak bisa dianggap sesederhana itu. Keberadaan tenaga kerja dari RRC di Maluku Utara dalam konteks bisnis tentu berbeda dengan acara-acara protokoler hubungan antar negara yang wajar jika benderanya dikibarkana mendampingi bendera merah putih.
Regulasi Pemerintah
Penggunaan tenaga kerja asing telah diatur dengan jelas dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2015 tentang perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Permenaker 35/2015), selain syarat-syarat lainnya seperti yang diatur oleh pihak Imigrasi.
Selain peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah perlu mengkaji dan mempertimbangkan berbagai hal seperti faktor budaya dan ekonomi masyarakat. Pembangunan PLTU atau proyek infrastruktur di daerah terpencil dengan menggunakan tenaga kerja asing tentu akan mempengaruhi budaya masyarakat sekitarnya. Benturan budaya akan terjadi, di tengah kondisi ekonomi yang sedang sulit dan di bawah tekanan untuk keberhasilan suatu proyek, maka masyarakat mau tidak mau akan menerima dampak-dampak budaya yang terjadi.
Peran pemerintah dalam menjaga agar keberadaan tenaga kerja asing tidak menjadi ancaman sangat diperlukan. Selain regulasi pokok, pemerintah perlu mempertimbangkan banyak hal. Pembatasan keberadaan tenaga kerja asing dari sektor batasan kemampuan dan posisi minimal, pendidikan, batas waktu bekerja di Indonesia, perlu diatur dengan ketat.
Proyek-proyek yang melibatkan tenaga kerja asing sebaiknya mempertimbangkan transfer teknologi dan kaderisasi. Jika memang keberadaan tenaga kerja asing tersebut karena belum adanya orang Indonesia yang mampu, maka sebaiknya dilakukan transfer teknologi dan kaderisasi dengan batas maksimal waktu tertentu supaya putra-putri bangsa mampu mandiri melakukan di kemudian hari dan memutus ketergantungan dari pihak asing.
Kebutuhan untuk melakukan percepatan pembangunan terutama di bidang infrastruktur dan energi merupakan tantangan besar pemerintah Presiden Joko Widodo. Bekerja sama dengan pihak asing (negara lain) untuk memenuhi kebutuhan ini merupakan hal yang wajar. Di sisi lain tingkat pengangguran yang masih cukup tinggi dan kerawanan-kerawanan terkait ideologi bangsa perlu mendapat perhatian serius. Kebutuhan percepatan infratruktur dan energi tentu saja jangan sampai mengorbankan hak masyarakat untuk memperoleh penghidupan yang layak, apalagi hingga mengorbankan ideologi bangsa.
*) Stanislaus Riyanta, alumnus Pascasarjana S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, tinggal di Jakarta.