Polemik Pernyataan Panglima TNI : Momentum Membangun Soliditas dan Sinergitas Antar Lembaga Negara

Polemik Pernyataan Panglima TNI : Momentum Membangun Soliditas dan Sinergitas Antar Lembaga Negara

Belakangan ini publik dikejutkan dengan pemberitaan terkait pernyataan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, yang dinilai kontraproduktif oleh sejumlah pihak karena terkesan menunjukkan adanya persaingan diantara lembaga negara khususnya lembaga strategis nasional. Selain itu, statement tersebut dinilai mengandung ancaman baru karena secara tidak langsung membuka situasi internal lembaga intelijen kepada publik yang tentu merugikan karena membantu musuh mengetahui kelemahan kita. Isu ini terus menjadi perhatian banyak pihak utamanya di tengah-tengah kondisi bangsa yang terus dirongrong oleh berbagai spektrum ancaman yang semakin kompleks baik di tataran domestik maupun global. Sebagaimana diberitakan luas oleh berbagai media nasional,

Panglima TNI dalam satu momen wawancara dengan majalah mingguan, menyampaikan penyesalannya bahwa tidak ada satu pun institusi di negeri ini yang merumuskan ancaman strategis terhadap bangsa. Padahal, Indonesia memiliki lembaga intelijen yang menurut Gatot semestinya bertugas memetakan permasalahan keamanan dan merumuskan antisipasi adanya kemungkinan ancaman dari pihak luar, yaitu Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Intelijen Startegis (BAIS) TNI. Bahkan, Jenderal Gatot mengungkapkan, dirinya sejak berpangkat Kolonel, BIN dan BAIS sudah tidak pernah lagi menyampaikan rumusan tentang ancaman bangsa Indonesia.

Berikut beberapa kutipan pernyataan Panglima TNI sebagaimana disadur dari beberapa sumber : “Saya adalah orang yang sangat khawatir tentang kondisi negara kita. Khawatir karena secara tidak sengaja yang saya lakukan adalah protes terhadap hal-hal yang dilakukan pada saat saya masih kolonel. Sebuah negara harusnya punya rencana kontinjensi (cadangan)” “Sampai sekarang. Harusnya yang merumuskan ancaman terhadap negara kan BIN” Mungkin di luar perkiraan Panglima TNI bahwa pernyataan tersebut akan direspon secara luas bahkan sejumlah tokoh justru mengkritik balik pernyataan sang jenderal.

TB Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, misalnya menyatakan bahwa kekhawatiran Panglima TNI tentang keamanan dan keselamatan Indonesia yang diekspos ke publik sungguh aneh, karena, Panglima TNI adalah orang yang bertanggung jawab tehadap keamanan negara. Oleh karenya ia menilai, pernyataan tersebut justru menimbulkan kecemasan di masyarakat.

Respon senada juga ditunjukkan LSM, seperti Ketua Setara Institute, Hendardi. Ia mengatakan, pernyataan Panglima TNI tentang kinerja BIN merupakan cerminan bahwa ada kontestasi antara lembaga intelijen negara. “Tidak sepantasnya keluhan semacam itu disampaikan secara terbuka karena membahayakan pertahanan negara,” kata Hendardi melalui siaran pers, sebagaimana dikutip dari tribunnews.com

Pengamat intelijen, Wawan Purwanto pun ikut mengomentari statement Panglima TNI. Wawan mengatakan bahwa hanya Presiden yang berhak untuk menilai kinerja BIN, dan hasil penilaiannya pun tidak akan diumumkan ke publik. Bahkan menurutnya, BIN juga tidak perlu memberikan laporan termasuk analisa kepada Panglima TNI, karena laporan BIN hanya menjadi konsumsi Presiden. Berbagai informasi intelijen pun, justru di bawah kendali BIN, sehingga Kinerja BIN juga dinilai masih berada pada koridor. Namun demikian, Wawan menilai kritikan yang disampaikan Panglima TNI tetap menjadi masukan yang berharga untuk BIN. Apalagi menurutnya potensi ancaman akan selalu ada dan dinamikanya terus berkembang, baik ancaman ideologi maupun ancaman dari negara lain.

Tidak hanya Wawan yang menyikapi secara bijak beragam respon terhadap pernyataan Panglima TNI tersebut, Jazuli Juwaini, Anggota Komisi I DPR RI, menghimbau agar pernyataan itu tidak dijadikan bahan polemik dan spekulasi. Politikus PKS itu menilai pernyataan yang disampaikan oleh Gatot hanya sebatas koordinasi di antara TNI dan BIN, yang sejatinya bagus untuk meningkatkan kinerja dan koordinasi antar instasi dalam menjaga keamanan negara. Namun demikian, Jazuli memberi catatan bahwa kritik atau koordinasi demikian sebaiknya tidak disampaikan melalui media dan alangkah lebih baik jika koordinasi dilakukan secara internal.

Apa yang menjadi kekhawatiran Panglima TNI tentu beralasan, bahwa ancaman terhadap bangsa Indonesia semakin nyata yang datang dari semua arah, sehingga perlu betul-betul diwaspadai dengan menyampaikannya kepada masyarakat. “Saya pikir, apa yang saya sampaikan ini wajar, saya minta BIN lebih melihat ini dan menyampaikan kepada publik agar publik waspada,” demikian kata Gatot merespon kembali reaksi berbagai pihak atas statemen sebelumnya.

Tidak ada yang salah dari substansi dalam statemen Jenderal Gatot, suatu realitas yang mungkin memang terjadi dan dirasakan langsung sang Panglima sendiri sepanjang kariernya di militer, bahwa lemahnya sinergitas dan koordinasi di antara institusi di negeri ini masih menjadi rongrongan. Sebagai pemegang komando tertinggi di TNI, kita patut melihat pernyataan Panglima TNI tersebut secara filosofis yakni tidak dimaksudkan untuk mengkritisi atau menunjukkan persaingan TNI dengan BIN, apa lagi jika melihat fakta bahwa orang nomor satu di BIN selama ini berasal dari militer atau purnawirawan militer, bahkan pejabat dan personil BIN juga banyak dari militer.

Panglima TNI tentu tahu persis bagaimana kinerja BIN yang memang berperan dalam melakukan pencegahan, penangkalan dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mengancam keamanan nasional Indonesia. Oleh karennya, persoalan koordinasi dan akses informasi semestinya bukan menjadi persoalan antara pimpinan TNI dan BIN. Hanya saja, berhubung pernyataan tersebut disampaikan ke media, pesan utuh dan konteks pesan bisa menjadi berbeda, sehingga yang muncul adalah kritikan balik terhadap sang Panglima.

Respon Senayan (DPR RI) yang tampak cukup tajam tersebut tidak lepas pula dari penolakan banyak pihak atas pernyataan Panglima TNI sebelumnya yang mengangkat wacana keinginan TNI untuk kembali berpolitik praktis. Juga jika melihat penunjukkan Jenderal Gatot Nurmayanto sebagai Panglima TNI oleh Presiden Jokowi ketika itu yang tidak sedikit dipertanyakan oleh sejumlah anggota dewan. Hal ini tentu akan berpengatuh pada objektivitas dalam menilai dan menyikapi pernyataan-pernyataan Panglima TNI. Penting bagi seluruh pihak untuk memfokuskan pandangan ke depan dan meninggalkan perdebatan panjang yang hanya akan menguras waktu dan tenaga. Apa yang disampaikan Panglima TNI sepatutnya dijadikan sebagai otokritik untuk membenahi masalah klasik yang tidak kunjung teratasi, EGO SEKTORAL.

Cara pandang yang terkotak-kotak diantara birokrasi pemerintah harus segera dirubah dengan adanya kesadaran setiap pihak bahwa persoalan yang dihadapi oleh pemerintah merupakan pekerjaan rumah bersama yang harus diselesaikan. Ego sektoral ini merupakan bagian dari “Status Quo” atau budaya destruktif pada setiap institusi pemerintah dan lembaga negara yang terpelihara sejak lama dan telah “mendarah daging” sehingga tidak hilang meski generasi berganti. Akibatnya, upaya membangun satu pemerintahan yang utuh *(whole of Government perspective)* menjadi tidak tercapai. Kondisi ini akhirnya mempengaruhi upaya pemerintah secara keseluruhan dalam mencapai visi dan misinya.

Jelas bahwa persoalan ini menjadi PR bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk segera diatasi. Diantaranya dengan melakukan evaluasi dan peningkatan kualitas koordinasi dan sinergitas di antara para instansi dan lembaga negara. Segenap pihak harus bertekad untuk memerangi ego sektoral di lingkup masing-masing. Kepala LAN, Dr. Adi Suryanto, mengemukakan perlunya setiap birokrasi melakukan pembelajaran mengenai budaya kolektif serta kerja sama lintas sektoral dan instansi, guna menuju pemerintahan yang efektif.

Tekad ini juga harus diwujudkan melalui upaya inovasi dan peningkatan kualitas kinerja setiap institusi, sehingga jalannya pemerintahan memiliki sistem yang semakin kuat dan mampu beradaptasi dengan perkembangan ancaman/tantangan lingkungan strategis regional maupun global.

*) Muh. Fariz, pemerhati politik, mahasiswa pasca sarjana Universitas Indonesia

 

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent