Aksi Teror di Samarinda Bukan Pengalihan Isu
Setiap kali ada aksi teror di Indonesia selalu ada pihak yang mereka-reka teori konspirasi terkait aksi tersebut. Ujung-ujungnya aksi teror disebut sebagai permainan intelijen, pengalihan isu, atau apapun yang justru akan mengaburkan niat dan motif sesungguhnya. Hal ini terjadi juga pada aksi teror di Gereja Oikumene RT 003 Nomor 32 Jalan Cipto Mangun Kusumo, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Samarinda Kalimantan Timur pada Minggu (13/11/2016) sekitar pukul 10.00 WITA. Aksi yang mengakibatkan 4 balita menjadi korban dan 1 diantaranya meninggal dunia dianggap oleh pihak tertentu sebagai aksi pengalihan isu.
Pelaku aksi teror di Samarinda, J, berhasil ditangkap oleh warga walaupun sudah berusaha melarikan diri. J pernah menjalani hukuman pidana terorisme sejak tanggal 4 Mei 2011 dan dibebaskan pada 28 Juli 2014. Hukuman ini terkait aksi teror percobaan pengeboman di Serpong dan teror bom buku pada tahun 2011. Ternyata hukuman ini tidak membuat J menjadi jera. Setelah bebas J pergi ke Samarinda. Berdasarkan barang bukti, J menggunakan sepeda motor dengan No Polisi H 2372 PE, yang ternyata adalah milik warga asal Demak yang telah tewas di Suriah pada tahun 2015. Warga asal Demak tersebut terlebih dahulu pergi ke Samarinda pada tahun 2011.
Polisi bergerak cepat, beberapa orang diamankan untuk diperiksa terkait dengan aksi teror di Samarinda. Penyelidikan polisi ini akan membuktikan apakah J bergerak sendiri (lone wolf) atau dalam kendali kelompok, mengingat J mempunyai riwayat bergabung dengan kelompok radikal dan beberapa kali telah melakukan aksi serupa.
Dari fakta-fakta di atas maka terlalu gegabah jika menyebutkan bahwa aksi teror di Samarinda adalah skenario untuk pengalihan isu. Pelaku teror tersebut di atas jelas sudah berkali-kali melakukan aksi teror, mempunyai target tertentu, mempunyai jaringan. Pihak Polri tentu saja juga akan mencari apa niat dan dorongan untuk melakukan aksi teror tersebut.
Anggapan bahwa aksi teror di Samarinda adalah untuk mengalihkan isu terutama isu penistaan agama oleh Ahok terlalu dangkal. Untuk membuat aksi pengalihan isu maka pelaku cukup membuat aksi dengan risiko kecil, namun dampaknya besar, terutama dampak publikasi. Aksi yang dilakukan di Samarinda risikonya tergolong sangat tinggi, apalagi pelaku kemudian berhasil ditangkap oleh warga. Gerak cepat polisi berhasil mengamankan beberapa orang terkait hal ini. Tentu ini adalah sesuatu hal yang tidak diharapkan jika hanya sekedar membuat aksi pengalihan isu.
Dugaan aksi pengalihan isu dapat diterima seperti yang terjadi Vihara Budi Dharma yang terletak di Jalan GM Situt, Singkawang, Kalimantan Barat pukul 03.00 WIB (14/11/2016). Tidak ada korban jiwa dan kerusakan berarti. Pelaku kabur setelah melancarkan aksinya. Aksi teror terhadap tempat ibadah bisa saja dianggap pengalihan isu, cipta kondisi, atau apapun selama belum bisa diketahui motif, niat dan dorongan pelaku aksi tersebut.
Rangkaian aksi teror di Indonesia sudah sering terjadi. Kelompok-kelompok radikal pelaku teror sudah dipetakan oleh Polri dan BNPT. Kelompok-kelompok ini mempunyai daya adaptasi yang tinggi, mereka bisa saja bergabung dengan kelompok lain atau bergerak sendiri. Mereka juga bisa diam sementera untuk tinggal sebagai masyarakat biasa. Yang tidak bisa berubah dari mereka adalah keyakinan atashal tertentu yang sangat kuat sehingga teror dipilih sebagai cara untuk mencapai tujuan.
Saat ini Indonesia harus mewaspadai sel-sel tidur pelaku teror. Arus balik WNI dari Suriah yang sudah mulai datang pasca ISIS terdesak oleh pasukan multinasional dan bebasnya napi terorisme setelah menjalani hukuman akan menjadi sel tidur yang berbahaya. Mereka akan diam dan tinggal hidup bersama masyarakat biasa meskipun dalam periode tertentu akan tetap berkomunikasi dan mengadakan pertemuan dengan kelompoknya yang mempunyai keyakinan yang sama.
Keyakinan yang kuat inilah yang tidak bisa dihilangkan dengan hukuman penjara. Di dalam penjara pera napi terorisme justru menjalin jaringan dan melakukan perekrutan. Ketika lepas mereka akan berdiam diri sejenak (sel tidur) dan menunggu momentum yang tepat untuk kembali melakukan aksi teror sesuai keyakinannya. Tentu saja tidak semua napi terorisme akan seperti ini. Tidak sedikit napi terorisme yang setelah lepas justru membantu pemerintah untuk program deradikalisasi.
Sel-sel tidur teroris ini harus diawasi dengan ketat. Pemerintah perlu menyinergikan lembaga-lembaganya seperti BNPT, Polri, BIN, dan BAIS untuk melakukan pengawasan sel-sel tidur teroris. Masyarakat sebagai tempat berbaur dan bersembunyi sel-sel tidur teror harus dilibatkan dalam perannya sebagai garis depan pencegah terorisme, bukan justru malah digalang sebagai pendukung kelompok radikal. Jika pengawasan sel-sel tidur teroris dilakukan dengan baik maka seharusnya tidak perlu terjadi aksi teror seperti di Samarinda. Minimal pengawasan ini akan mencegah sebelum aksi tersebut terjadi. Namun jika memang tidak dilakukan pengawasan maka aksi-aksi teror akan terus terjadi.
Keyakinan yang kuat sebagai faktor pendorong untuk melakukan aksi teror sulit untuk dihilangkan atau dilemahkan. Namun dengan pendekatan personal secara terus menerus melibatkan pemuka agama, keluarga, dan masyarakat diharapkan dapat mengubah keyakinan tersebut.
*) Stanislaus Riyanta, analis intelijen dan terorisme, alumnus Pascasarjana S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia.